Berita

Feature B. Rahmanto

09-04-2013 11:39:36 WIB 

Tentang B. Rahmanto:

SANG RAJAWALI YANG TERBANG TINGGI

 

 

“Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan Tuhan mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah” (Yesaya, 40: 31)

                             

Bernardus Rahmanto adalah seorang ilmuwan, seniman, jurnalis, editor, penulis, pengajar, dan peneliti sastra yang visioner.  Ia ibarat rajawali yang terbang tinggi dan tak pernah menjadi lelah. Sepanjang karyanya, beliau menunjukkan semangat rajawali yang tak pernah menyerah. Pada tanggal 17 Juli 2011, Rahmanto harus memasuki masa purna  bhaktinya sebagai dosen tetap di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Apa rahasia sang Rajawali, the king of birds atau the king of sky? Rupanya ia punya cara jitu. Daripada melawan angin, ia memanfaatkannya untuk bergerak bersama tiupan angin. Ia mempercayakan diri pada dorongan angin untuk maju. Jadi, sebenarnya ia bukan terbang, melainkan melayang di ketinggian. Melayang bukan dengan kekuatannya sendiri, melainkan dengan dorongan angin. Tatkala badai kesulitan hidup menghantam, apakah tanggapannya? Ia tidak mengeluh, mengaduh, geram, marah, berteriak, menuduh orang lain, atau menyalahkan Tuhan. Ia tidak melawan dengan kekuatannya sendiri. Hal itu percuma karena ia akan kelelahan, terengah-engah, dan frustrasi. Kesulitan yang kian besar justru menjadi “kendaraan” baginya untuk kian berserah, mempercayakan diri pada bimbingan ‘sang Angin’. Ia senantiasa mengijinkan Angin membawanya  “melayang” di tengah hembusan badai persoalan.

Itulah pula sebabnya Riris K. Toha-Sarumpaet, professor sastra dari UI dan mantan ketua umum Himpunan Sarjana Kesusastraan-Indonesia (HISKI), menyebut sosok Rahmanto “bukan hanya seorang sahabat, pimpinan HISKI, pakar pembelajaran sastra tetapi bagi saya lebih utama adalah keguruan dan kemanusiaannya yang tulus, yang sulit saya lupakan.” Rajawali yang tulus itu telah menjelajah kawasan yang cukup luas: sebagai sastrawan, penulis kreatif, jurnalis, editor, penulis buku teks, dan lebih-lebih pengajar di perguruan tinggi. Berikut sekilas tentang bidang-bidang jelajah sang rajawali.

 

Sastrawan dan Penulis Kreatif

Rahmanto lahir di Bantul, Yogyakarta, 17 Juli 1946. Ia adalah sulung dari tujuh bersaudara dari ayah bernama Sastrapawira. Masa kecil sampai remaja dihabiskannya dalam keriangan bersama keenam saudaranya di Bantul. Ia menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Patalan (1961) dan SMP Katolik Ganjuran (1964) di Bantul. Setelah itu, Rahmanto melanjutkan sekolahnya ke SMAN 6 Yogyakarta. Di SMA inilah ia mulai mengenal dan mengakrabi dunia tulis menulis, khususnya menulis puisi dan cerpen.

Ketika menempuh pendidikan tinggi di IKIP Sanata Dharma di tahun 1970, Rahmanto mulai dikenal sebagai seorang penulis yang produktif dan aktif mempublikasikan karangan-karangannya di media massa pada waktu itu, seperti Mekar Sari, Minggu Pagi, dan Kedaulatan Rakyat. Rahmanto bahkan mengenal dengan baik redaktur dan penulis-penulis semasanya. Redaktur Minggu Pagi waktu itu, Hadjid Hamzah, sering dijumpainya di tempat-tempat penjual buku loakan. Di sana mereka bebas ngobrol dan Rahmanto diminta untuk terus menulis di Minggu Pagi. Redaktur Mekar Sari waktu itu adalah Handung Kussiarsono, kakak kandung Bagong Kusudiarjo. Mereka pun sering bertemu dan membahas berbagai persoalan budaya.

“Di Minggu Pagi, saya pernah terlibat polemik dengan ibu Prof. Dr. Rahayu Prihatmi, dekan FIB UNDIP Semarang perihal kritik sastra. Tema polemik itu ‘Sastra dengan Nilai Enam Setengah,” kenang Rahmanto.

