Berita

SASTRA DIGITAL, SEBUAH GENRE BARU YANG BUTUH PENDEKATAN BARU

23-10-2023 10:00:58 WIB

“Sastra digital, atau yang biasa disebut sastra siber atau sastra elektronik, merupakan genre baru. Sastra jenis ini tidak bisa dipahami seperti sastra konvensional sebelumnya karena memang berbeda secara karakteristik. Untuk itu dibutuhkan pendekatan baru dalam memahami dan memaknai karya ini”, demikian disampaikan Dr Tatang Iskarna, dosen Magister Sastra, Fakultas Sastsra USD, dalam kuliah umum bertajuk “Pembelajaran Sastra (di Era) Digital: Tantangan dan Peluang” di hadapan sekitar 170 mahasiswa prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Unika Santu Paulus, Ruteng, Manggarai, NTT, Jumat (20/10) lalu. Kuliah umum ini merupakan implementasi kerja sama antara Fakultas Sastra USD, terutama prodi Magister Sastra, dengan Prodi PBSI FKIP Unika Santu Paulus Ruteng, Manggarai, NTT. Kerja sama ini telah dipayungi oleh Memorandum of Understanding (MoU) antara FKIP Unika Santu Paulus dan Fakultas Sastra USD. Turut menyambut dan hadir dalam kuliah umum itu Dekan FKIP Unika Santu Paulus Rm. Dr. Yohanes Mariano Dangku, S.Fil., M.Pd., Kaprodi PBSI Rm. Bonefasius Rampung, S.Fil., M.Pd., beserta guru-guru prodi PBSI antara lain Marianus Supar Jelahut, S.Fil., M.Pd. dan Stanislaus Hermaditoyo, M.Pd yang juga sebagai moderator kuliah umum.
Lebih lanjut dalam kuliah umumnya Tatang menyatakan bahwa perdebatan tentang sastra digital di Indonesia tidak terlepas dari belum dipahaminya secara utuh definisi, sejarah, jenis, dan model kritiknya. Sehingga perdebatannya masih seputar layakkah disebut sastra, kualitas filosofis dan estetisnya, legitimasi pengarang, sifatnya yang bisa mengarah ke anarkis dan vulgar, atau fenomenanya yang eksperimental. Menurut Tatang sastra digital bukan sekedar sastra cetak yang didigitalisasi lalu ditaruh di medsos atau website. Sastra ini diproduksi, didistribusi, dan dinikmati secara digital yang berbeda dengan sastra konvensional. “Unsur multi-media, baik suara, gambar, video, kinetik, hyper-link, pengalaman imersif, dan interaksi dan peran pembaca yang memberikan respon dan arah cerita menjadi sangat penting” tambahnya. Selain itu, jenis sastra ini memiliki sejarah yang panjang, mulai dari computer-generated fiction, sastra elektronik berbasis jaringan, sampai pada kombinasi multi-media dan jaringan. Hyper-text fiction, network fiction, interactive fiction, locative narratives, flash poem, kinetic dan interactive poetry adalah beberapa dari jenis sastra ini.  Untuk memahami, mengapresiasi, dan memaknai sastra digital, Tatang menawarkan pendekatan intermedial dan ergodik, yaitu seberapa jauh peran teknologi multi-media digunakan dalam memproduksi, mendistribusi, dan merespon karya sastra sampai menuju ke pemahaman makna serta sejauh mana pembaca terlibat secara imersif, turut berpartisipasi mengarhkan cerita, serta memberi respon terhadap karya tersebut.
