Ingatan manusia mungkin bisa dilumpuhkan secara sistematis oleh sebuah rezim. Namun selalu ada upaya untuk bersiasat. Sistematisasi melumpuhkan ingatan dan ide-ide ini pernah dilakukan oleh Orde Baru melalui kamp di Pulau Buru dan menjadikan orang-orang yang sengaja diasingkan di sana menjadi semacam pekerja petani penggarap proyek Repelita I. Kecerdasan, kreativitas, dan ide-ide mereka dilumpuhkan diawali dengan “pembinaan secara fisik” hingga “pembinaan mental” diikuti apel pagi dan sore selama hampir satu dekade setiap hari tiada henti.
Adalah Pak Greg sapaan Gregorius Soeharsojo Goenito, pria sepuh berusia jelang 81 tahun tersebut, hadir dengan sebuah buku biografi dilengkapi dengan puisi dan sketsa-sketsa yang dihasilkannya selama “diasingkan” di Pulau Buru (1969-1979). Jumat, 21 Oktober 2016 bertempat di ruang Palma Pascasarjana Universitas Sanata Dharma digelar diskusi buku dan pameran sketsa berjudul “Tiada Jalan Bertabur Bunga”. Tiga belas tahun ia hidup sebagai tahanan politik (tapol) di Pulau Buru. Apa yang pedih di Pulau Buru, hadir secara ironi melalui sketsa Pak Greg dan terkadang goresannya mengandung unsur komedi. Barangkali itu yang membuat sketsa-sketsa Pak Greg bisa selamat keluar dari sana dan kini bisa kita hikmati sebagai salah satu bentuk rekaman sejarah.
“Pada sore hari ini, saat-saat ini, menjelang senja ini adalah menjadi catatan sejarah tersendiri buat catatan harian saya untuk melengkapi masa-masa yang nanti akan diteruskan oleh generasi penerus agar tidak melupakan sejarah,” ungkap Pak Greg yang pernah kehilangan satu dekade masa hidup dan usia produktifnya berada di sebuah kamp yang nyata ada dalam sejarah bangsa ini—dibuat untuk mengasingkan dan menyingkirkan anak bangsanya sendiri yang ide-idenya dianggap berbahaya.
Ketika rombongan Pak Greg datang, Pulau Buru tidak kosong sama sekali: ada penduduknya. Para tapol pun berinteraksi dengan mereka meski pada awalnya masyarakat sempat takut dengan tapol sebab diinfokan bahwa yang datang adalah satu rombongan penjahat. Dari tapol, masyarakat setempat mengenal pertanian dan Pulau Buru pun kini menjadi salah satu lumbung pangan di wilayah Indonesia bagian Timur.
Diskusi ini terselenggara atas kerja sama PUSDEMA (Pusat Kajian Demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia) USD dengan penerbit Insistpress, AIFIS (American Institute for Indonesian Studies) IKOHI, Warming, Ajar Justice dan disiarkan secara live streaming oleh Radio Buku.
Dua pemapar lain yang mendampingi kehadiran Pak Greg adalah budayawan Hairus Salim dan sejarawan Yosef Djakababa, Ph.D. Hairus Salim melihat kekuatan buku Pak Greg justru ada pada sketsa-sketsanya. Narasi Pramoedya Ananta Toer dan Hensri Setiawan akan Pulau Buru bisa dibayangkan dengan kuat melalui sketsa-sketsa Pak Greg. Tentu, kamera pada masa itu hampir tidak merekam “kerja paksa”. Dengan demikian sketsa Pak Greg dapat menjadi dokumentasi sejarah sekaligus memiliki kekuatan artistik. “Buku ini sejenis resistensi, perlawanan halus, yang melampaui ingatan. Ceritanya sendiri sangat menarik dan menunjukkan ada perlawanan di sana.” ungkap Hairus Salim.
Sementara, Yosef Djakababa memaparkan proses pembersihan G30S dari kacamata arsip. Secara kronologis ia menbedah telaahnya pada arsip kebijakan awal pembersihan. Yang muncul paling pertama adalah pada tanggal 10 Oktober 1965. Dari dokumen tersebut dapat diketahui bahwa sasaran awal pembersihan hanya di tubuh Angkatan Darat. Tanggal 12 Oktober dibentuk sebuah panitia dan juga pernyataan untuk mulai mengawasi siapa yang kira-kira pada tanggal 30 September yang tidak masuk kerja, dan itu adalah orang pertama yang dicurigai. Pada tanggal 12 November, sudah ada petunjuk pembersihan yang menyasar tidak hanya anggota militer tetapi juga orang sipil yang bekerja di Departemen Pertahanan dan Keamanan, namun belum meluas ke masyarakat. Tiga hari kemudian, pembersihan seluruh orang sipil di birokrasi dimulai.
Kebijakan pengasingan dan pembinaan berdasar surat keputusan Kopkamtib Nomor: Kep-009/KOPKAM/2/1969 yang kemudian menetapkan Pulau Buru sebagai tempat tinggal sementara, bekas tahanan dan bekas narapidana G30S. “Sepucuk surat keputusan itulah yang memutuskan Pulau Buru sebagai tempat tinggal sementara.” papar Yosef Djakababa.
Di pulau itu, sebelum pertanian hadir, apa saja dimakan tapol. Cindil anak tikus pun dimakan. Pengalaman itu dihadirkan Pak Greg dalam sketsanya. Ia tak henti berkarya sepanjang diasingkan. Goresannya terasa tergesa, menampilkan hal-hal yang seakan wajar tetapi diselipi oleh muatan peristiwa yang ia saksikan kala itu juga. “Pulau Buru adalah tempat pembuangan yang indah. Memang indah. Betul juga.” kenang Pak Greg. Satu cara bersiasat dalam situasi sulit ia masih melenggang di usia yang nyaris senja sambil terus menebarkan kesaksian melalui sketsa. (DI)