Rahmanto juga punya kenangan tersendiri dengan sahabatnya Arswendo Atmowiloto. Di awal tahun 1970-an, Arswendo aktif menulis kreatif dalam bahasa Jawa. Ketika itu Arswendo menulis sebuah novel detektif dalam bahasa Jawa. “Lucunya, mesin ketik Arswendo kan sudah tidak nyala lagi, kehabisan tintanya, maka Arswendo mengandalkan tindasannya berupa copy carbon. Jan saat itu Arswendo sedang kere-kerenya,” tutur Rahmanto sambil tertawa lepas dengan suara baritonnya yang khas.

“Tidak mau kalah dari Arswendo, saya pun menulis sebuah novelet yang dimuat di Mekar Sari. Judulnya sangat romantis,  Asrama ing Pasisir Buleleng,” tutur Rahmanto.           

Selain ketiga media massa di atas, Rahmanto juga menulis geguritan (puisi dalam bahasa Jawa) dan cerpen bahasa Jawa di tiga majalah lainnya, yaitu Penyebar Semangat, Joko Lodang, dan Kembang Brayan.

 

Dunia Cerpen Jawa

            Beruntung, sebagian cerita cekak atau cerpen berbahasa Jawa karya B. Rahmanto dikumpulkan dalam sebuah kliping sederhana yang diberi judul Rekaman Angenangen (1972). Pada halaman pertama ada tulisan persembahan kanggo ibuni bocah-bocah sing isih imajiner”. Halaman berikutnya dituliskan semacam kata pengantar dalam bahasa Jawa yang diberi judul Pangiring, tertanggal 19 Agustus 1972. Pada halaman belakang, ada semacam penutup yang diberi judul “Atur Pungkasan”. Pada beberapa cerpen terdapat keterangan tentang majalah yang memuatnya disertai tanggal pemuatannya, tetapi kebanyakan tidak diberi keterangan. Berikut ini judul cerpen-cerpen B. Rahmanto.

            “Bengi Iku Padang Rembulan” (Kembang Brajan, Nomor 37, 30 Nopember 1969), “Biwara Sadulur Kembarku”  (Kembang Brajan, Nomor 48, Pebruari 1970), “Inaugurasi,” “Duwit Pensiun,” “Gumantung Ing Angen2,” “Udane Tansaja Deres,” “Es Apolo,” “Gara-gaja Kerekan Pantjing,””Bajare Bakal Ditikelke” (Joko Lodang, Pebruari 1972), “Asmara Ing Pasisir Buleleng,” “Tawan Karang,” “Ngandemi Katresnan Wutah Getih,” “Bali Dudu Swarganing Walanda,” “Wewadine Salaman” (Joko Lodang, Oktober 1971), “Mundak Tuwa Mundak Bodo?”

            Selain dalam bahasa Jawa, Rahmanto pun memiliki sejumlah cerpen yang ditulisnya dalam bahasa Indonesia. Sayang sekali kliping khusus cerpen-cerpen berbahasa Indonesia tidak dapat ditemukan lagi. “Kalau dicari di Majalah Semangat dan Peraba tahun 1970-an pasti ketemu. Dalam majalah Semangat, saya ingat betul, ada sebuah cerpen saya berjudul “Ciuman Pertama”  yang mendapat hadiah pertama dari majalah tersebut (1972). Hadiah itu saya belikan jam tangan merek Seiko,” papar Rahmanto sambil tertawa terbahak-bahak. Selain itu, cerpen-cerpennya yang ditulis dalam bahasa Indonesia pernah juga dimuat dalam harian Sinar Harapan Jakarta dan Majalah Remaja MIDI Jakarta pimpinan Arswendo Atmowiloto.

            Masa produktif Rahmanto adalah di tahun 1970-an, 1980-an, dan 1990-an. Pada kurun tiga dasawarsa ini, Rahmanto sangat produktif menulis berbagai esai di Kedaulatan Rakyat, Basis, Horison, Sinar Harapan, Kompas, dan Majalah OPTIMIS.

