Berita

Catatan tentang Pemikiran Empat Mahasiswa di Hari Ilmiah Magister Sastra

16-11-2023 14:08:18 WIB

Sabtu, 28 Oktober 2023 di Ruang 302 Gedung Fakultas Sastra, diselenggarakan Hari Ilmiah Magister Sastra. Kegiatan ini merupakan agenda tetap program studi magister sastra yang dirancang untuk menciptakan atmosfir akademik di dalam proses formasi magister sastra.

Empat orang mahasiswa Program Magister Sastra yakni Stevanny Yosicha Putri. Ni Kadek  Arie Cahyani Kepakisan, Pangestin Aprilia Sehnur Putri dan M. Irwan Syamsir berkesempatan menyampaikan buah-buah pemikirannya dalam Seminar Hari Ilmiah.
Liputan berikut akan menyarikan buah-buah pemikiran keempat mahasiswa tersebut.

KONTRADIKSI PERKAWINAN DALAM MASYARAKAT JAWA




“Dalam Serat Suluk Residriya, wanita Jawa digambarkan sebagai makluk yang harus mengabdi kepada pasangan mereka. Wanita harus memenuhi kebutuhan laki-laki, terutama kebutuhan seksualnya. Latar belakang sosial budaya di mana teks ini dibuat menunjukkan bahwa para raja memiliki seorang istri utama dan banyak selir. Hal seperti ini menunjukkan kebesaran dan kekuatan raja. Dalam tradisi Jawa, selir berada di bawah istri utama atau garwa padmi. Raja dapat menceraikan istri atau selirnya dengan mudah jika sudah tidak dikehendaki. Akan tetapi, diperistri dan dimadu oleh pangeran atau raja dalam tradisi Jawa dipandang sebagai sebuah kebanggaan bagi wanita Jawa di masa lalu,” demikian disampaikan Stevanny Yosicha Putri.
Stevanny mengatakan bahwa di masa lalu wanita cenderung dipandang sekedar sebagai objek seksual bagi laki-laki, terutama di kalangan para bangsawan. Wanita hanya dianggap sebagai alat reproduksi. Artinya, perempuan hanya berfungsi sebagai objek oleh laki-laki untuk mengandung dan melahirkan anak keturunannya. Akibatnya, laki-laki cenderung tidak memperhatikan perasaan dari wanita atau istrinya. Kebiasaan berpoligami, yaitu laki-laki yang mempunyai lebih dari seorang istri berakibat pada pengabaian hak wanita untuk mendapatkan kesetaraan hak dan perhatian.

Resistensi Wanita Jawa

Stevanny Yosicha Putri dalam paparannya berjudul “Kontradiksi Perkawinan dalam Masyarakat Jawa pada Cerita Rakyat Roro Mendut: Kajian Strukturalisme Levi-Strauss” mengungkapkan bahwa sesungguhnya ada resistensi perempuan terhadap tradisi perkawinan para bangsawan Jawa di masa lalu. Resistensi itu tampak, misalnya di dalam cerita rakyat Roro Mendut dan Roro Jongrang.

Roro Mendut adalah seorang perempuan cantik dan teguh pendiriannya. Ia tidak sungkan-sungkan menolak para lelaki yang datang melamarnya, bahkan para bangsawan yang memiliki kekuasaan besar. Roro Mendut adalah representasi perempuan Jawa  yang setia pada kekasihnya dan menghargai cinta lebih daripada kekuasaan dan kekayaan.

Suatu hari, Roro Mendut  diculik oleh Adipati Pragolo II karena menolak untuk dijadikan selir. Namun, Adipati Pragolo II tewas di dalam penyerangan yang dilakukan oleh pasukan Mataram. Roro Mendut yang sudah memiliki kekasih seorang pemuda desa yang tampan bernama Pranacitra,  kemudian ingin diambil oleh komandan panglima perang Mataram, Tumenggung Wiraguna untuk dijadikan selir. Roro Mendut menolak untuk dijadikan selir. Hal ini membuat Tumenggung Wiraguna marah. Karena itu, Roro Mendut diwajibkan untuk membayar pajak kepada Mataram. Roro Mendut memilih membayar pajak daripada dijadikan selir. Ia pun menjual rokok di pasar dan dagangannya laku keras karena dia menjual rokok bekas hisapannya.

