Web Fakultas SIA Mahasiswa SIA Orangtua
Artikel

Transformasi Kesadaran Ekologis Melalui Mata Kuliah Healing Earth  Guna Mengatasi Krisis Lingkungan Global

Kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan dan Sumatera pada tahun 2015 yang menghasilkan kabut asap tebal hingga ke negara tetangga menunjukkan betapa krisis ekologi telah menjadi masalah serius di Indonesia (Carmenta et al., 2017). Lebih dari 2 juta hektar hutan dalam sekejap mata berubah menjadi arang akibat pembakaran liar (Tacconi, 2016). Krisis ekologi seperti ini mencerminkan ketidakseimbangan hubungan manusia dengan alam yang sudah sangat parah.


Krisis ekologi saat ini, seperti pemanasan global, kepunahan spesies, polusi udara dan air, serta kerusakan ekosistem, menunjukkan adanya krisis mendasar dalam etika dan spiritualitas manusia (Gardner, 2010). Berbagai bencana ekologis yang terjadi belakangan ini merupakan cermin dari hilangnya harmoni hubungan antara manusia dengan alam (Esbjörn-Hargens & Zimmerman, 2009). 


Krisis ini mencerminkan ketidakseimbangan hubungan antara manusia dengan alam dan antar sesama manusia. Cara pandang yang mengeksploitasi alam dan mengabaikan keberadaan makhluk lain telah merusak tatanan ekologis planet ini (Kortenkamp & Moore, 2001). Diperlukan kesadaran mendalam untuk mentransformasikan etika dan spiritualitas demi mengembalikan keseimbangan (Berry, 2018). Hanya dengan mereformasi akar masalah yaitu hubungan manusia dengan alam yang tercermin dalam etika dan spiritualitas, krisis ekologi dapat diatasi secara menyeluruh (Esbjörn-Hargens & Zimmerman, 2009).


Krisis Etika: Paham Antroposentrisme


Secara etis, krisis ekologi disebabkan oleh pandangan dunia antroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai pusat segala sesuatu dan berhak mengeksploitasi alam demi kepentingannya sendiri (White, 1967). Antroposentrisme didasarkan pada pemikiran bahwa manusia memiliki posisi dan martabat tertinggi dibanding makhluk lain (Crist, 2012). Pandangan ini telah menjadi akar penyebab krisis ekologi karena mengabaikan keberadaan dan hak alam itu sendiri (Kopnina et al., 2018). 


Antroposentrisme berakar pada pandangan dunia mekanistik di era modern awal yang memisahkan manusia dan alam, serta menekankan dominasi manusia atas alam (Merchant, 2005). Alam dipandang sebagai mesin tanpa roh yang dapat dieksploitasi demi kepentingan manusia (Plumwood, 2002). Pandangan ini mereduksi nilai alam hanya sebatas manfaatnya bagi manusia.


Diperlukan pergeseran menuju eksentrisme yang memandang bumi sebagai satu komunitas saling terhubung di mana manusia adalah bagian darinya, bukan penguasa tunggal (Cullinan, 2011). Etika lingkungan seperti deep ecology oleh Arne Naess bertujuan mengembalikan harmoni hubungan manusia dan alam dengan memandang alam juga memiliki nilai intrinsik (Naess, 1973).


Pendekatan ecofeminism juga mengkritik cara pandang maskulinitas yang mendominasi alam (Plumwood, 2002). Ecofeminisme menolak pandangan dualistik yang memisahkan manusia-alam, laki-laki-perempuan, dan yang dianggap lebih rendah harus dikuasai (Mies & Shiva, 2014).


Krisis Spiritualitas: Manusia Terputus dengan Alam

Secara spiritual, krisis ekologi mencerminkan keterputusan hubungan spiritual manusia dengan alam. Alam dipandang sebagai objek untuk dieksploitasi, bukan sesuatu yang sakral dan perlu dihormati (Abram, 2010). Krisis spiritual ini ditandai dengan hilangnya rasa kekaguman dan keajaiban terhadap alam (Louv, 2012). 