Tatang menegaskan bahwa keberadaan sastra digital tidak bisa dibendung dan dipungkiri karena kehadirannya nyata dan kontekstual seiring perkembangan zaman pasca Revolusi Indusri 4.0. Jenis sastra ini mendobrak hegemoni penerbit yang mengarahkan selera masyarakat dan membuka ruang alternatif akibat dominasi para elit sastra baik dalam penentuan tema maupun kualitas. “Sastra digital itu ekonomis, efisien, distribusinya global, mampu memfasilitasi penulis pemula, dan memicu kreativitas dan inovasi dalam hal teknologi digital”, tegasnya.  Memang harus diakui bahwa tidak semua karya sastra digital memiliki kualitas atau nilai estetis yang diharapkan pembaca, sastra cetakpun juga demikian. Namun demikian, kata Tatang, sastra ini mampu memicu minat dan kreativitas penulis pemula dan tentu saja mampu menyuarakan berbagai fenomena periferial yang tidak bisa terdeteksi oleh kalangan elit penulis dan pembaca sastra konvensional.
Kuliah umum ini juga merupakan bagian dari kegiatan promosi program studi Magister Sastra, Fakutlas Sastra USD ke beberapa perguruan tinggi yang mahasiswanya potensial untuk melanjutkan ke jenjang S2 Sastra. Pada kesempatan ini juga Kaprodi Magister Sastra FS USD Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. memberikan sosialisasi program studi Magister Sastra terkait kekhasan, kurikulum, biaya, serta proses pembelajaran. Kuliah umum dan sosialisasi S2 Sastra ini merupakan implementasi operasional nyata atas kerja sama yang dilakukan antara dua belah pihak. Romo Yohanes selaku Dekan FKIP menekankan pentingnya kerja sama kolaboratif dan sinergis saat ini karena tanpa kerja sama institusi tidak akan mengalami perkembangan dan kemajuan. Demikian juga Kaprodi PBSI Romo  Bone menambahkan bahwa pengayaan melalui kuliah umum eksternal dibutuhkan untuk memperluas wawasan mahasiswa.
Dalam sosialisasinya secara khusus Yoseph memfokuskan lastra lisan yang menjadi salah satu konsentrasi Magister Sastra USD. “Indonesia itu penuh harta karun sastra lisan yang harus digali nilai-nilai keagungannya, untuk itu kita sebagai masyarakat lokal Nusantara perlu bangga, mencintai, dan merawat warisan budaya sastra lisan ini”, tegasnya. Pendekatan modern, menurut Yoseph, sudah ada untuk menganalisis sastra ini, misalnya kajian historis komparatif mazab Finlandia, kajian naratologi Propp, Greimas, Todorov, dan Strauss atau kajian retorika Lord dan Parry. Yoseph juga menyampaikan bahwa Magister Sastra juga memberi kesempatan mahasiswa untuk mengkaji sastra dengan perspektif teori-teori kritis jalur diskursif, seperti teori hegemoni Gramsci, perayaan kemajemukan Foucault, interpelasi Althusser, mitos Bathes, dan lain sebagainya. Kurikulum magister sastra, tambah Yoseph, akan mampu membekali para pembelajar bahasa dan sastra Indonesia dengan berbagai teori sastra dalam mengembangkan keilmuan mereka baik sebagai peneliti maupun guru. Saat ini Magister Sastra FS USD telah memiliki dua angkatan mahasiswa yaitu 2022 dan 2023 dengan total 11 mahasiswa. Penerimaan mahasiswa baru angkatan 2024 telah dimulai dan kuliah perdana akan dilaksanakan pada akhir Agustus 2024.
Secara formal kegiatan promosi dan kuliah umum ini merupakan kerja sama dua institusi dalam tridarma. Namun demikian, secara kultural kolaborasi ini merupakan bersatunya dua civitas akademika sebagai sebuah keluarga, baik dari sisi ke-Katolik-annya dan relasi kenusantaraannya. Hal ini dibuktikan dengan upacara penyambutan tamu ala Manggarai yang disebut dengan “Kepok”. Tatang dan Yoseph diberi “songkok” atau semacam kopyah dan selendang serta minuman sebagai bentuk penerimaan tamu sebagai anggota keluarga masyarakat Manggarai. (Tti)

Kembali