Berita

Seminar Kewargaan

17-04-2015 10:40:42 WIB

“Dilema Warga Budaya (Komsumsi ) dan Ruang Publik”

Berangkat dari kewargaan (citizenship) yang selama ini lebih dikenal dengan kewarganegaraan, merupakan tema yang sangat mendesak untuk dibicarakan dalam situasi yang banyak memiliki momentum politik seperti saat ini. Dalam kewarganegaraan kita hanya mengenal hak dan kewajiban sebagai warga Negara.  Kita tidak pernah sadar bahwa dalam waktu yang bersamaan sebagai anggota warga budaya yang konsumsi. Mempersoalkan kewargaan sama halnya mempersoalkan sesuatu yang yang seolah-olah sudah jelas menjadi tidak jelas. Untuk itulah program magister Ilmu Religi dan Budaya melaksanakan seminar ini dengan tema “Dilema Warga Budaya (Komsumsi) dan Ruang Publik” Yang dilaksanakan pada Jum’at  9 Mei 2014  di Ruang Driyakara, kampus I, Lt.4 Universitas Sanata Dharma, Mrican, Yogyakarta. Dimulai dari pembicara Alexander Koko Siswijayanto dengan tema makalah “Dilema Warga Budaya, Transformasi di Era Informasi dan Pembentukan Kewargaan Budaya”. Melalui makalahnya kita dapat melihat Kompleksitas tantangan di era informasi ini adalah seolah-olah membawa kita pada jalan tanpa ujung. Tetapi di tengah absurditas gejala kita diteguhkan bahwa menjadi warga budaya itu adalah suatu  proses terus menerus. budaya tidak statis. budaya itu dinamis maka mari kita mewujudkannya dan melakukan pembelajaran kritis terus menerus yang mengarah pada kesetaraan sosial di ruang publik. Pembicara kedua oleh Padmo Ali dengan tema makalah “Kewargaan yang Tidak Main-Main di dalam Realita Virtual Game.Game menawarkan suatu bentuk kewargaan alternatif. Dunia game yang penuh dengan fantasi menyediakan kemungkinan-kemingkinan bentuk hubungan sosial yang tidak terbayangkan dalam dunia real sebelumnya. Sebagai sarana pemenuhan hasrat, game menyediakan sebuah dunia virtual yang hipereal, kita bersimulasi seakan-akan itulah yang akan terjadi pada realitas. Tetapi bermain game kita akan terjebak di dalam rangkaian serialitas konsumsi. Sehingga Game tidak lagi bisa dipandang remeh sebelah mata, sebab ternyata mampu menghadirkan kewargabudayaan yang tidak main-main. Pembicara ketiga oleh Nurvianto Basori dengan tema makalah “Histeria Goyang Penggoda Massa”. Fenomena kepopuleran dangdut koplo saat ini rupanya dapat digunakan untuk melihat kondisi kewargaan masyarakat Indonesia dalam hal ekonomi, sosial, politik dan budayanya. Terjadi kesenjangan dalam ruang lingkup kewargaan Negara dan budaya yang membuat masyarakat sinis sebagai subjek histeris. Bagaimana mungkin kita akan berbicara tentang “keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia” dalam konteks menjadi warga Indonesia seutuhnya. Ketiganya merupakan mahasiswa program pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma. Sebagai pembicara tamu dan pembanding, sekaligus sebagai pembicara ke empat oleh Tri Wahyu K.H yang merupakan direktur Indonesian Court Monitoring (ICM) dengan tema makalah “Masalah-Masalah Kewargaan Terkait Pemilu dan Kewargaan”. Warga budaya itu bisa menjadi nyaman dalam rangka menjadi kewargaan politik merupakan pandangan yang terlalu dini. Faktanya di lapangan politik identitas semakin menguat yang menegasikan warga yang lain dan penggunaan kekerasan dalam pencapaian tujuan kelompok


 kembali