(0274) 513301, 515352 Ext. 51552 (VoIP) ppip@usd.ac.id

Flipped Classroom dalam Paradigma Pedagogi Ignasian

Universitas Yesuit, Spiritualitas Ignasian

Beberapa tahun terakhir, Universitas Sanata Dharma giat menyelenggarakan hibah pembelajaran berparadigma pedagogi Ignasian dan mendorong para pengampu matakuliah untuk menerapkannya dalam pengajaran. Penulis mendapatkan kesempatan istimewa untuk menghadiri sosialisasi-sosialisasi untuknya baik sebagai peserta maupun sebagai pegiat spiritualitas Ignasian. Kelembaman peserta sosialisasi untuk menginkorporasikan paradigma pedagogi Ignasian dalam pengajaran mengalami penurunan. Meskipun demikian, penyelenggara perlu menanggapi secara serius kesulitan-kesulitan sebagian pendidik setelah mengimplementasikan paradigma pedagogi Ignasian dalam flipped learning, flipped classroom.

Kebanyakan pakar spiritualitas Ignasian kurang clara et distincta terhadap identitas Universitas Sanata Dharma dalam showcasing. Sanata Dharma universitas Yesuit yang merengkuh spiritualitas Ignasian. Inspirasi yang meresapi sekolah Yesuit melalui Serikat Yesus

tidak mengesampingkan mereka yang bukan anggotanya. Sungguhpun sekolah biasanya dinamai sekolah Yesuit, visilah yang pantas “Ignasian”, dan visi itu [Ignasian] tak pernah menjadi milik eksklusif anggota-anggota Serikat [Yesus]. Ignasius Loyola adalah seorang awam ketika mengalami panggilan Allah yang kemudian dilukiskannya dalam Latihan Rohani.

Residu kelembaman sebagian pendidik masih menggelayuti penyelenggaraan hibah flipped learning berbasis paradigma pedagogi Ignasian di universitas Sanata Dharma. Revolusi industri 4.0 yang melahirkan generasi baru Z dan Alpha disruptif terhadap pengajaran yang infrastrukturnya pradigital. Menyitir Marc Prensky, “pembelajar sekarang [homo sapiens digital] bukan lagi orang-orang yang [penyusun] sistem pendidikan kita mendesain pengajarannya untuk mereka.” Sesungguhnya irupsi generasi pembelajar Z telah mendorong sangat jauh disrupsi kelas dari pradigital menjadi flipped. Dorongan menuju flipped learning, bahkan online learning, menjadi penuh ketika Universitas menginkorporasikan paradigma pedagogi Ignasian.

Salah satu halangan, barangkali yang terbesar, dalam mempraktikkan flipped learning adalah kelembaman pribadi pendidik, komunitas akademik, bahkan institusi pendidikan. Kelembaman ini juga terdapat di Universitas Sanata Dharma yang penulis perlu riset lebih lanjut untuk mengukurnya secara akurat. Jauh dari menempelkan spiritualitas Ignasian pada flipped classroom atau memberikan justifikasi spiritual atasnya, paparan ini mengeksplorasi kontribusi spiritualitas Ignasian dalam pengarusutamaan (mainstreaming) flipped learning. Spiritualitas Ignasian mengakselerasi transisi dari model pengajaran pradigital ke flipped classroom, lebih lanjut inkorporasinya secara penuh di universitas Sanata Dharma.

Jangkauan dan Keterbatasan

Karena semua langkah dalam paradigma pedagogi Ignasian mendapatkan bagian pembahasan, penjelasan masing-masing langkah barangkali terkesan kurang komprehensif bagi para pendidik yang telah memiliki literasi dalam spiritualitas Ignasian. Pendidik yang sudah memiliki literasi dalam spiritualitas Ignasian bukan sasaran utama tulisan ini. Pembaca yang penulis bayangkan dalam tulisan ini pendidik baru di universitas Sanata Dharma yang antusias untuk mulai menginkorporasikan paradigma pedagogi Ignasian dalam pengajaran flipped, tetapi level pengetahuan tentangnya masih awam atau novis. Perlu tulisan-tulisan lain untuk pengayaan masing-masing langkah paradigma pedagogi Ignasian secara lebih komprehensif.

