AKTUALITA

WEBINAR: 24 Mei 2022 Inkulturasi: Memaknai Secara Kreatif Perjumpaan Iman

24 MEI 22
   Selasa (24/05/2022), Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta kembali mengadakan webinar bulanan. Webinar kali ini mengambil tema “Inkulturasi: Memaknai Secara Kreatif Perjumpaan Iman.”  Narasumber webinar ini ialah Dr. Yoachim Agus Tridiatno, M.A, Dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan Rm. Dr. Fransiskus. Purwanto, SCJ, Ketua P3TK Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Rangkaian acara webinar dimoderatori oleh Fr. Christian Hofer, SCJ.
24 mei
    Dalam pemaparannya Pak Tri mengisahkan kilas sejarah di mana upaya inkulturasi sudah dimulai pada tahun 1925, yang ditandai melalui upaya memasukkan Gending Jawa ke dalam Gereja di Sekolah Pendidikan Guru Muntilan atau yang sekarang dikenal dengan nama SMA Van Lith. Pak Tri mengatakan bahwa usaha ini melahirkan banyak buku yang memuat lagu-lagu khususnya lagu Jawa, misalnya: Pepudyan Suci, Natalia, Kidung Adi dan beberapa buku lainnya. Selain itu, ia juga menjelaskan tentang upaya inkulturasi nyanyian liturgi dalam bahasa Indonesia, yang dimulai dengan terbitnya beberapa buku: Jubilate, Syukur Kepada Bapa, Gema Hidup dan Gereja Muda.
24 Mei
   Upaya inkulturasi ini makin getol dilakukan hingga pada akhirnya terbitlah buku Madah Bakti yang dibuat oleh PML pada tahun 1980. Menurutnya, Madah Bakti bukan hanya inkulturasi melainkan juga Indonesianisasi; Sebagai suatu inkulturasi Madah Bakti dipandang masih belum sempurna karena itu di tahun 1992 diterbitkanlah Puji Syukur. Penerbitan ini semula bertujuan untuk merevisi dan melengkapi apa yang kurang dalam Madah Bakti. Akan tetapi, kedua buku ini dirasa belum mencukupi kebutuhan umat dalam mengungkapkan imannya maka muncullah beberapa inisiatif dari: Paroki Kota Baru, Komisi Liturgi DIY dan Tim Musik Liturgi KAS, yang menerbitkan beberapa buku nyanyian liturgi guna menjawab kebutuhan umat.
     Menurut Pak Tri, tantangan dalam inkulturasi nyanyian liturgi terletak pada: 1) Legalitas izin untuk menerjemahkan dan mengadopsi budaya dalam nyanyian liturgi. 2) Penerjemahan syair lagu apakah harus ad literam, ad sensum ataukah ad contextum? Berhadapan dengan dua tantangan ini, pak Tri menegaskan bahwa inkulturasi harus berada dalam konteks Gereja semesta, zaman dan seluruh umat manusia. Di sini tentu akan muncul tantangan baru, yaitu bagaimana mempertahankan budaya lokal di tengah kemajemukan yang ada. Karena itu, dibutuhkan interpreter dan komitmen agar upaya inkulturasi menyentuh dan menjawab kebutuhan umat dalam mengungkapkan imannya.
 24 Mei
    Berkaitan dengan dinamika inkulturasi yang telah dilakukan Gereja Indonesia, Rm. Purwanto mengatakan bahwa masih banyak hal yang belum digali lebih jauh dan dalam seperti: seni, kearifan lokal dan kebudayaan populer. Dalam hal ini, Rm. Purwanto mengajak agar teologi penciptaan harus dikembangkan lagi, di mana itu mensyaratkan adanya hermeneutika kehidupan, yang akan membuat kita mau tidak mau harus berhadapan dengan teologi praktis dan teologi publik.
     Selain itu, Rm. Purwanto juga menambahkan bahwa pengalaman batin akan yang Ilahi akan menghantar dan menyatukan kita dalam inkulturasi yang lebih luas dan dalam, yaitu inkulturasi kehidupan. Dengan demikian, penggalian yang lebih dalam terhadap teologi inkulturasi dapat menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia dan menjawab kebutuhan umat dalam mengungkapkan imannya.(George Glinc).

  Kembali
Lihat Arsip