Berita

Batik, Bagian Dari Jati Diri Bangsa

08 Juli 2022

Mereka mendapat gelar Mbok Mase dan kata itu bercerita banyak tentang kejayaan pengusaha batik di Jawa tempo dulu. Sebutan ini tidak cuma menunjukkan potret kepiawaian perempuan Laweyan dalam berwirausaha, namun terkait erat dengan yang disebut oleh sejarawan Solo, Soedarmono sebagai pendobrak citra: mental pribumi Jawa yang malas. Berbicara mengenai Mbok Mase Laweyan, mengingatkan pada kisah perjalanan sejarah kain batik sebagai proyek identitas.

Fiona Kerlogue, doktor spesialisasi batik lulusan University of Hull Inggris dalam bukunya Batik: Design, Style & History (2004), mengemukakan bahwa di mana saja dan di kesempatan apa pun, baik formal maupun informal, batik menjelma menjadi ikon ungkapan kebanggaan nasional yang penting, satu dari elemen kuat ekspresi nasionalisme Indonesia yang merata, dikenakan pria-wanita, tua-muda, mulai dari orang biasa hingga presiden.

Batik dipakai tidak saja saat wanita bekerja di sawah, namun juga hadir di rumah- rumah, dalam resepsi dan upacara adat, muncul di tingkat bawah maupun elite, bahkan di tingkat kenegaraan. Lebih dari itu, kerab kali menyaksikan batik menjadi ekspresi seni yang tak lagi anonimus, berfungsi tidak hanya sebagai kostum semata-mata, tapi sebagai dekorasi, barang seni, hingga suvenir wisata wajib yang populer. Gairah memperkenalkan batik dan menghargainya sebagai bentuk ekspresi local genious bangsa di dunia internasional, cukup besar. Ketika batik didaku negeri jiran sebagai hasil ciptaannya, warga Indonesia berang. Tentunya kita tak bisa hanya marah menghadapi kelihaian Malaysia. Karena bangsa mana pun yang tak becus mengurus miliknya sendiri pasti akan menjadi incaran pihak lain.

     
 

”Jangan nilai orang dari pakaiannya”, inilah nasehat yang sering terdengar. Artinya, penampilan bukanlah hal penting sebab masih ada unsur lain yang jauh lebih penting. Nasehat tersebut tentunya tidak berlaku bagi orang Jawa yang lebih teguh dengan ungkapan “ajining raga ono ing busono”. Seperti yang tertulis di buku Outward Appereances:Trend, Identitas, Kepentingan (2005), pakaian merupakan kulit luar yang menegaskan identitas pemakai kepada lingkungan sosial. Baju menjadi media yang efektif guna menunjukkan status, kedudukan, kekuasaan, gaya hidup, gender, dan jenis kelamin dari masa ke masa.

 
     

Bila dibandingkan dengan pakaian adat suku-suku di Nusantara, batik menempati urutan tertinggi, (dianggap) sebagai kostum nasional. Eloknya, kini, pemakaian batik tiada lagi mencerminkan perbedaan status sosial dan gaya hidup. Di sinilah batik berperan besar (sebagai alat) atas leburnya diskriminasi dan hegemoni yang terbentuk sejak masa kolonial Belanda. Kala itu, pakaian sengaja diciptakan guna membedakan antara yang kulit putih dengan pribumi dan antara pribumi satu dengan yang lain. Saban daerah mesti mengenakan pakaian daerahnya masing-masing. Sementara busana khas kolonial Belanda dilarang dikenakan pribumi.

Pakaian raja atau sultan tidak diperkenankan dipakai sembarang orang, apalagi rakyat jelata. Batik diasosiasikan dengan kehidupan seremonial keluarga yang mempunyai tradisi turun temurun yang sarat dengan privilese. Pakaian menentukan citra seseorang. Busana menjelma sebagai pembeda di tengah-tengah masyarakat. Identitas itu tampil di ruang-ruang publik, dengan tampilan warna-warni, ternyata diam-diam membawa pesan yang sarat konflik.

Dewasa ini, batik baru tren dan membawa kecenderung pada perwujudan cinta masyarakat Indonesia terhadap produk dalam negeri dan bentuk reaksi atas westernisasi. Teringat pada 13 April 2008 silam, Jalan Slamet Riyadi bak lautan manusia. Gelaran Solo Batik Carnival yang hendak mendongkrak pamor batik sampai ke tingkat setinggi-tingginya pantas memperoleh apresiasi publik. Pasalnya, itu bagian usaha membumikan batik sekaligus memperkenalkan batik ke masyarakat internasional. Hanya saja batik tidak bisa bertahan pada situasi tradisional. Mau tidak mau batik harus mengalami polesan karena menyesuaikan diri terhadap semangat zaman. Oleh karena itu, batik akan terus berkembang dan dicari orang. Seperti orang Betawi bilang: kagak ade matinye!
Pasang surut batik telah mewarnai serta mendominasi perjalanan sejarah kostum di Indonesia. Mengapa kita mesti malu memakai baju batik, karena dengan itu kita berarti ikut melestarikan produk lokal dan memperkuat jati diri bangsa. Tubuh orang Indonesia yang memakai baju batik menjadi personifikasi negara, dan mendefinisikannya sebagai non-Barat, sekaligus memberikan bukti bahwa meskipun kita mengadopsi begitu banyak atribut Barat, dalam semangat kita masih ”Indonesia”, yang murni dan tak tercemar.

