Berita

SENIMAN WICARA DAN DISKUSI PAMERAN CHORA: THE INFINITE BODIES

02-10-2023 03:55:09 WIB

Pusat Studi Perempuan, Media dan Seni ANJANI Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma bekerjasama dengan Cemeti - Institut Untuk Seni dan Masyarakat mengadakan diskusi bertajuk SENIMAN WICARA DAN DISKUSI PAMERAN CHORA: THE INFINITE BODIES. Acara diskusi ini diadakan pada Selasa, 26 September 2023 mulai pukul 14.30 sampai dengan selesai bertempat di Ruang Palma, Gedung Program Pascasarjana dengan menghadirkan beberapa seniman pembicara dan Dr. Katrin Bandel (Koordinator Pusat Studi ANJANI) sebagai penanggap.

Artist talk CHORA membuka dialog dan pengayaan akan interpretasi tentang CHORA sebagai tema pameran. Presentasi dibagi menjadi 3 bagian. Bagian I, “Chora: Yang Tidak Pernah Selesai” oleh Eka Wahyuni, ARIA XYX, dan Chandra Rosselinni yang menggarisbawahi tentang tubuh sebagai situs arena pertentangan banyak hal yang tidak pernah selesai. Ia mempertanyakan kebenaran, bersilaturahmi, berjejaring, mati, bertumbuh lagi, dan terus bergerak.
-
Bagian II, “Taktik dan Siasat” oleh baBAM. Membicarakan bahwa sesuatu yang berada di luar sistem dapat berperan sebagai pelestari kritisisme yang terus mempertanyakan sistem yang ada. Taktik dan siasat adalah sesuatu yang lumrah dilakukan dalam menghadapi sistem yang rigid.
-
Bagian III, “Hantu Gentayangan” oleh Elyla dan Fj Kunting. Bagian ini melihat bahwa ada hal-hal dalam hidup kita yang sengaja dilupakan oleh modernitas namun tidak akan pernah lenyap. Ia akan terus ada dan hilang-muncul untuk menghantui rezim pengetahuan.
-
Menanggapi itu, Katrin Bandel memaparkan bahwa praktik kesenian keenam seniman sangat mewakili betapa beragamnya praktik tubuh yang ada dan bagaimana pemaknaan kulturalnya. Ada kemungkinan yang tak berhingga dalam memaknai tubuh secara kultural. Namun, apa yang kemudian menggelisahkan adalah selalu ada risiko penyempitan pemaknaan sehingga pemaknaan yang “diizinkan” menjadi sangat terbatas mengingat ekspektasi budaya tertentu terhadap tubuh. Juga penyempitan karena kolonialisme yang membuat kemungkinan yang tidak berhingga itu dimarjinalkan. Persoalan “apa itu laki-laki, perempuan, LGBT” disempitkan dalam definisi tertentu yang kemudian kehilangan kekayaan spiritualnya.
-
Ia menyebut bahwa seni dapat menjadi ruang untuk intervensi. Dalam pameran CHORA, banyak karya yang bersifat ritual yang menjadi ruang negosiasi. Ini sekaligus mensubversi pandangan orientalis yang melihat ritual sebagai bagian dari tradisi yang statis, yang bisa diamati–sehingga yang bisa dilakukan adalah memprotes ritual. Namun pada pameran ini, ritual benar-benar dihidupi, diciptakan ulang, dan dikembalikan ke fungsinya, yaitu menghubungkan manusia dengan dunia di sekitarnya.

 kembali