Kolom

Garis Tepi Masa Purnabakti

07-09-2023 15:34:31 WIB 
Pergulatan melawan kejayaan di masa lalu merupakan sebuah trauma yang kerap disangkal, tetapi harus dilapangkan dada untuk ikhlas terhadap realitas. Sebuah karya yang beranjak dari fenomena kehidupan dalam cerpen berjudul “Terbenamnya Sang Surya” yang dituliskan oleh seorang kritikus sastra di kalangan akademisi, Dr. Tatang Iskarna, Dekan Fakultas Sastra USD.

Semua orang pasti akan menua dan memiliki masa tua. Tak terkecuali dengan pak tua, sebut saja Pak Surya, tokoh utama dalam cerpen “Terbenamnya Sang Surya”.

Selayang pandang, “Terbenamnya Sang Surya” mengisahkan seorang purnabakti, Pak Surya yang belum bisa menerima masa-masa pensiunnya. Usianya yang sudah tidak muda lagi membuatnya kehilangan kebiasaannya untuk kerja, mengawasi sekolah, dan keliling-keliling bertemu dengan kepala sekolah dan guru.

Namun, Surya Bersama Parno, supir pribadinya, selalu berkeliling ke sekolah-sekolah tiap hari Senin sampai Jumat, lengkap dengan pakaian dinasnya. Mobil Great Corolla abu-abu tahun 1994 kesayangannya menjadi teman setia pak tua dengan pak sopir untuk berkeliling. Di sepanjang jalan, percakapan selalu mengarah pada Pak Surya yang masih menginginkan dirinya yang dulu—dihormati, disambut, ditakuti, dan dimanggakke. Sekarang, semua hal yang diinginkannya sirna.

Silih berganti, tampaknya Surya semakin serakah dengan jabatan yang pernah ia pangku dulu. Baginya, orang-orang generasi setelahnya tidak lagi sama sepertinya, tidak hormat, tidak menghargai, dan bahkan mengomentari dengan pedas beberapa kebijakan yang telah ditetapkan, tanpa sadar bahwa ia bukan lagi seorang pemangku jabatan. Akhirnya, Pak Surya terbenam seperti sang surya yang harus beristirahat untuk bisa menyinari kehidupan yang selanjutnya.

“Terbenamnya Sang Surya” selaras menjadi cerpen yang apik untuk sebuah renungan kehidupan yang silih berganti. Tentang seseorang yang gigih di masa muda dengan kerja kerasnya, kemudian memasuki fase purnakarya yang membuatnya terkungkung jauh dari rutinitas pekerjaannya.

Perlu disadari bahwa raga manusia yang sehat belum tentu memiliki jiwa yang kuat. Karya ini menghadirkan sebuah pandangan yang mendalam dan penuh pemikiran tentang perjalanan hidup melalui tulisan yang lugas.

Penulis: Agustina Rita Kurniawati
 kembali