            Selain cerita pendek dalam bahasa Jawa dan Indonesia, Rahmanto pun  menulis banyak opini dalam bahasa Jawa. Perhatikan beberapa judul opininya berikut ini. “Kawanitan: Panaliti Rasa Begdja,” Lelara Psikosomatik,” “Katja Mripat,” “Lipstick,” “Njegah Abab Mambu,” “Kukul,” “Mangsa Lambangsari ing Amazon,” “Diwajuh Malah Bungah,” “Njuda Lemuning Sarira,” “Bejane Kang Tresna Wong Tuwa,” “Kadjiret Djalane,” “Dongeng Botjah: Aneh,” “Pituwase Kang Laku Duraka,” “Gambare Judas Iskariot,” “Dongeng Botjah: Tjidra Ing Djandji Kaweleh Ing Mburi,” “Ngunduh Panggawene Dewe,” “Kang Mrusal Kasingsal,” “Adjine Dumunung Ing Gebjar?” “Barang Kang Larang Dewe Regane.”

Oleh karena dipandang memiliki ketrampilan berbahasa Jawa itulah, Rahmanto pernah diminta untuk memberi kursus bahasa Jawa kepada Ibu Prof. Dr. A. Teeuw. “Honornya berupa buku-buku yang ditulis oleh Prof. Teeuw ketika itu,” kisah Rahmanto.

Ketekunannya di dunia penulisan kreatif ini membuatnya terobsesi untuk menularkannya pada anak didiknya. Alhasil, dalam kurikulum  Jurusan Sastra Indonesia USD (1990, 1994, 1998), dimasukkanlah mata kuliah penulisan kreatif yang mencoba menuntun mahasiswa menekuni dunia penulisan kreatif. Rahmanto sendiri bertindak sebagai pengampu mata kuliah pilihan tersebut. Hasilnya benar-benar nyata: beberapa alumni menerbitkan puisi, cerpen dan novel karya mereka sendiri. Bahkan ada dua penyair nasional yang tak lepas dari didikannya, yaitu Joko Pinurbo dan Dorothea Rosa Herliany.

 

Wartawan: Dari Majalah Dinding sampai Majalah Basis

Berbekalkan ketrampilan menulis kreatif yang sudah go public itu, Rahmanto pun merintis pembentukan Majalah Dinding di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma, sekitar tahun 1970. Rahmanto sendiri mengasuh rubrik pojok yang dinamakan “Sikalaupun”. Di rubrik inilah Rahmanto bebas menyalurkan aspirasi dan bakatnya sebagai wartawan.

 “Saya pernah ditegur oleh Rm. Koendjono karena tulisan saya di Minggu Pagi yang mengeritik dengan tajam pembacaan puisi di PBSI ketika itu yang saya nilai ‘norak,” tutur Rahmanto sambil tersenyum. Perkenalan Rahmanto dengan dunia kewartawanan formal diawalinya di Majalah Praba. Perkenalan itu dimediasi oleh Pak Bakdi Sumanto.

“Pak Bakdi Sumanto suatu ketika di tahun 1972 mengantar saya menemui pemimpin redaksi Majalah Praba, Julius Pour, dan meminta saya menjadi wartawan di majalah tersebut,” kisah Rahmanto sambil mengenang jasa Pak Bakdi Sumanto. Maka di tahun 1972 itu pun jadilah Rahmanto sebagai wartawan Majalah Praba yang memiliki kartu wartawan. “Saya sudah punya sepeda sendiri dan bisa membawa kamera ke sana ke mari, meskipun hanya pinjaman. Bahkan saya bisa membiayai kuliah saya dengan kegiatan-kegiatan kreatif itu,” tutur Rahmanto sambil menegaskan bahwa mahasiswa sekarang seharusnya lebih enak karena berbagai kemudahan, seperti mudah mendapatkan online dan offline resources, komputer dan laptop yang bisa menyimpan berbagai data dengan aman, dan menjamurnya media massa yang membutuhkan aneka ragam tulisan kreatif.

            Sementara itu, Rm. Th. Kundjana, SJ, salah seorang dosennya pada waktu itu  juga melihat adanya bakat wartawan yang dimiliki Rahmanto. Rm. Koendjana sendiri waktu itu adalah penulis bahasa Jawa yang cukup terkemuka di tanah air. Rm. Koendjana kemudian memperkenalkan Rahmanto kepada Romo Dick Hartoko, yang pada waktu itu menjadi ketua redaksi Majalah Basis.

