Kolom

Menjadi Guru, Bergulat dengan Pandemi

29-11-2021 00:59:32 WIB 

“Siapa yang mau jadi guru?” Pagi ini, setidaknya saya melihat 6 unggahan kawan saya perihal Hari Guru Nasional. Semuanya berisi doa baik, ungkapan selamat, syukur, dan juga romantisasi nostalgia sewaktu sekolah dulu.

Menarik sejatinya, sama setiap hari peringatan apa pun, setiap orang, berlomba mengucapkan selamat. Akan tetapi, hal yang paling menarik adalah pertanyaan di atas: “Siapa yang mau jadi guru?” Mungkin, 20 tahun lalu masih mudah tuk menjumpai seorang anak yang bercita-cita menjadi seorang guru. Berpakaian rapi, menilai pekerjaan murid, dihormati, dan berbagai faktor pendukung lainnya.

Namun jika kita berbicara soal hari ini, bukankah kita hanya seorang “yang merayakan” sebuah perayaan? Kita hanya datang ke pesta, menikmati hidangan, berfoto, lantas memberi selamat, tapi kita bukan pemilik pestanya.

Menjadi guru di Indonesia, saat ini, kita tak lagi bicara soal mencerdaskan suatu bangsa. Guru dituntut tuk menguasai teknologi, mampu menjadi panutan, tidak boleh berbicara dengan nada tinggi, apalagi ringan tangan. Tentu menjadi sebuah hal yang jauh berbeda bila kita bandingkan dengan keadaan 20 tahun lalu, dimana cerita orang tua kita adalah gurunya memukulnya atau melemparkan sesuatu padanya. Menjadi lebih berbeda, karena saat ini, pembelajaran dilaksanakan secara daring. Ya, pandemi.

Pada pidato peringatan Hari Guru Nasional tahun ini, Mendikbudristek berkata: “Saat sarapan dengan mereka, saya mendengarkan terobosan-terobosan yang mereka inginkan di sekolah mereka. Wajah mereka terlihat semangat membahas platform teknologi yang cocok dan tidak cocok untuk mereka. Dengan penuh percaya diri, mereka memuji dan mengkritik kebijakan dengan hati nurani mereka. Di situlah saya baru menyadari bahwa pandemi ini tidak memadamkan semangat para guru, tapi justru menyalakan obor perubahan.”

Saya mewawancarai Stephen Galuh Wiguna, lulusan Prodi Sastra Indonesia USD, yang baru saja menjadi guru Bahasa Indonesia tingkat SMA pada tahun ini soal pidato Bapak Mendikbudristek di atas. Saya menanyakan apa kendala utama seorang guru saat ini?

Menurutnya, pandemi dan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) adalah kendala utama seorang guru saat ini. Jadi, apakah pandemi menyalakan obor perubahan atau menyalakan obor dan membakar segalanya? Sejatinya, dalam situasi pandemi seperti ini, yang paling penting adalah kerja sama antara pengajar dengan para pemelajar. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sistem belajar daring sungguh mempengaruhi minat pemelajar dalam mengikuti pembelajaran.

Lantas, mengapa kita masih mengucapkan “Selamat Hari Guru?”. Apakah itu semua hanya formalitas setiap tanggal 25 November saja? Apakah bentuk penghargaan tertinggi seorang guru adalah diberi ucapan selamat hari guru?

Saya melanjutkan wawancara saya dengan Stephen dengan bertanya soal tingkat keaktifan murid dalam mengikuti pembelajaran daring. Sepele, hal pertama yang terjadi dari perubahan sistem adalah indisipliner: tidak menggunakan seragam, terlambat mengikuti pembelajaran, dan banyak murid yang tidak menyalakan kameranya saat pembelajaran sinkronus.

Indisipliner yang terakhir menurut saya paling tidak masuk akal. Anggaplah seseorang datang ke ruang kelas untuk belajar tapi dia tidak membawa wajahnya. Bukankah itu hal yang mustahil, namun oleh pembelajaran daring, hal tersebut dimungkinkan.

Menjadi guru Bahasa Indonesia saat ini, menurut Stephen, sungguh dihadapkan pada beragam dilema. Di satu sisi, ia berkeinginan agar para muridnya mampu menguasai kemampuan berbahasa yang tak hanya baik, namun tepat. Di sisi lain, keapatisan dari para murid tersebut membuatnya hanya mampu menilai setiap muridnya lewat ujian. Jadi, apa benar bahwa pembentukan karakter para pemelajar hanya menjadi tugas seorang guru saja? Jika iya, maka begitu beratlah tugas seorang guru di zaman pagebluk ini.

Menjadi guru memanglah sebuah renjana karena yang disiapkan bukanlah untuk masa sekarang, namun masa depan (sebuah masa yang diimpikan oleh tiap masa sebelumnya). Akan tetapi, seseorang yang bahkan memiliki cita-cita menjadi seorang guru ia telah berlaku adil sejak dalam pikiran, seperti kata Pram. Maka pada peringatan Hari Guru Nasional tahun 2021 ini, sudah selayaknya bahwa bentuk penghargaan terhadap guru haruslah lebih dari sekadar ucapan “Selamat Hari Guru” saja.

Lagi pula, saya tak bisa membayangkan setiap guru dari setiap zaman di Indonesia hanyalah dihargai macam Oemar Bakri-nya Iwan Fals:

Empat puluh tahun mengabdi

Jadi guru jujur berbakti memang makan hati

Oemar Bakri Oemar Bakrie

Banyak ciptakan menteri

Oemar Bakrie

Profesor dokter insinyurpun jadi

Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakrie

Seperti dikebiri

Ya, tak ada yang boleh “dikebiri” dari seorang guru di negeri ini.

 

                                                                                                            25 November 2021

Penulis: Titus Mario Indriyanto | Gambar: Freepik

 kembali