     
 
Kesadaran kolektif
“Nduk, yen ora entuk juragan batik, goleko bojo tukang ngecap batik. Dompete luwih kandel tinimbang pegawai negeri ing kondang gajine pas-pasan”. Setengah abad silam, selarik “pitutur” orangtua kepada putrinya ini sempat beken. Sejumput fakta historis tersebut menyembulkan, juragan dan buruh batik rupanya diidamkan barisan wanita lantaran ekonominya bagus. Bahkan, pada suatu masa, pekerjaan membatik dikategorikan cita-cita terbaik para lelaki yang tak sanggup menggapai sekolah tinggi.
 
     
Setiap kali kita merayakan Hari Batik Nasional yang jatuh pada 2 Oktober, keberadaan juragan batik yang berkesadaran luput diendus. Mereka hidup dalam kesenyapan di tengah kemeriahan perayaan yang bermisi melestarikan warisan budaya Nusantara itu. Tengoklah barang beberapa jenak, seabreg orang swafoto berbaju batik bergentayangan di media sosial. Akan tetapi, jarang ada yang mengunggah foto juragan batik bersama buruhnya diikuti ucapan terima kasih karena telah menjaga gawang dan membidani lahirnya maha karya anak bangsa ini.

Tidak hanya tangguh di medan ekonomi berbekal manajemen yang jempolan, kesadaran politik mestinya dipunyai pula oleh para pengusaha batik. Kesadaran politik jelas dibutuhkan untuk memahami dinamika ekonomi-politik dan menghadapi musuh bersama. Monopoli bahan batik dan impor batik merupakan ancaman serius yang berpotensi menggerus usaha perbatikan kita, dari waktu ke waktu. Saya comotkan contoh kiprah Haji Samanhudi (1868-1956) yang cukup legendaris di panggung nasional. Dialah satu-satunya pahlawan nasional di Indonesia dari kalangan pedagang (batik) yang ikut mengepalkan tinju melawan kolonialisme dan feodalisme di masa lampau. Mengumpulkan juragan batik pribumi dan menantang pemerintah kolonial Belanda yang berkolaburasi dengan bangsa Tionghoa dalam urusan monopoli bahan industri batik di Jawa.
Permulaan abad XX, kesadaran berorganisasi melambari para produsen batik untuk menguatkan pergerakan. Sekalipun punya segepok duit dan pasukan buruh batik, tak mungkin mereka meladeni serangan musuh satu-persatu. Ibarat lidi yang diikat sehingga bertambah bakoh daya juangnya, rombongan juragan batik mendaftarkan diri dan berkecimpung dalam Sarekat Dagang Islam (kemudian menjadi Sarekat Islam) demi mewujudkan kemandirian ekonomi dan tak ciut nyalinya menghadapi musuh.

Jangan salah, produsen batik kala itu punya bibit kesadaran literasi, meski kurang bersepakat dengan sistem sekolah Barat. Mereka rela menyewa penerjemah media massa berbahasa Belanda untuk membacakan berita politik dan hukum ekonomi yang seringkali memuat aturan perdagangan. Fakta ini menunjukkan bahwa mereka emoh terjebak dalam perkara hukum ekonomi kolonial yang berpeluang menghabisi usaha dan karirnya sebagai juragan batik pribumi. Koran De New Vorstenlanden tak jarang menurunkan berita tentang kebijakan ekonomi yang berlaku di Hindia Belanda, termasuk perkara pajak pengusaha dan komoditas dagangan.
Kesadaran ini berlanjut hingga pertengahan abad XX. Kelompok tersebut bertambah kuat melalui penerbitan majalah Batari. Selain mencerahkan publik mengenai jagad batik, media tersebut menjadi corong politik sekaligus pengikat rasa solidaritas sesama penekun bisnis batik. Tak tanggung-tanggung, jajaran redaksi diisi oleh jurnalis tangguh yang diminta memperkuat media organisasi ini. Misalnya, Muhammad Dimyati, seorang jurnalis terkemuka dari Laweyan Surakarta. Meski menderita tuli, tapi dari jemarinya menetes buah karya yang cukup berkualitas. Mewawancarai dan memperhatikan ucapan narasumber dari gerak bibir!

     
 
Yang sukar diabaikan ialah kesadaran regenerasi. Lazim, usaha perbatikan kukut bukan lantaran kalah bersaing, tapi memang tiada anggota keluarga yang bersedia meneruskan dan melestarikan perusahaan milik orangtua. Seperti kasus di Laweyan, kecakapan berbisnis batik tak diperoleh lewat sistem pendidikan Barat, melainkan meminjam konsep “tobong” dalam dunia pertunjukan kesenian. Sang anak sehari-hari menyaksikan orangtuanya bekerja mulai dari mengontrol buruh, melipat batik, belanja bahan, mengirim dagangan ke pasar sandang, hingga pembukuan. Realitas kontemporer bahwa batik masih digemari masyarakat, bahkan menjadi seragam kantor dan busana anak muda kekinian. Artinya, masa depan batik tetap bisa diharapkan.
 
     

Demikianlah, roncean kisah di muka menggambarkan betapa pengusaha batik tempo dulu sanggup menyongsong masa karena berbekal aneka berkesadaran. Mereka titis “membaca” zaman karena tidak hanya lewat perhitungan ekonomi yang matang, namun juga memiliki kesadaran kolektif dan beridentitas kultural memberi corak keindonesiaan.

oleh: Heri Priyatmoko
Dosen Prodi Sejarah, Universitas Sanata Dharma

Kembali