            “Sebenarnya ada sebuah peristiwa yang tidak mengenakkan waktu bertemu pertama kali dengan Romo Dick Hartoko. Saya sudah Tingkat III waktu itu, ketika saya ditunjuk sebagai ketua panitia peringatan Hari Chairil Anwar. Saya mengundang Rm. Dick untuk berbicara tentang eksistensialisme Chairil Anwar. Pada hari pelaksanaannya, ketika Romo Dick sudah siap dengan risalatnya, tidak ada mahasiswa yang datang. Seminar gagal total.  Saya pun diantar oleh Rm. Koendjana menemui Rm. Dick Hartoko, SJ di kantor Majalah Kebudayaan Basis. Akan tetapi, saya malah diminta oleh Rm. Dick untuk kerja di Majalah Basis menggantikan Sapardi Djoko Damono di tahun 1974. Secara resmi, saya menjadi redaktur rubrik puisi sejak tahun 1976,” tutur Rahmanto.

            Rahmanto pun tercatat sebagai redaktur Majalah Basis sejak tahun 1974 sampai sekarang. Sejak 1976-1994, secara resmi Rahmanto menjabat sebagai Sekretaris/Redaksi Puisi. Kemudian tahun 1994 – sekarang tercatat sebagai redaksi Majalah Basis. Saking lamanya bekerja di Majalah Basis, Rm. Y. B. Mangunwijaya pernah menyindirnya, “Rahmanto itu lebih Jesuit daripada orang Jesuit,” karena perhatiannya pada pengembangan majalah ini.

            Karena kedudukannya sebagai wartawan majalah Basis, Rahmanto pun mengenal secara pribadi tokoh-tokoh sastra dan budaya Indonesia, seperti: Mochtar Lubis, Goenawan Muhammad, Sapardi Djoko Damono, Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib, Budi darma, Suripan Sadi Hutomo, Linus Suryadi, Darmanto Yatman, Pamusuk Eneste, Jacob Sumardjo, Bambang Kaswanti Purwo, Ignas Kleden, dan Anton M. Moeliono.

 

Keluarga, Pendidikan,  dan Organisasi

Di tahun 1979, Rahmanto bertemu dengan kekasihnya, A. M. Budiarti. Oleh karena sang pujaan hati bekerja sebagai perawat di RS Adi Usaha Surabaya, Rahmanto pun bolak-balik Yogya – Surabaya selama 3 tahun. “Anehnya, setiap kali saya ke Surabaya, selalu saja bertemu dengan Emha Ainun Nadjib di dalam bis yang sama. Kami pun sering ngobrol ngalor ngidul,” kenang Rahmanto.

Tahun 1981 mereka menikah dan sang istri yang menyelesaikan Akper D3 ini pindah dan bekerja di RS Panti Rapih. Mereka dikaruniai dua orang anak, Lukas Priyambodo (lahir 21 Oktober 1982) dan Carla Kuntari (lahir 4 November 1984). Lukas Priyambodo sudah menyelesaikan S1 Manajemen di FE USD. Meskipun selama empat tahun putra sulung ini sudah bekerja di sebuah perusahaan Farmasi di Jakarta, dia masih mau melanjutkan pendidikan S2 Magister Manajemen di Universitas Atmajaya Yogyakarta. Sedangkan Carla Kuntari yang kini sudah bekerja di pabrik Farmasi FIMA di Cikarang adalah lulusan Farmasi dan Profesi Apoteker USD.

 

 Rahmanto adalah dosen senior Prodi Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Sejak lulus sebagai Sarjana Bahasa dan Sastra IKIP Sanata Dharma tahun 1978, beliau bekerja sebagai dosen tetap di Prodi PBSID FKIP Universitas Sanata Dharma (1978-1992) kemudian Prodi Sastra Indonesia (1992 – sekarang) di Universitas Sanata Dharma. Tahun 1994, Rahmanto meraih gelar Magister dalam bidang Ilmu Humaniora (Sastra Indonesia dan Jawa) dari Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, di bawah bimbingan Prof. Dr. Umar Kayam.  Selain sebagai dosen tetap di USD, beliau pernah tercatat sebagai dosen tidak tetap di beberapa perguruan tinggi, antara lain STF “Pradnyawidya” (1980-1992), JPBSI FKIP Universitas Sarjana Wiyata (1988-1990), FE Universitas Atmajaya (1998-sekarang), dan Universitas Terbuka. Sejak tahun 1976, beliau menjabat sebagai sekretaris redaksi majalah kebudayaan Basis di Yogyakarta yang masih ditekuninya sampai sekarang.

            Jabatan struktural diawalinya sebagai Koordinator Program Diploma Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra  di IKIP Sanata Dharma (1984 – 1988),  Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma (1990 – 1992),  Kepala Pusat Kajian Bahasa, Sastra, dan Kebudayaan Indonesia,  USD (1997 – 2003),  Ketua Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma (2004 – 2010).