Struktur Tulisan  

Bagaimana flipped learning, flipped classroom dalam paradigma pedagogi Ignasian? Dibimbing roh disruptif era revolusi industri 4.0 dan irupsi pembelajar generasi Z, penulis mengeksplorasi kontribusi pedagogi spiritualitas Ignasian dalam mengakselerasi praktik pengajaran flipped. Membaca secara apresiatif teks Latihan Rohani St. Ignasius Loyola dan dokumen pendidikan Serikat Yesus tentang paradigma pedagogi Ignasian, penulis mencari inspirasi untuk mendalami konteks, pengalaman, aksi, refleksi dan evaluasi. Pada akhir tulisan, penulis menyampaikan usulan konkrit untuk mengakselerasi pendidik muda di universitas Sanata Dharma  menginkorporasikan paradigma pedagogi Ignasian dalam pembelajaran, ruang kelas flipped.

Generasi Pembelajar Z

Mark McCrindle membantu kita dengan mengartikulasikan tujuh faktor yang  mendefinisikan generasi Z. Mereka “demographically changed, generationally defined, digital integrators, globally focused, visually engaged, educationally reformed, dan socially defined.” Generasi Z mengubah landskap demografi. Jauh dari sekedar signifikan secara kuantitas, bonus demografi juga memiliki signifikansi secara kualitas. Mereka mapan secara finansial, melek secara teknologi, terkoneksi secara global, dan terdidik secara formal. Melampaui “digital transactors”, mereka “digital integrators.” Mereka memiliki fokus global dalam musik, film, selebritis, mode, kuliner, hiburan daring, tren sosial, dan komunikasi.

Lebih lanjut, Mark McCrindle dalam The ABC of XYZ: Understanding the Global Generations, menengarai bahwa ketika menyampaikan gagasan, generasi Z lebih memilih media video daripada tulisan. Pesan semakin berbasis gambar dan tanda. Logo dan merk semakin berbasis warna dan gambar daripada kata dan frasa. Terjadi pergeseran dari kuliah sebagai bekal untuk karir menjadi pembelajar sepanjang hidup. Guru bergeser perannya dari pengajar menjadi fasilitator. Fokus dalam pembelajaran bergeser dari konten ke keterlibatan. Penyampaian formal di kelas bergeser menjadi interaktif. Persahabatan sebaya sentral dalam kehidupan generasi Z.

Flipped learning merupakan transisi menuju online learning. Masa depan pembelajaran adalah daring. Kelas tradisional telah berlangsung sejak Abad Pertengahan. Kelas menjadi lokasi interaksi daripada transfer informasi. Pembelajar dapat memperoleh informasi secara daring, yang formatnya semakin bergeser dari teks ke video. Yang penting dalam pembelajaran adalah keterlibatan mendalam dalam mengatasi problem riil. Beragam pedagogi baru menekankan pembelajaran aktif, seperti berbasis masalah (problem based learning), berbasis proyek (project-based learning), berbasis riset eksploratif (inquiry-based learning), dan berbasis kerja kelompok (team-based learning).

Tantangan akademik dapat meredupkan entusiasme pendidik, komunitas pendidik, dan institusi pendidikan dalam mengimplementasikan flipped classroom, bahkan menimbulkan frustasi. Pejabat institusi pendidikan berpikir bahwa dengan pengurangan sebagian kuliah tatap muka menjadi daring, lebih banyak waktu dapat komunitas pendidik alokasikan untuk riset. Namun, institusi pendidikan seringkali kurang menyadari bahwa waktu yang para pendidik investasikan untuk meng-update dan menyampaikan materi pengajaran jauh lebih sedikit daripada waktu yang mereka alokasikan untuk menyusun, dan menyampaikan materi daring dan aktivitas pembelajaran di kampus. Pengajaran flipped membutuhkan usaha ekstra.

Meskipun berfokus pada kelembaman pendidik, komunitas pendidik, dan institusi pendidikan, tantangan mempraktikkan flipped learning juga berasal dari mereka yang masuk perguruan tinggi sebagai mahasiswa-mahasiswi. Banyak dari mahasiswa-mahasiswi baru menggunakan pendekatan “surface learning” yang sangat berorientasi pada nilai rapor (grade oriented). Jenis mahasiswa-mahasiswi ini mengalami kegegaran ketika pendidik mewajibkan mereka untuk menyiapkan materi pembelajaran sebelum memasuki ruang kuliah (pre-learning) dan terlibat dalam konstruksi pengetahuan melalui kegiatan-kegiatan pembelajaran kolaboratif yang berlangsung di kampus (on-campus collaborative learning activities).

Allah Seperti Guru Sekolah

St. Ignasius Loyola (ⴕ1491-1556), seorang pedagog spiritual, mengalami bahwa Allah hadir kepadanya seperti seorang guru sekolah. Pada waktu itu, Allah memperlakukan dia “seperti seorang guru sekolah terhadap seorang anak. Ia memberikan pelajaran kepadanya. Entah karena dia begitu kasar dan bodoh, entah karena tidak ada orang yang mengajarnya, atau karena kemauan kuat yang diberikan Allah kepadanya untuk mengabdi kepadanya.” Gambaran hubungan Allah dan manusia latihan rohani pada zaman St. Ignasius Loyola ibarat relasi guru sekolah dan murid dapat membantu kita dalam mengimajinasikan secara kreatif interaksi antara pendidik dan pembelajar flipped pada era revolusi industri 4.0.