Ia bertemu dengan Pranacitra, kekasihnya dan ia diajak melarikan diri kembali ke kampung halamannya. Namun, pelarian mereka diketahui oleh Tumenggung Wiraguna. Roro Mendut dibawa kembali ke istana dan Pranacitra dibunuh, lalu dikuburkan di sebuah hutan terpencil di Ceporan, Desa Gandhu, terletak kurang lebih 9 KM sebelah timur Kota Yogyakarta. Roro Mendut terkejut dengan kabar bahwa kekasihnya sudah mati. Ia meminta pada Tumenggung Wiraguna untuk melihat makam kekasihnya. Roro Mendut histeris dan marah setelah mengetahui bahwa kekasihnya memang telah mati. Ia menarik keris milik Tumenggung Wiraguna yang terselip di pinggangnya. Roro Mendut kemudian berlari menuju makam kekasihnya dan menikam perutnya dengan keris itu. Tubuhnya pun langsung roboh dan tewas di samping makam kekasihnya.



Perspektif Levi-Strauss

Bagaimana membaca dan memahami Roro Mendut dalam perspektif strukturalisme Claude Levi-Strauss? Bagi Levi-Strauss, mitos merupakan sebuah alat logika untuk menjelaskan berbagai kontradiksi yang dialami umat manusia. Mitos merupakan hasil kreativitas kejiwaan manusia yang bebas. Psikis manusia taat pada hukum-hukum atau struktur-struktur tak sadar dalam cara kerjanya.

Setelah menyusun mitheme atau ceritheme cerita Roro Mendut, Stevanny sampai pada kesimpulan bahwa dongeng Roro Mendut merepresentasi konflik batin wanita Jawa. Jika dalam catatan Serat Suluk Residriya wanita harus mengabdi kepada laki-laki dan bangga jika dijadikan selir Raja atau pejabat, maka Roro Mendut memperlihatkan resistensi terhadapnya. Roro Mendut bahkan menolak dua orang bangsawan penting pada zamannya, yaitu Adipati Pragolo II dan Tumenggung Wiraguna. Ia lebih memilih setia kepada kekasihnya bahkan sampai mempertaruhkan nyawanya. Kontradiksi yang dihadapi adalah: di satu wanita Jawa hidup dalam bayang-bayang budaya patriarki bangsawan yang mengharuskannya untuk tunduk bahkan bersyukur pada laki-laki. Akan tetapi, pada sisi yang lain Roro Mendut menyadari martabatnya sebagai wanita yang memiliki hak untuk memilih dan memutuskan pilihan hidupnya.

Cerita Roro Mendut menjadi menghadirkan kontradiksi antara penolakan atas perkawinan poligami dan penerimaan atas perkawinan monogami. Perkawinan poligami dengan memiliki istri sah lebih dari satu dan masih memiliki beberapa selir dalam sejarah Jawa selama ini dianggap sesuatu yang biasa terjadi. Terlebih lagi hal ini sering terjadi di kalangan pembesar suatu wilayah, seperti raja dan bangsawan lainnya.. Sosok Roro Mendut tampil sebagai wanita Jawa yang berusaha untuk mendobrak stigma bahwa semua wanita Jawa mau dijadikan selir.



REKONSTRUKSI REALITAS SOSIAL MASYARAKAT BALI



“Ada kesalahpahaman tentang kasta yang diwariskan terus-menerus dalam realitas kehidupan Masyarakat Bali sekarang ini,” demikian diungkap Ni Kadek  Arie Cahyani Kepakisan dalam paparannya. Seminar yang dilaksanakan di Gedung Fakultas Sastra itu dihadiri para dosen Program Studi Magister Sastra, mahasiswa S-1 dari berbagai program studi,  baik di lingkungan USD maupun dari luar USD.

Dalam paparannya yang berjudul “Rekonstruksi Realitas Sosial Masyarakat Bali pada Novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini: Perspektif Semiotika  Charles SDanders Pierce” itu, diungkap Ni Kadek  Arie Cahyani Kepakisan menegaskan bahwa sistem kasta yang mentradisi dalam Masyarakat  Bali sesungguhnya dipengaruhi oleh politik divide et impera (pecah-belah dan kuasai) kolonialisme Belanda. Politik itu sangat manjur mengingat Bali terpecah-pecah ke dalam kerajaan-kerajaan.

