Kolom

Ina Essy, Revolusi, hingga Perkara Uang Tunjangan

13-06-2023 11:07:33 WIB 
Kurang lebih ada tiga penulis Indonesia yang menurutku dapat menulis cerita realis yang lebih realis daripada realitas itu sendiri. Ahmad Tohari, Arafat Nur, dan Yoseph Yapi Taum. Ketiga nama itu memang tak lagi asing di kepala penikmat sastra. Ahmad Tohari, misalnya, selalu digadang-gadang sebagai dewa penulis realis Indonesia. Arafat Nur, meski tak sehebat nama sebelumnya, setidaknya dia masih bisa dikategorikan sebagai penulis realis Indonesia nomor dua. Terakhir, Yoseph Yapi Taum, aku tak hendak bilang dia penulis realis yang necis, dan mungkin saja kamu pun tak setuju apabila aku menjuluki hal tersebut. Ah, tapi tunggu dulu.

Taum memang lebih dikenal sebagai kritikus sastra dan penyair di jagat kesusastraan kita, karya-karyanya melejit hingga mancanegara, menjadi guru besar sastra di suatu universitas, bahkan dengan pandangannya yang kritis, dia mampu mereposisi paradigma-paradigma sastra. Meski demikian, apakah iya dia bisa menulis cerita yang apik dan menawarkan kontemplasi?

Pertanyaan semacam itu pasti terkadang terbesit di kepalamu, begitu pula denganku. Beberapa penikmat sastra mungkin akan bilang, “Bisa saja kok”. Meski begitu, beberapa sisanya, akan meremehkan dan menarik ke atas sebelah bibirnya sembari berkata, “Ah, mana mungkin, tidak ada jaminan bagi penyair bisa menjadi cerpenis yang baik”. Ya, kamu tahu, aku pun lebih setuju asumsi yang kedua, setidaknya hingga aku membaca cerpen “Sekuntum Mawar di Makam Ina Essy”.

Aku tidak hendak menjanjikan Taum adalah seorang pencerita yang keren, tetapi cerpen “Sekuntum Mawar di Makam Ina Essy” karyanya patut diapresiasi. Sebuah cerita tentang seorang lelaki yang meratap di makam kekasihnya itu tidak hanya indah sebagai karangan, akan tetapi Taum sengaja menyelipkan pergulatan hidup, paham apatis, negara, cinta, dan sistem bodoh pemerintah dalam rentetan diksi yang menari elok sekali.

Singkatnya, cerpen itu bercerita tentang tokoh bernama Pak Hendrik yang ziarah ke makam sang istri, Ina Essy. Sebagaimana lelaki yang enggan kehilangan kekasih, tokoh Hendrik mengingat kembali masa-masa indah dengan si permata hatinya. Ada beberapa rangkaian peristiwa yang samar-samar tokoh itu ingat, dari bagaimana awal dia bertemu dengan Ina Essy di langit Yogyakarta, wajah jelita kekasihnya yang tersenyum ketika melihat laut Sawu, Lembata, anak-anaknya yang lahir dari rahim sang kekasih, hingga kota Dili dan operasi para pemuda Fretellin.

Sebulan Ina Essy pergi, kepala kantor kepegawaian menelpon Pak Hendrik. Pak Dirman—kepala kantor—menyuruh Pak Hendrik untuk segera menghapus nama istrinya dari KK dan KTP sehingga tunjangan istrinya dapat ditarik. Namun, Pak Hendrik enggan menghapus nama istrinya dan dia memilih mengundurkan diri sebagai pegawai. Baginya, cinta dan kebenaran lebih bernilai daripada uang tunjangan. 

Cerpen “Sekuntum Mawar di Makam Ina Essy” karya Yoseph Yapi Taum menjadikan pembaca berkontemplasi tentang apa itu cinta dan sistem tidak masuk akal di negara kita sekalipun kita tak lagi menginginkan hal itu. Akan tetapi, Taum dapat membawa pembaca ke arah itu, arah di mana kita bisa mengenal diri sendiri, kekasih, serta negeri ini.

“Bahkan cinta jauh lebih purba dari napas. Napas manusia akan berhenti, tetapi cinta tetap abadi. Napasku tak akan berhenti hanya karena tidak lagi bekerja sebagai pegawai kantor di negeri ini. Cinta tetap hidup sekalipun jantung tak lagi berdetak. Kasih yang tertulis di dalam hati tak akan pudar, pun ketika tubuh sudah menjadi abu.” (Taum dkk. 2023: 26).

Cerita tentang cinta memang klise, tetapi hal itu bisa ditransformasikan menjadi sesuatu yang betul-betul baru. Taum telah membuktikan hal itu melalui cerpen “Sekuntum Mawar di Makam Ina Essy”. Boleh dibilang, cerita cinta yang ditulis Taum itu agak berbeda. Tidak hanya menyajikan tentang rasa kehilangan dan cinta sejati seorang lelaki, cerpen itu menggambarkan suasana Lembata dan lautnya begitu detail sehingga pembaca merasakan betul atmosfer yang dihadirkan, juga mengingatkan kita tentang gerakan separatis dari front revolusi untuk kemerdekaan Timor Leste. Tak hanya itu, yang paling penting, cerpen itu menyadarkan kita tentang kebobrokan sistem negeri kita yang mengharuskan warga negara menghapus nama-nama keluarga yang telah meninggal dari kartu keluarga.

Sekali lagi, cerpen “Sekuntum Mawar di Makam Ina Essy” karya Yoseph Yapi Taum tidak hanya menarik sebagai cerita, ada hal-hal lain yang menjadikan cerita ini indah dan menawarkan kontemplasi mendalam. Aku tidak hendak bilang kamu harus membaca cerpen ini, akan tetapi siap-siaplah menyesal apabila kamu benar-benar tidak membacanya. 

Terakhir, apabila kamu bertanya, apakah cerpen ini berangkat dari kisah nyata penulisnya? Ah, jangan harap aku akan membocorkan tentang hal itu.

Penulis: Aljas Sahni H
 kembali