Berita

[Forum Diskusi Mahasiswa: Emansipasi Estetika Grafiti Pasca-Tragedi Kanjuruhan]

16-10-2023 02:27:48 WIB

Program Doktor Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma (USD) yang berfokus pada Kajian Seni dan Masyarakat, melalui Forum Diskusi Mahasiswa, mengadakan diskusi Emansipasi Estetika Grafiti Pasca Tragedi Kanjuruhan. Gregorius Budi Subanar, SJ selaku Kaprodi S3 Kajian Budaya USD dalam sambutan pembuka diskusi mengatakan, selain untuk memperingati satu tahun peristiwa Kanjuruhan, dia berharap forum ini menjadi cara berbagi untuk melihat bahwa seni bisa dibicarakan dan menjadi bagian dalam masyarakat.

“Untuk memperingati satu tahun tragedi Kanjuruhan, mas Obed memotret grafiti di stadiun Kanjuruhan. Forum ini diharapkan menjadi cara berbagi; seni bisa dibicaraka dan menjadi bagian dalam Masyarakat”, Jelasnya saat memberikan sambutan pembuka dalam diskusi yang diadakan di Ruang Palma, Pasca Sarjana Universitas Sanata Dharma, Jumat, 06 Oktober 2023.

Obed Bima Wicandra, mahasiswa S3 Kajian Budaya selaku peneliti mengatakan bahwa penelitian yang sedang dipaparkan hanyalah bagian kecil dari pengamatannya terkait grafiti di Stadiun Kanjuruhan. Sambungnya, penelitian ini awalnya tidak masuk dalam agenda penelitiannya. Dia melanjutkan, tujuan utamanya adalah melakukan penelitian untuk keperluan Disertasinya.
“ini adalah bagian kecil dari apa yang saya amati. Ini sebuah kebetulan. Ketika saya mengumpulkan data terkait disertasi saya, bertepatan dengan momen Kanjuruhan. Saya pikir alangkah baiknya diteliti. Ini salah satu bagian penting ketika berbicara terkait seni jalanan dan sepak bola”, Jelas Obed.

Obed menjelaskan, terkait grafiti di stadiun Kanjuruhan sudah ada yang meneliti. Namun, yang membedakan penelitiannya dan penelitian sebelumnya, terletak di objek yang dikaji. Obed menjelaskan, Grafiti Kanjuruhan yang sudah diteliti lebih berfokus pada bagaimana Grafiti sebagai representasi kritik sosial dalam konteks bahasa. Sedang penelitiannya difokuskan pada prespektif politik estetika Jacques Ranciere.

“Grafiti Kanjuruhan sudah pernah diteliti, tapi fokus pembahasannya lebih kepada bagaimana grafiti sebagai representasi kritik sosial dalam konteks pertemuan ilmiah dalam bahasa Indonesia. Saya lebih pada prespektif politik estetika menurut Ranciere.” Jelas mahasiswa yang juga merupakan dosen di Universitas Petra, Surabaya.   

Dia menjelaskan, dengan meminjam Ranciere, dirinya ingin melihat tindakan-tindakan subjek yang tercermin melalui grafiti-grafiti di stadiun Kanjuruhan. Menurutnya, grafiti-grafiti yang ada di stadiun Kanjuruhan bukanlah artefak yang hanya menempel di dinding-dinding stadiun, melainkan memilik makna lebih. Sambungnya, melalui grafiti-grafiti tersebut, kita diajak untuk melihat ada sebuah gerakan emansipatoris yang muncul dari suporter Aremania guna merespon situasi yang terjadi.
“Saya melihat grafiti tidak sekedar kritik, Tapi melihat subjeknya. Subjek yang biasanya luput dari pengamatan. Graffiti tidak hanya dilihat dari wujud artefaknya, tapi bagaimana kitab bisa mendalami subjek (suporter). Ada yang menarik, melalui grafiti inilah yang kita lihat sebagai bentuk gerakan emansipatori. Tidak ada yang mengawali tapi semua berjalan dengan spontan, tidak ada yang ajari tulisannya seperti apa, teks seperti apa dan model tulisan seperti apa? Mereka bergerak dengan spontan. Mereka inilah yang sebenarnya adalah subjek-subjek yang terlewatkan,” Jelas laki-laki yang juga adalah pendukung bonek.

Menggunakan pemikirian Ransiere, Obet, begitu sapaan akrabnya, melihat Grafiti sebagai bentuk gerakan politik. Lanjutnya, Ranciere melihat politik sebagai bagaimana cara kita melakukan perlawanan kekuasaan yang berkuasa. Grafiti adalah bentuk dari kesadaran politik.   
“Graffiti merupakan cara radikal bagi siapa saja. Tak peduli tingkatan pendidikan dan dari tatanan sosial mana dia berasal”, ucapnya.
Sementara itu, Min Seong Kim, Ph.D selaku Dosen Pasca Sarjana USD sekaligus penanggap dari hasil penelitian tersebut, mengatakan bahwa apa yang terjadi di Kanjuruhan pernah terjadi di Itaewon, Seoul, Korea Selata. Melalui dua kasus yang berbeda dengan jumlah korban yang kurang lebih sama, Min ingin menunjukkan sebuah respon yang ditunjukkan dari keluarga maupun kelompok-kelompok yang bersimpati terhadap jatuhnya korban jiwa yang begitu banyak. Menurut Min, kesamaan dari aksi tersebut terletak pada gerakan simbolis. Menurutnya, di Itaewon, masyarakat menggunakan Sticky note untuk menuliskan berbagai harapan dan doa-doanya. Sementara di Kanjuruhan, lanjut Min, masyarakat menggunakan grafiti untuk mengekspresikan keresahan mereka.

“Apa yang mirip antara yang terjadi di Itaewon (158 orang meninggal karena berdesak-desakan dan kekurangan oksigen) dan Kanjuruhan? Terletak di Sticky note dan grafiti”, Katanya.
Selanjutnya, Min melihat dua bentuk gerakan tersebut hadir sebagai wujud ketidaksempurnaan kekuasaan. Gerakan-gerakan tersebut hadir dan dilakukan oleh manusia untuk tetap bertahan melawan kekuasaan. Tambah Min, aksi Sticky note di Itaewon dan Grafiti di Kanjuruhan adalah   upaya untuk membuat jejak.
“Tindakan-tindakan pada dasarnya tidak perlu untuk melawan kekuasaan, pada kenyataanya tanda-tanda tersebut merupakan wujud dari kekuasaa yang tidak sempurna dan harus dilakukan oleh makhluk yang benafas untuk bertahan hidup. Grafiti dan sticky notes, adalah Tindakan membuat jejak”, tutupnya.
Sebagai informasi, Tragedi Itaewon terjadi pada Sabtu, 29 Oktober 2022. Penyebab Insiden tersebut karena para pengujung berdesakan dan terinjak-injak saat pesta Halloween. lebih dari 150 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka.

Diskusi tersebut dimoderatori oleh Idha Saraswati, Mahasiswa S3 Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma.

 kembali