Kasta dan Catur Warna

Kadek menjelaskan, bahwa ajaran Agama Hindu tidak mengenal istilah Kasta. Kitab Veda menyebutnya Catur Varna, yakni pembagian masyarakat menurut swadarma (profesi) masing-masing individu. Setiap orang lahir ke dunia sudah dibekali dengan kelebihan dan keahlian masing-masing dalam rangka mencapai tujuan hidup masing-masing.  Ada yang terlahir sebagai Brahmana, yakni para cendekiawan serta intelektual yang bertugas memberikan pembinaan mental, Rohani, serta spiritual. Ada yang terlahir sebagai Ksatria, yakni orang-orang yang bekerja di bidang pertahanan dan pemerintahan yang bertugas mengatur negara, pemerintahan dan rakyat. Yang lain terlahir sebagai Waisya, yakni mereka yang bergerak di bidang ekonomi, bertugas mengatur atau menggerakan perekonomian. Sisanya terlahir dalam varna Sudra, yakni orang-orang yang bekerja dengan mengandalkan tenaga jasmani, yang bertugas membantu orang lain dengan menggunakan jasmaninya.

“Ketika seorang anak lahir dalam keluarga Brahmana, anak-anak itu mungkin mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang memungkinkan mereka melanjutkan tradisi dan tugas Brahmana. Akan tetapi, menjadi seorang Brahmana juga bergantung pada pengetahuan, etika, dan kemampuan spiritual seseorang. Ajaran ini mengakui bahwa individu memiliki peran dan tugas dalam masyarakat yang mungkin berbeda meskipun mereka lahir dalam varna tertentu,” ungkap Kadek.

Implementasi sistem catur varna dapat bervariasi di berbagai tempat dan waktu, dan pandangan tentang sistem ini di antara kelompok-kelompok penganut Hindu. Masyarakat Bali cenderung memegang teguh tradisi dan struktur kasta, dengan tambahan aturan yang tidak menguntungkan bagi Perempuan Bali.

Novel Tarian Bumi dan Resistensi terhadap Kasta

Novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini merupakan sebuah karya sastra yang mencoba melakukan perlawanan simbolik terhadap budaya Bali,  khususnya perkawinan antar-kasta yang sangat merugikan posisi Perempuan. Terlahir dengan nama lengkap Ida Ayu Oka Rusmini di Jakarta 11 Juli 1967, Oka Rusmini bercerita tentang perjuangan masyarakat Bali, khususnya Perempuan, untuk mendapat kesetaraan dan haknya tanpa memandang kasta. Konflik digambarkan melalui tiga tokoh perempuan dengan generasi yang berbeda sehingga menghasilkan beberapa masalah dalam waktu yang berbeda yaitu Sagra, Sekar, dan Telaga.
Dalam novel itu, Oka Rusmini mengambarkan seorang perempuan Bali yang berusaha mendobrak adat yang sudah melekat, bahkan sejak lahir. Alur Novel Tarian Bumi membawa kita pada kesimpulan bahwa menjadi perempuan Bali tidaklah mudah. Terdapat batasan-batasan seperti kasta dan hak yang membuat seorang perempuan seringkali tak berdaya. Sistem adat Bali lebih mengagungkan kaum laki-laki, hal tersebut karena adat Bali menganut sistem patriarki.

“Seorang laki-laki Brahmana yang menikahi wanita sudra maka hal itu dianggap biasa saja, Sebaliknya, ketika wanita Brahmana menikah dengan lelaki Sudra maka dianggap melecehkan kastanya sendiri. Perempuan itu secara otomatis harus melepas gelar kebangsawanannya serta tidak dianggap menjadi bagian keluarga Brahmana lagi. Bukanlah hal ini tidak adil?” tanya Kadek.

Tiga tokoh perempuan yang menjadi ikon dalam kebudayaan Bali yaitu Sagra, Sekar, dan Telaga.  Mereka adalah perempuan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsawanan dalam adat budaya Bali. Sebagian dari perempuan yang digambarkan dalam novel dengan pemberontakan yang terjadi pada sistem adat pernikahan yang secara jelas perempuan mengalami penderitaan namun tidak pernah mengeluh karena perempuan sendiri menganggapnya sebagai sebuah kodrat. Figur perempuan yang melakukan perlawanan jelas tergambar melalui tokoh Telaga dan Luh Sekar. Mereka melakukan perlawanan dengan harapan agar mereka juga dapat merasakan kebahagiaan dan persamaan hak dengan kaum laki-laki tanpa harus terbelenggu adat budayanya sendiri.