Pengajaran flipped menginkorporasikan konteks, pengalaman, refleksi, aksi, dan evaluasi yang merupakan tahap-tahap dari paradigma pedagogi Ignasian. Pengajaran berlangsung dalam konteks tertentu. Pendidik menciptakan pengalaman yang berlangsung menyeluruh dalam kehidupan pembelajar. Pembiasaan refleksi dalam pengajaran di sekolah memfasilitasi pembelajar untuk mengolah pengalaman hingga kedalamannya. Formasi, lebih lanjut transformasi pembelajar dalam pembelajaran berlanjut dengan komitmen mereka untuk melibatkan diri dalam mengubah dunia sebagaimana Allah menghendakinya. Evaluasi pengajaran mencakup kemauan pendidik untuk melakukan modifikasi, bahkan perubahan.

Pada bagian awal tulisan, penulis telah mengartikulasikan konteks revolusi Industri 4.0 yang menciptakan disrupsi dalam masyarakat, revolusi teknologi digital yang menggegarkan dunia pendidikan, dan irupsi generasi pembelajar Z dan Alpha. Tentu para pendidik masih dapat melengkapi pembacaan penulis atas tanda-tanda zaman now yang relevan untuk mendesain flipped classroom yang tanggap zaman. Jika pendidik mengabaikan konteks, bahkan konteks-konteks tersebut, konten pengajaran kita akan mengalami ketimpangan, bahkan kehilangan pijakan. Pengajaran flipped berparadigma pedagogi Ignasian, dari perspektif pembelajar, merupakan pembelajaran yang kontekstual.

Kami menyaksikan semangat orang muda yang merindukan perbaikan kehidupan. Orang-orang menikmati keindahan ciptaan dan berikhtiar untuk menemukan Allah dalam aktivitas sehari-hari. Sains, teknologi, dan ekonomi berkembang pesat; Banyak potensi untuk meningkatkan kualitas kehidupan di bumi. Namun, kami juga menyaksikan kekerasan, eksploitasi dan ketidakadilan brutal. Intoleransi relijius dan etnis, fundamentalisme dan diskriminasi menyerang martabat manusia, memburukkan ketidaksetaraan dan meminggirkan banyak orang secara sosial, terutama perempuan dan anak. Ketidakseimbangan dan degradasi lingkungan yang parah, diperburuk budaya membuang, meracuni dan mencemari planet bumi.[11]

Aktivitas pengajaran flipped berparadigma pedagogi Ignasian berpusat pada pembelajar. Alih-alih seragam, kegiatan dalam pengajaran sangat beragam sebagaimana St. Ignasius Loyola membayangkannya ketika berbicara tentang ragam aktivitas dalam Latihan Rohani. Aktivitas pengajaran dapat berlangsung baik di dalam maupun di luar kelas. Aktivitas di luar kelas setara pentingnya dengan kegiatan di dalam kelas. Ia terbuka terhadap bentuk kegiatan pembelajaran baru yang konteksual dengan zaman now. Pendidik perlu mengeksplorasi bentuk-bentuk aktivitas yang merangsang pembelajar untuk menjadi subyek aktif dalam pembelajaran. Tujuan pengajaran memandu pendidik dalam memilih aktivitas baik di dalam maupun di luar kelas.

Yang dimaksud dengan kata ‘latihan rohani’ ialah: setiap cara memeriksa hati, meditasi, kontemplasi, doa lisan dan batin, serta segala kegiatan rohani lainnya, yang akan dikatakan kemudian. Sebagaimana gerak jalan, jarak dekat atau jauh, dan lari-lari disebut latihan jasmani, begitu pula dinamika latihan rohani setiap cara mempersiapkan jiwa dan menyediakan hati untuk melepaskan diri dari segala rasa lekat tidak teratur, dan selepasnya dari itu, lalu mencari dan menemukan kehendak Allah dalam hidup nyata guna keselamatan jiwa kita.