Keterputusan spiritual ini berakar pada pandangan mekanistik yang memisahkan dan menomorduakan alam (Esbjörn-Hargens & Zimmerman, 2009). Alam kehilangan dimensi keramatnya dan hanya dipandang sebagai sumber daya. Akibatnya, kehidupan modern didominasi oleh keterasingan dari alam dan hilangnya makna yang ditemukan melalui hubungan dengan alam (Louv, 2012).


Diperlukan menumbuhkan kembali spiritualitas yang menghargai keterhubungan dan kesatuan semua makhluk hidup dan alam. Spiritualitas ramah lingkungan dalam agama-agama besar dunia mengajarkan untuk menghormati bumi dan semua ciptaan tuhan di dalamnya (Gottlieb, 2006). Pandangan dunia indigenous juga memuliakan alam dan mengajarkan hidup harmonis dengannya (Cajete, 2016).


Transformasi Etika dan Spiritualitas


Mengatasi krisis ekologi memerlukan transformasi mendasar etika dan spiritualitas untuk membangun kembali hubungan yang harmonis antara manusia, alam, dan sesamanya (Berry, 2018). Solusi teknis saja tidak cukup tanpa ditopang oleh kesadaran etis dan spiritual yang mendalam (Esbjörn-Hargens & Zimmerman, 2009). 


Diperlukan reformasi pendidikan untuk menanamkan etika dan kesadaran ekologis sejak dini (Goleman et al., 2012). Selain pengetahuan lingkungan, diperlukan pembentukan karakter dan hati nurani yang peduli terhadap alam. Pengintegrasian nilai-nilai ekologis dalam kurikulum pendidikan formal dan informal sangat penting untuk mentransformasi kesadaran generasi masa depan (Orr, 2004). Salah satu bentuk integrasi reformasi pendidikan yang dilakukan Prodi Pendidikan Biologi USD dalam rangka menanamkan etika dan kesadaran ekologi ini adalah melalui penyelenggaraan mata kuliah Healing Earth.


Healing Earth merupakan mata kuliah pilihan bagi mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi dan Program Studi lain di Universitas Sanata Dharma yang ingin belajar tentang permasalahan lingkungan menurut pendekatan integral Ignasian. Pendekatan integral Ignasian memadukan 3 sudut kajian yakni ilmu pengetahuan, spiritualitas, dan etika dalam melihat permasalahan lingkungan. Dalam pelaksanaan perkuliahan, mahasiswa akan mempelajari enam masalah lingkungan, antara lain meliputi (1) Perubahan Iklim global, (2) Krisis Air, (3) Hilangnya Biodiversitas, (4) Energi, (5) Ketahanan Pangan, dan (6) Industri Ekstraktif. 


Melalui dinamika perkuliahan Healing Earth, diharapkan mampu memberi inspirasi dan motivasi perubahan gaya hidup yang lebih bertanggung jawab secara ekologis pada peserta mata kuliah. Perubahan gaya hidup yang lebih berorientasi pada kelestarian ekologis ini mutlak diperlukan (Alexander, 2015). Pola konsumsi, transportasi, pemanfaatan energi, dan interaksi dengan alam perlu diarahkan kembali demi menjaga kelestarian ekosistem. Partisipasi aktif dalam gerakan lingkungan juga penting untuk memperkuat kesadaran kolektif (Dalton, 2017). Hanya dengan mereformasi akar masalah yaitu hubungan manusia dengan alam yang tercermin dalam etika dan spiritualitas, krisis ekologi dapat diatasi secara menyeluruh (Esbjörn-Hargens & Zimmerman, 2009).