PEREMPUAN, SUBJEK, DAN EKSISTENSIALISME DALAM NOVEL



“Simone de Beauvoir’s dalam bukuntya The Second Sex (1949) mengungkapkan bahwa hubungan antarmanusia adalah variasi dari dua bentuk dasar tema konflik antara kesadaran sebagai Diri (subjek) dan Liyan (objek). Beauvoir menitikberatkan prinsip eksistensialisme ini pada hubungan antar manusia yaitu perempuan dengan laki-laki. Pada agenda feminisme eksistensial, diyakini bahwa laki-laki telah mengklaim dirinya sebagai diri (subjek) dan perempuan sebagai objek (liyan). Dalam konteks ini, terlihat bahwa Perempuan mengalami opresi,” demikian disampaikan Pangestin Aprilia Sehnur Putri.


“Tidak seperti opresi ras dan kelas, opresi terhadap perempuan merupakan fakta historis yang saling berhubungan, suatu peristiwa dalam waktu yang berulang kali dipertanyakan dan diputarbalikkan. Sayangnya, perempuan telah menginternalisasi cara pandang asing bahwa laki-laki adalah esensial dan perempuan adalah tidak esensial,” papar Pangestin.

Novel Pengakuan Eks-Parasit Lajang karya Ayu Utami

Pangestin mempertanyakan, “Benarkah perempuan tidak memiliki subjek?”  Untuk menjawab pertanyaan ini, dia melakukan analisis terhadap novel Novel Pengakuan Eks-Parasit Lajang karya Ayu Utami. Dia memarkan pemikirannya dalam makalah berjudul “Perempuan dan Subjektivitas: Analisis Pengakuan Eks-Parasit Lajang dalam Perspektif Feminisme Eksistensialis Simone de Beauvoir.”

Pengakuan Eks-Parasit Lajang merupakan novel terakhir dalam trilogi Si Parasit Lajang yang terdiri dari Pengakuan Si Parasit Lajang (2003), Cerita Cinta Enrico (2012) dan Pengakuan Eks-Parasit Lajang (2013). Novel ini diklaim pengarangnya sebagai “Novel Otobiografi,” novel yang berbasis pada biografi pengarangnya. Tema besar novel ini adalah kritik terhadap patriarki dari sudut pandang agama dan spiritualitas. Karya ini dipandang cukup kontroversial sebab Ayu Utami yang pada awalnya berjanji tidak akan menikah, akhirnya menikah. Hal ini memperlihatkan inkonsisten dari karya Pengakuan Si Parasit Lajang (2003).



Subjek dominan ditunjukkan melalui transformasinya dari bukan apa-apa menjadi sesuatu. Seorang Subjek dominan, mendengarkan kata hatinya dan menyadari bahwa dirinya mempunyai “Power”. Manusia tidak diperankan sebagaimana karakteristik dan kemampuannya sejak awal tanpa melihat kemungkinan tentang tujuan dan apa yang bisa dilakukannya untuk masa depan. Subjek dominan lebih memenangkan keinginan dirinya, tidak terlalu terpengaruh perkataan orang lain.

Representasi A sebagai Subjek dominan tampak dalam keputusannya untuk melawan sistem patriarki dan komodifikasi virginitas. A menganggap virginitas hanyalah mitos yang diciptakan. Keperawanan sebagaimana ketampanan, kecantikan dan status sosial hanyalah sebuah nilai yang dilekatkan kepada perempuan. Nilai tersebut menganggap perempuan bermartabat hanya jika menyandang status Nyonya dan mencibir perempuan yang bukan perawan (Utami, 2013: 161). Oleh karena itu, A memilih untuk mendobrak sistem tersebut dengan berbagai konsekuensi yang diterimanya sebagai perempuan.