Gambaran figur pemberi latihan rohani berikut aktivitas mendampingi pelaku retret juga inspiratif dalam pengajaran flipped berparadigma pedagogi Ignasian. Alih-alih kelimpahan pengetahuan, keberhasilan sebuah latihan rohani terletak dalam kemendalaman pelaku latihan rohani dalam merasakan dan mencecap kebenaran. St. Ignasius Loyola juga menekankan aktivitas latihan rohani “mengenyangkan dan memuaskan jiwa.” Pendidik perlu membuka ruang dalam pembelajaran untuk aktivitas pembelajar. Dalam perspektif Ignasian, rahmat Allah aktif bekerja dalam pelaku latihan rohani. Tantangan dalam pembelajaran bagi generasi pembelajar Z adalah ketercapaian tujuan dan kegembiraan (fun) pembelajar.

Yang memberikan cara dan garis besar meditasi atau kontemplasi harus menceritakan dengan seksama fakta-fakta kontemplasi atau meditasi. Hendaknya dia memaparkan tiap-tiap pokok dengan singkat dan ringkas. Adapun alasannya mengapa harus demikian ialah, bila yang berkontemplasi berpijak kuat pada cerita yang benar, lalu merenungkan dan merefleksikannya, dia mungkin akan menemukan sesuatu yang menyebabkan cerita itu menjadi sedikit lebih jelas dan dapat dirasakan. Hal itu mungkin timbul karena pemikiran sendiri, atau karena budi diterangi oleh rahmat Allah. Kalau demikian, akan lebih besar citarasa dan buah rohani, daripada jika pemberi latihan telah menjelaskan dan mengembangkan panjang lebar makna cerita itu. Karena bukan berlimpahnya pengetahuan, melainkan merasakan dan mencecap dalam-dalam kebenarannya yang memperkenyang dan memuaskan jiwa.

Sebagian pendidik yang mengikuti hibah pembelajaran berparadigma pedagogi Ignasian mengeluhkan beban ketika mengimplementasikannya dalam pengajaran. Mereka merasakan kesulitan untuk menyelesaikan semua langkah mulai dari konteks, pengalaman, aksi, refleksi, hingga evaluasi. Pemenuhan rangkaian langkah cenderung sangat mekanistis. St. Ignasius Loyola mendorong kreativitas pendamping latihan rohani untuk “tarik dan dorong” (push and pull) dalam dinamika dari satu minggu ke minggu-minggu berikutnya. Setelah melihat kondisi riil pembelajar secara mendalam, pendamping latihan rohani dapat menyesuaikan desain pembelajarn yang paling sesuai dengannya.

Latihan-latihan berikut hendaknya diberikan selama empat Minggu, sesuai dengan adanya empat bagian dalam latihan-latihan ….

Namun, itu tidak berarti bahwa setiap Minggu harus terdiri dari tujuh atau delapan hari. Karena mungkin dalam Minggu pertama ada yang lebih lambat mendapatkan apa yang dicari, yaitu rasa tobat, kesusahan, air mata atas dosa-dosa. Ada yang mungkin lebih rajin daripada yang lain, dan ada pula yang lebih dikacaukan dan lebih dicobai oleh bermacam-macam roh. Maka ada kalanya Minggu itu harus dipersingkat, ada kalanya harus diperpanjang.

…. Namun hendaknya seluruh Latihan Rohani berakhir kurang lebih dalam 30 hari.

Pada saat bersamaan, pendidik perlu awas terhadap godaan untuk segera melewati langkah-langkah pengajaran yang menurutnya membebani. Oleh karena itu, pendidik perlu kemampuan untuk membedakan menyingkat langkah pengajaran sebagai kustomisasi (customization) dari mengambil jalan pintas (shortcut) karena mengikuti godaan manusiawi menghindari, bahkan lari dari, kesulitan. Ia perlu bertekun, bahkan mengambil laku agere contra, ketika berhadapan dengan proses pembelajaran yang sangat sulit.  Untuk melawan, bahkan mengalahkan, godaan musuh, St. Ignasius Loyola, menyampaikan pedoman yang pendamping latihan rohani perlu sampaikan kepada retretan mengenai durasi doa.

Yang memberi latihan harus menegaskan kepada yang berlatih bahwa ia harus bertekun selama satu jam dalam latihan atau kontemplasi yang diadakan 5 kali setiap hari. Hendaknya selalu diusahakan agar hati senantiasa puas bahwa dalam latihan itu ia telah bertekun selama satu jam penuh. Bahkan lebih baik latihan diperpanjang daripada diperpendek. Sebab biasanya musuh sangat berdaya-upaya, agar waktu kotentemplasi, meditasi atau doa diperpendek.