Sementara itu, kiprah Rahmanto di dunia organisasi profesi Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) dimulainya sebagai Ketua III HISKI Komda DIY (1989-1994), Ketua I HISKI Komda DIY (1998 – sekarang), dan ketua HISKI Pusat (2005 - 2010).

Penulis Buku dan Editor

            Rahmanto –baik sendiri maupun bersama tim—menerbitkan sekitar 18 buah buku dan ratusan artikel. Akan tetapi ada tiga buah buku yang dipandang sangat sukses, yang membawanya mampu membangun rumah sendiri. Ketiga buku yang baginya sangat mengesankan itu adalah:

  1. Buku Paket Bahasa Indonesia untuk SMA sesuai dengan Kurikulum 1975. Buku yang dikerjakannya bersama Rumadi dan Kanisius Barung itu diterbitkan oleh Gramedia. Honor dari buku ini banyak membantunya membuat rumah yang sekarang ditinggalinya bersama keluarganya di Pringgwulung.
  2. Buku Metode Pengajaran Sastra. Buku ini diterbitkan ulang sampai 12 kali dan direkomendasikan oleh Kementrian Diknas sebagai buku pegangan SMP, SMA, dan MAN.
  3. Buku Umar Kayam dan Karyanya yang diterbitkan oleh Grasindo. Buku ini termasuk dalam kategori 5 besar Katulistiwa Literary Awards tahun 2006.

Selain sebagai penulis buku, Rahmanto juga dikenal luas sebagai salah satu editor senior yang sudah punya nama. Ia diminta secara khusus untuk mengedit dua buah buku BAPENAS di bidang HAM dan AMDAL melalui UNDP. Ia juga dikenal sebagai editor lepas penerbit buku Kompas, OBOR, Kanisius, dan Grasindo. Rahmanto juga pernah diminta untuk mengedit karya-karya ilmiah para dosen Fakultas Hukum UI untuk diterbitkan. “Tetapi saya paling takut mengedit tulisan-tulisan Rm. J. Drost dan Rm. Franz Magnis Suseno. Mereka sangat kritis sehingga editornya harus super hati-hati jika mau mengobok-obok karya mereka,” tutur Rahmanto.

            Dengan Universitas Terbuka, Rahmanto pun memiliki jaringan kerjasama yang baik. Rahmanto menulis dan menerbitkan dua modul untuk kuliah UT, yaitu Modul Cerita Rekaan dan Drama dan Modul Sejarah Sastra Indonesia Modern. Rahmanto juga diminta untuk menganalisis soal-soal Kritik Sastra.

            Kerjasama dengan Pusat Kurikulum (Puskur) dan Pusat Buku (Pusbuk) di tahun 1990-an juga merupakan sebuah peluang kerjasama yang sangat menyenangkan. “Tahun 1990-an saya ikut menjadi anggota tim pusat penilaian buku paket SMP dan SMA di Pusbuk. Kerjasama ini sangat menguntungkan dari sudut finansial, sehingga saya bisa membangun rumah dua lantai,” demikian seloroh Rahmanto, seperti biasanya sambil tertawa lepas dengan suara baritonnya. Bersama Sapardi Djoko Damono, ia juga menjadi anggota tim penilai sastra untuk kurikulum sebelum KTSP.

 

Wasana Kata

Rajawali itu akan segera kembali ke sangkarnya, setelah puluhan tahun mengepakkan sayapnya di dunia sastra, jurnalistik, penyuntingan naskah, dan pendidikan. Saya ingin mengakhiri catatan tentang Rahmanto ini dengan mengutip sepenggal “Sajak Rajawali” karya WS Rendra (1997) berikut ini.

 

sebuah sangkar besi

tidak bisa mengubah rajawali

menjadi seekor burung nuri

 

rajawali adalah pacar langit

dan di dalam sangkar besi

rajawali merasa pasti

bahwa langit akan selalu menanti

 

Akhirul kalam, patut dikatakan, sebagaimana telah diingatkan oleh sahabatnya, St. Sularto, bahwa posisi Rahmanto kini bukan set back tetapi set aside, bukan melangkah ke belakang tetapi hanya beringsut ke samping. Sekalipun telah pamit pensiun, ”langit akan selalu menanti” karena ”rajawali adalah pacar langit.” Selamat memasuki masa purnakarya, Pak Rahmanto!  (Yoseph Yapi Taum)

 

 

 

 

 

 

 

 kembali