Ayu Utami Sebagai Subjek Eksisten

Studi Pangestin memperlihatkan bahwa representasi Ayu Utami sebagai subjek eksisten ditunjukan melalui keputusannya untuk menikah yang didasarkan pada alasan solidaritasnya terhadap komunitas Katolik yang saat itu mengalami diskriminasi. Ayu Utami ingin menyatakan solidaritasnya dengan menikah agar dapat menerima Hosti Kudus. Oleh karena zinah adalah dosa besar dalam ajaran agamanya, maka ia memutuskan menikah dengan Rik secara agama Katolik.

Ayu Utami tidak keberatan dengan pernikahan dalam hukum Gereja Katolik sebab tidak ada aturan bahwa suami adalah kepala keluarga, “Jadi, sebetulnya saya coba konsisten dengan cara saya. Saya tetap mengkritik hukum perkawinan yang patriarkal. Dan saya tetap menganggap orang berhak dan baik-baik saja untuk tidak menikah.” (Utami, 2013). Ayu Utami merasa hubungannya dengan Gereja telah membaik, tetapi ia tetap menyuarakan kritiknya terhadap budaya patriarki.


“Studi saya membuktikan bahwa Ayu Utami memiliki subjektivitas, sebuah konsep yang dipandang hanya milik laki-laki. Perempuan dapat menentukan apa yang baik bagi dirinya, termasuk dalam perihal seksualitas,” demikian pungkas  Pangestin Aprilia Sehnur Putri, mahasiswi Program Dtudi Magister Sastra Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Angkatan 2022. 

*
 
DIPLOMASI ADAT, AGAMA, DAN SASTRA



“Di Mandar, ada sebuah tradisi unik yang disebut Sayyang Pattudduq. Sayyang adalah bahasa Mandar untuk kuda dan Pattudduq adalah menari. Jadi, kuda menari, kuda yang bisa menggerakkan badannya seirama dengan alunan musik. Tradisi ini dapat ditemui di tanah Mandar, yaitu suku mayoritas yang mendiami semenanjung Barat Pulau Sulawesi atau saat ini dikenal sebagai provinsi Sulawesi Barat,” demikian disampaikan M. Irwan Syamsir, mahasiswa program studi Magister Sastra.
Dalam paparannya berjudul “Diplomasi Adat, Agama, dan Sastra dalam Tradisi Kuda Menari di Mandar: Kajian Multikulturalisme,” Irwan mengungkapkan bahwa di Mandar, kuda hanya dimiliki oleh kaum bangsawan.


Sejarah Sayyang Pattudduq

Tentang asal-usul tradisi ini, tidak ada informasi yang pasti mengenai siapa yang memulai, kapan dimulai, atau siapa penciptanya. Beberapa sumber mengungkapkan bahwa Saiyyang Pattudduq berasal dari abad ke-14, pada masa pemerintahan raja pertama Kerajaan Balanipa, Imanyambungi yang bergelar Todilaling. Dikatakan bahwa pada masa itu, kuda merupakan sarana transportasi utama, dan masyarakat menginisiasi agar kuda dijadikan bentuk hiburan, yang kemudian melahirkan tradisi Saiyyang Pattudduq.


Tradisi Saiyyang Pattudduq terus berkembang ketika Islam menjadi agama resmi di beberapa kerajaan Mandar pada abad ke-16. Dikisahkan bahwa berkuda telah lama menjadi tradisi yang terkait dengan kekuatan, kekuasaan, dan kemewahan. Dengan masuknya Islam, kuda tidak hanya dijinakkan dan dilatih, tetapi juga digunakan sebagai alat pendidikan. Bagi anak bangsawan, keterampilan berkuda menjadi suatu keharusan, dan bagi santri, kemampuan membuat kuda patuh adalah salah satu ukuran keberhasilan dalam menyelesaikan studi mereka. Oleh karena itu, para santri melatih dan mendidik kuda agar dapat bergerak sejalan dengan irama rebana atau syair-syair shalawat. Inilah awal mula munculnya Saiyyang Pattudduq dalam lingkungan istana dan menjadi suatu hal yang disakralkan, hanya dimainkan dalam upacara-upacara ritual yang berkaitan dengan kelahiran Nabi Muhammad (SAW).

Seiring berjalannya waktu, Saiyyang Pattudduq bertransformasi menjadi suatu tradisi untuk merayakan penyelesaian bacaan Quran. Seorang anak yang telah menyelesaikan bacaan Quran akan diarak dengan menunggangi Saiyyang Pattudduq dan diarak keliling desa agar masyarakat dapat menyaksikannya. Tradisi ini menjadi motivasi bagi anak-anak untuk menyelesaikan bacaan Quran dengan cepat.