Sebagaimana sudah nampak dalam kajian terkait, pengajaran flipped menuntut pembaharuan diri baik pendidik maupun pembelajar. Kelembaman kedua belah pihak menghalangi proses pembelajaran. Pendidik menderita kemandegan ketika tertutup terhadap pengajaran flipped dan terhadap paradigma pedagogi Ignasian. Demikian pula, pembelajar mengalami kemandegan ketika mempertahankan paradigma pedagogi lama yang berorientasi pada nilai rapor. Kemandegan terjadi ketika mereka resisten terhadap roh paradigma pedagogi Ignasian yang menekankan kemandirian belajar dan eksplorasi hingga tapal batas. St. Ignasius Loyola mendorong retretan untuk menanggalkan cinta, kehendak, dan kepentingan diri.

Bagi yang akan menjalani Latihan Rohani sangat berguna, bila dia masuk dengan jiwa besar dan hati rela berkorban untuk Pencipta dan Tuhannya, serta mempersembahkan kepada-Nya, seluruh kehendak dan kemerdekaannya, agar Keagungan ilahi mau mempergunakan pribadi dan segala miliknya menurut kehendak-Nya yang mahakudus.

Karena tiap-tiap orang harus beranggapan bahwa ia hanya akan maju dalam segala perkara rohani sejauh ia telah meninggalkan cinta diri, kehendak dan kepentingan diri.

Flipped classroom berparadigma pedagogi Ignasian mendorong kemandirian pembelajar. Tanpa paksaan dari pendidik, mereka melakukan studi pribadi, eksplorasi kreatif dan memiliki kemampuan refleksif. Pertumbuhan ke arah kematangan dan kemandirian yang perlu bagi bertambahnya kebebasan  bergantung pada “partisipasi aktif, lebih dari hanya menerima secara pasif. Langkah-langkah yang mengarah kepada partisipasi aktif menyangkut studi pribadi, kesempatan untuk menemukan sendiri dan kreativitas serta sikap refleksif. Tugas guru adalah menolong siswa menjadi pelajar yang aktif sendiri, untuk menerima tanggung jawab atas pendidikannya sendiri.”

Pengajaran flipped berparadigma pedagogi Ignasian memfasilitasi eksplorasi pembelajar hingga tapal batas untuk sampai pada kebenaran, lebih lanjut Sang Kebenaran. Kehadiran pendidik jangan sampai malahan menjadi halangan bagi pembelajar dalam mengalami perjumpaan tanpa rintangan dengan Sang Kebenaran. Keunggulan akademik pendidik dalam pembelajaran hendaknya jangan sampai menggeser sentralitas pembelajaran dari pembelajar, apalagi kemudian menciptakan ketergantungan pembelajar kepadanya. Posisi pendidik mengalami desentralisasi dari yang sebelumnya menjadi sumber utama, bahkan pemilik monopoli, pengetahuan.

Akan tetapi selama latihan rohani ini, lebih berguna dan jauh lebih baik bila, dalam mencari kehendak ilahi, membiarkan Pencipta dan Tuhan secara pribadi mewahyukan Diri kepada jiwa yang bakti dan menyalakannya dengan cinta kasih dan pujian-Nya, serta membuka hatinya untuk menempuh jalan, dimana selanjutnya dia dapat lebih baik mengabdi Tuhan. Maka pembimbing latihan jangan condong atau menyatakan kecenderungannya ke arah ini atau itu; tetapi hendaknya dengan tetap tinggal di tengah bagai jarum neraca, mempersilahkan Pencipta langsung bertindak pada mahluk-Nya, dari mahluk langsung pada Pencipta dan Tuhannya.

Sebagaimana Latihan Rohani, pengajaran flipped berparadigma pedagogi Ignasian mendorong pendidik untuk melakukan kustomisasi sesuai konteks. Pembelajaran jangan sampai membebani pembelajar. Demikian pula, pembelajaran jangan sampai kehilangan manfaat bagi kehidupan pembelajar. Kustomisasi sesuai konteks mendorong pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berdasar proyek, pembelajaran berfondasi eksplorasi. Merupakan salah satu faktor yang mendefinisikan generasi pembelajar Z, pendidik menyadari sentralitas persahabatan sebaya sehingga pengajaran flipped berparadigma pedagogi Ignasian mendorong kolaborasi antarpembelajar.

Latihan Rohani harus disesuaikan dengan keadaan mereka, yang berkehendak melakukannya, yaitu umur, pendidikan dan bakat-kemampuan mereka. Jadi kepada orang yang kemampuan kodratinya kecil atau lemah fisiknya, janganlah diberi latihan-latihan yang tidak mudah dapat ditanggungnya, atau tak bermanfaat baginya. Demikianlah, setiap orang hendaknya diberi latihan-latihan yang lebih menolong dan lebih berguna sesuai dengan kehendak mereka untuk menyediakan diri.