Kesimpulan

Krisis ekologi mencerminkan adanya ketidakseimbangan hubungan manusia dengan alam akibat krisis etika antroposentrisme dan keterputusan spiritualitas dengan alam. Diperlukan reformasi mendasar etika lingkungan dan spiritualitas untuk mengembalikan harmoni. Transformasi kesadaran melalui pendidikan dan perubahan gaya hidup sangat penting. Dengan mereformasi pandangan yang berpusat pada manusia menjadi pandangan ekologis yang menghargai seluruh komunitas kehidupan, krisis ekologi dapat diatasi. Kesadaran bahwa manusia adalah bagian dari alam dan terhubung secara spiritual dengannya merupakan kunci untuk menjaga kelestarian lingkungan demi keberlangsungan kehidupan di bumi. (Hendra Michael Aquan)


******
Daftar Pustaka

  • Abram, D. (2010). Becoming animal: An earthly cosmology. Vintage.
  • Alexander, S. (2015). Prosperous descent: Crisis as opportunity in an age of limits. Melliodora Publishing.
  • Berry, T. (2018). The great work: Our way into the future. Broadway Books.
  • Cafaro, P., Butler, T., Crist, E., Cryer, P., Dinerstein, E., Kopnina, H., ... & Piccolo, J. (2017). If we want a whole Earth, nature needs half: a response to Büscher et al. Oryx, 51(3), 400-400.
  • Cajete, G. (2016). Native science: Natural laws of interdependence. Clear Light Publishers.
  • Carmenta, R., Parry, L., Blackburn, A., Vermeylen, S., & Barlow, J. (2011). Understanding human-fire interactions in tropical forest regions: a case for interdisciplinary research across the natural and social sciences. Ecology and Society, 16(1).
  • Crist, E. (2012). Abundant Earth and the human population question. In Life on the Brink (pp. 141-153). University of Georgia Press.
  • Cullinan, C. (2011). Wild law: A manifesto for earth justice. Green Books.
  • Dalton, R. J. (2017). The participation gap: Social status and political inequality. Oxford University Press.
  • Esbjörn-Hargens, S., & Zimmerman, M. E. (2009). Integral ecology: Uniting multiple perspectives on the natural world. Integral Books.
  • Gardner, G. (2010). Inspiring progress: Religions' contributions to sustainable development. WW Norton & Company.
  • Goleman, D., Bennett, L., & Barlow, Z. (2012). Ecoliterate: How educators are cultivating emotional, social, and ecological intelligence. John Wiley & Sons.
  • Gottlieb, R. S. (2006). The Oxford handbook of religion and ecology. Oxford University Press.
  • Kopnina, H., Washington, H., Gray, J., & Taylor, B. (2018). The ‘future of conservation’debate: Defending ecocentrism and the Nature Needs Half movement. Biological Conservation, 217, 140-148.
  • Kortenkamp, K. V., & Moore, C. F. (2001). Ecocentrism and anthropocentrism: Moral reasoning about ecological commons dilemmas. Journal of Environmental Psychology, 21(3), 261-272.
  • Louv, R. (2012). The nature principle: Reconnecting with life in a virtual age. Algonquin Books.
  • Merchant, C. (2005). Radical ecology: The search for a livable world. Routledge.
  • Mies, M., & Shiva, V. (2014). Ecofeminism. Zed Books Ltd..
  • Naess, A. (1973). The shallow and the deep, long‐range ecology movement. A summary. Inquiry, 16(1-4), 95-100.
  • Orr, D. W. (2004). Earth in mind: On education, environment, and the human prospect. Island Press.
  • Plumwood, V. (2002). Feminism and the Mastery of Nature. London & New York: Routledge.
  • Tacconi, L. (2016). Preventing fires and haze in Southeast Asia. Nature Climate Change, 6(7), 640-643.
  • Washington, H., Chapron, G., Kopnina, H., Curry, P., Gray, J., & Piccolo, J.J. (2018). Foregrounding ecojustice in conservation. Biological Conservation, 228, 367-374.
  • White Jr, L. (1967). The historical roots of our ecologic crisis. Science, 155(3767), 1203-1207.

 kembali