Di zaman sekarang, fungsi Saiyyang Pattudduq telah berubah mengikuti perkembangan zaman. Kini, Saiyyang Pattudduq tidak hanya digunakan untuk upacara penyelesaian Quran, tetapi juga digunakan untuk menyambut tamu terhormat dan keperluan atraksi wisata. Dalam pertunjukan Saiyyang Pattudduq, kuda bergerak mengikuti irama rebana, dengan seorang gadis duduk dengan posisi khusus di punggung kuda, di mana salah satu lututnya sedikit ditegakkan dan tangannya memegang kipas sementara kaki lainnya ditekuk ke belakang dengan lutut menghadap ke depan. 

Seperti penari, kuda dihiasi dengan berbagai aksesoris. Gadis yang menungganginya, yang disebut Pesaweang, mengenakan pakaian adat Mandar, termasuk Baju Pokko, dan diarsir dengan payung kehormatan. Orang yang membawa payung tersebut disebut Palla'lang. Saat penyelesaian Quran, yang dalam bahasa setempat disebut "mappatamma Quran," anak yang dirayakan akan menaiki kuda di belakang Pesaweang, mengenakan pakaian haji atau pakaian tradisional seseorang yang telah menyelesaikan ibadah haji. Untuk pria, ini termasuk sorban, sementara perempuan mengenakan selendang penutup kepala.

Kuda Menari Sebagai Diplomasi Budaya



Irwan menjelaskan bahwa salah satu fungsi diplomasi ini adalah mempertemukan keragaman seperti misalnya kebudayaan satu dengan yang lainnya, yang kita sebut kemudian dengan multikulturalisme. Multikultural adalah cakupan pemahaman, penghargaan, dan penilaian atas kebudayaan seseorang. Multikultural menjadi sebuah penghormatan dan rasa ingin tahu tentang budaya dan etnis orang lain. Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang terdiri dari berbagai komunitas budaya beserta kelebihannya, dan adanya sedikit perbedaan dalam konsepsi tentang dunia, adat, kebiasaan, nilai, bentuk organisasi sosial, dan sejarah.

Salah satu diplomasi Imam Lapeo terhadap raja adalah pengajaran baca huruf-huruf Arab sebagai langkah awal mengenal alquran. Imam Lapeo juga meminta agar kiranya anak- anak yang sudah mahir membaca, diberi hadiah semacam bisa nain kuda. Dari diplomasi Imam Lapeo tersebut, pihak raja dan istana Mandar mengabarkan ke masyarakat agar belajar membaca alquran agar bisa dapat hadiah diarak keliling naik kuda. Salah satu dokumentasi sayyang pattu'dug yang disimpan di Belanda memperlihatkan anak-anak tampak masih menggunakan pakaian ala kerajaan dan belum tertutup seperti aturan Islam hari ini karena masih dalam proses tahap diplomasi untuk diterimanya Islam secara umum.

Seiring perkembangannya saat Islam sudah diterima dengan baik, anak-anak Mandar mulai menggunakan pakaian tertutup. Namanya madawara. Madawara ini persis dengan pakaian sari India. Hal ini cukup terkait karena orang India sering berdagang di Arab, dan pakaiannya jadi oleh-oleh bagi para pendatang.

Dalam perkembangannya, tradisi sayyang pattu’dug lazim diadakan pada saat maulid nabi Muhammad. Ada sebuah teks yang disebut teks barzanji, atau kitab berisi puisi tentang perjalanan lahirnya nabi Muhammad. Teks tersebut lazimnya dinyanyikan di Arab dan di banyak tempat yang menganut Islam. di Mandar, teks tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Mandar dan dinyanyikan saat main rebana mengiring sayyang pattu'dug. Selain syair barzanji, dalam tradisi sastra Mandar ada yang disebut dengan kalinda'da, atau puisi lisan khas Mandar. Dulunya, kalinda'da juga hanya digunakan dalam acara raja, namun dalam sayyang pattu'du, para anak muda diberi kebebasan melontarkan puisi pujian terutama kepada penunggang kuda dan itu dilakukan spontan. (y2t)

***

Kembali