Relasi interaktif berlangsung antara pendidik dan pembelajar. Alih-alih hubungan berlangsung monologis, hubungan keduanya sangat dialogis. Pendidik dan pembelajar memperkaya satu sama lain dalam pembelajaran. Pembelajar memberikan sesuatu kepada pendidik. Kesan sepintas barangkali muncul dalam benak kita bahwa teks Latihan Rohani seperti berikut menempatkan pendidik dalam posisi sentral perlu ketika berbicara mengenai pembelajar sebagai insan yang bodoh, tidak memiliki ilmu, perlu klarifikasi. Teks-teks lain dalam Latihan Rohani St. Ignasius Loyola menekankan sentralitas retretan dan kolaborasi antarmereka. Pengajaran flipped berparadigma pedagogi Ignasian memandang pembelajar sebagai insan berpengetahuan.

Cinta terwujud dalam saling memberi dari kedua belah pihak, artinya: yang mencintai memberi dan menyerahkan kepada yang dicintai apa yang dimiliki, atau sebagian dari milik atau yang dapat diberikan, begitu pula sebaliknya, yang dicintai kepada yang mencintai. Jadi, bila yang satu punya ilmu, dia memberi ilmu itu kepada lainnya yang tak punya, begitu juga mengenai kehormatan dan kekayaan. Demikian pula sebaliknya, yang lain itu terhadap dia.

Pengajaran flipped dengan paradigma pedagogi Ignasian memandang mahasiswa-mahasiswi sebagai pembelajar sepanjang hidup. Ia mendorong pembelajaran tanpa putus. Momen wisuda bukan waktu untuk berhenti dari pembelajaran. Hasrat untuk belajar mendorong mereka untuk melanjutkan belajar setelah kelulusan. Setelah wisuda, mereka melanjutkan pembelajaran baik melalui jalur pendidikan formal lebih lanjut maupun belajar secara mandiri. Mereka menjalani pembelajaran sepanjang usia dengan kegembiraan. Oleh karena itu, pendidik flipped berparadigma pedagogi Ignasian mendorong pembelajar lebih jauh dari sekedar belajar. Ia mendorong pembelajar untuk “learn how to learn.”

Karena pendidikan adalah proses sepanjang umur, pendidikan Yesuit berusaha membangkitkan kegembiraan dan hasrat untuk belajar, yang tetap ada, juga sesudah tamat sekolah. “Bahkan yang lebih penting dari formasi yang kita berikan adalah kemampuan dan minat untuk meneruskan formasi mereka: itulah yang perlu kita tanamkan. Belajar itu penting, yang tetap jauh lebih penting adalah mempelajari cara belajar ingin belajar terus selama hidup.”

Refleksi mendapatkan ruang istimewa dalam dinamika Latihan Rohani. Pentingnya refleksi sangat nampak dalam alokasi waktu seperempat jam dalam perbandingan dengan aktivitas latihan rohani selama satu jam. Perbandingan antara waktu latihan rohani dan refleksi atasnya adalah 4:1. Refleksi menjadikan pembelajaran tidak jatuh menjadi sekedar aktivisme. Ia memungkinkan pembelajaran menjadi aktivitas bermakna. Jauh dari mencukupi bahwa aktivitas pembelajaran berlangsung produktif baik bagi pembelajar dan pendidik. St. Ignasius Loyola memandang refleksi sebagai aktivitas “mengambil buah rohani.” Aktivitas pembelajaran dalam paradigma pedagogi Ignasian kriterianya fruitfulness daripada productivity.

St. Ignasius Loyola mendorong pelaku retret Ignasian pada bagian akhir Latihan Rohani untuk sampai pada kesadaran bahwa “cinta harus diwujudkan dalam perbuatan daripada diungkapkan dalam kata-kata.” Pengajaran flipped berparadigma pedagogi Ignasian tidak pernah berhenti pada pemerolehan pengetahuan mendalam, bahkan pemikiran kritis sekalipun, oleh pembelajar. Pengetahuan mendalam dan pemikiran kritis mengefektifkan pembelajar pada komitmen, lebih lanjut praksis, keadilan bagi semua ciptaan ekologis. “Pusat pendidikan sekolah Yesuit adalah pendidikan ke arah keadilan. Pengetahuan yang memadai serta dengan pemikiran yang teliti dan kritis akan membuat perjuangan demi keadilan lebih efektif.”

Evaluasi pengajaran flipped berparadigma pedagogi Ignasian memeriksa dinamika yang telah berlangsung dalam pembelajaran. Ketika terjadi ketiadaan dinamika yang berlangsung dalam pembelajar, pendidik menanyakan dinamika pembelajaran yang ia telah mendesainnya. Evaluasi pada akhir proses pembelajaran menjadi momen permintaan pertanggungjawaban baik bagi pembelajar maupun pendidik. Kedua belah pihak perlu melihat kemungkinan mereka telah melakukan kelalaian-kelalaian sehingga pembelajaran gagal mencapai tujuan. Baik pendidik maupun pembelajar perlu menghindari pereduksian evaluasi pembelajaran pada pemberian nilai akhir oleh pendidik dan penerimaan kartu hasil studi oleh pembelajar.

Apabila pemberi latihan melihat bahwa yang berlatih tidak mengalami gerak rohani satu pun, seperti hiburan-hiburan atau kesepian-kesepian dan juga tidak digerakkan oleh roh-roh yang berbeda-beda, maka haruslah ia bertanya kepadanya tentang latihan-latihan: apakah ia melakukannya selama waktu yang ditentukan? Bagaimana melakukannya? Demikian juga haruslah ditanyakan tentang Aturan-aturan Tambahan: Apakah dengan cermat ditaatinya? Mengenai tiap perkara itu hendaknya ia dengan teliti meminta pertanggungjawaban.

Baik pendidik maupun pembelajar mengevaluasi proses pembelajaran pada akhir melalui instrumen yang terukur. Terutama pada waktu akhir pembelajaran, ada bahaya bahwa baik pembelajar maupun pendidik melaksanakan evaluasi hanya untuk memenuhi tagihan administratif. Kalaupun dapat melihat keburukan dalam proses pembelajaran, pendidik seringkali gagal meneruskannya dengan mengungkapkan sesal atasnya, apalagi memperbaiki diri. Keburukan berulang kali terjadi tanpa ada ikhtiar sedikit pun dari pihak pendidik untuk memperbaiki diri. Bahkan, ketika proses pembelajaran telah berlangsung secara baik sekalipun, kita lalai untuk mensyukurinya.

Setiap kali latihan selesai, selama seperempat jam, entah dengan duduk entah sambil berjalan-jalan, aku akan memeriksa, bagaimana berlangsungnya kontemplasi atau meditasi tadi.

Jikalau buruk, akan kuperiksa sebab-sebabnya mengapa begitu, dan setelah kudapat, aku akan menyesalinya, untuk selanjutnya memperbaiki diri. Jikalau baik, aku akan berterima kasih kepada Allah Tuhan kita, dan lain kali akan kulakukan secara demikian juga.

Insentif Spiritual

Disrupsi revolusi industri 4.0 dan irupsi generasi pembelajar Z menggegarkan paradigma pedagogi tradisional yang infrastrukturnya pradigital. Flipped learning, flipped classroom merupakan transisi menuju pembelajaran masa depan yang bergerak cepat ke arah daring. Universitas Sanata Dharma mencari kemungkinan mempraktikkan pengajaran flipped berbasis paradigma pedagogi Ignasian. Tulisan ini mengeksplorasi kemungkinan paradigma pedagogi Ignasian dapat menjadi fondasi spiritual untuk praktik flipped learning, flipped classroom di universitas Sanata Dharma. Alih-alih melembamkan pengajaran, kelas flipped, paradigma pedagogi Ignasian mengakselerasikan praktiknya.

Hampir semua dokumen dapat pendidik muda akses dengan mudah secara daring untuk pengayaan pengajaran berparadigma pedagogi Ignasian. Teks Latihan Rohani merupakan sebuah pengecualian. Ia bukan buku bacaan rohani. Selain insentif finansial kepada pendidik muda yang mau mempraktikkan pengajaran berparadigma pedagogi Ignasian melalui skema hibah, universitas Sanata Dharma dapat menawarkan insentif spiritual kepada mereka. Penulis merekomendasikan Universitas untuk menawarkan Latihan Rohani St. Ignasius Loyola kepada pendidik muda yang antusias untuk mengajar berbasis paradigma pedagogi Ignasian agar mereka mengalami secara langsung dinamika konteks, pengalaman, refleksi, aksi, dan evaluasi. (Mutiara Andalas, SJ, SS, STD)

Asesmen dalam Flipped Classroom

A. Praktek Baik Asesmen dalam Flipped Classroom

Praktek baik  asesmen dalam  Flipped  Classroom (FC)  sebenarnya  merupakan  praktek baik asesmen pada umumnya  yang diterapkan dalam  konteks  FC.  Beberapa  praktek baik ini misalnya meliputi:

  • Menyelaraskan tujuan asesmen dengan tujuan  pembelajaran. Keselarasan tujuan asesmen dengan tujuan  pembelajaran menjadi penting karena tujuan  utama  dari asesmen adalah melihat seberapa jauh tujuan  pembelajaran dapat  tercapai.  Ketidakselarasan  akan mengakibatkan ketidakmampuan dalam memperoleh informasi mengenai tercapai  tidaknya  tujuan  pembelajaran.
  • Menginformasikan kisi-kisi asesmen dan cara yang akan digunakan dalam melakukan asesmen. Misalnya instruktur memberikan kisi-kisi asesmen di awal semester beserta informasi mengenai jumlah dan jenis item yang akan digunakan  dalam asesmen, dan kemampuan  apa yang diharapkan untuk menyelesaikan bentuk asesmen tertentu.
  • Prinsip short-frequent-low risk atau pendek-sering-rendah resiko.  Asesmen hendaknya  dilakukan dengan  menggunakan  jumlah  item yang sedikit tetapi  sering dilakukan. Selain itu, untuk mengurangi  kecemasan yang dapat  mengganggu proses asesmen, asesmen sebaiknya dilakukan  dengan resiko yang rendah. Misalnya, mahasiswa dapat mengulangi pengerjaan  tugas atau tes yang diberikan di kelas untuk  memperbaiki  hasil pengerjaan tugas atau tes didasarkan  pada  umpan balik yang diberikan. Tentu saja, instruktur dapat  memberikan aturan penalti dalam arti, pengerjaan  tes yang kedua kalinya tidak dapat  memperoleh nilai maksimal.
  • Memberikan umpan balik pada mahasiswa baik kekuatan maupun kelemahannya dan  cara  memperbaiki kelemahan  dalam  penguasaan  materi. Umpan  balik  ini dapat  diberikan  secara  umum  yang mencakup kelemahan  dan  kelebihan  kelas, maupun  secara individual  mahasiswa.
  • Menggunakan data asesmen kelas atau individual untuk memperbaiki atau mengem- bangkan pembelajarn di masa depan. Perbaikan atau  pengembangan  ini dapat terkait  dengan  metode yang digunakan,  penambahan atau  pengurangan  materi, atau  penambahan dan pengurangan  jam yang dibutuhkan untuk  satu  topik.
  • Menggunakan alat asesmen yang berkualitas  baik.

B. Kualitas Asesmen yang Baik

Asesmen yang berkualitas  baik harus memiliki paling tidak  empat  aspek berikut  ini:

  • Validitas yang tinggi. Asesmen yang memiliki validitas  yang tinggi merupakan asesmen yang memiliki ketepatan dalam mengukur tujuan  asesmen.
  • Reliabilitas yang tinggi.   Asesmen yang  reliabel  membuat  hasil asesmen dapat menggambarkan kondisi seseorang dengan akurat.
  • Asesmen perlu memiliki kemampuan untuk  membedakan  mahasiswa  yang satu dengan  yang lain. Semakin tinggi kemampuan  asesmen ini, semakin banyak  informasi yang dapat  diperoleh dari setiap mahasiswa.
  • Bebas bias. Asesmen yang bias akan cenderung merugikan  mahasiswa  dari satu kelompok dibandingkan kelompok lain.  Bias ini dapat  membuat  kesimpulan mengenai mahasiswa  tersebut keliru dan dapat  berpotensi  merugikan.  Misalnya jika hasil  asesmen  digunakan  sebagai  dasar untuk  memberikan  penilaian,  asesmen yang bias akan membuat  kelompok mahasiswa  tertentu memiliki nilai lebih rendah.

C. Tiga Aspek Asesmen dalam Flipped Classroom

Asesmen dalam Flipped Classroom mencakup tiga aspek:

  • Asesmen terhadap proses pembelajaran dalam kelas Flipped Classroom
  • Asesmen terhadap instruktur dan relasinya dengan mahasiswa di kelas
  • Asesmen terhadap hasil belajar mahasiswa

1. Asesmen terhadap Proses Pembelajaran dalam Kelas

Asesmen dalam aspek ini melihat proses pembelajaran dalam kelas. Misalnya asesmen terhadap tingkat kenyamanan  mahasiswa  mengikuti  perkuliahan,  tingkat  keterlibatan kognitif selama proses kuliah, dan lain-lain. Cukup  banyak sumber yang dapat diacu atau  digunakan  untuk melakukan  asesmen terhadap proses pembelajaran di kelas itu sendiri.  Beberapa  contoh diberikan di bawah ini:

Flipped Learning Assessment Tool

Flipped  learning  assessment  tool (Kim,  et.al,  2015) disusun  berdasarkan The Revised Community of Inquiry  yang terdiri  dari 6 aspek; yaitu:

  • Teaching Orientation menanyakan apakah kelas berorientasi pada mahasiswa atau dosen.
  • Teaching Presence menanyakan apakah pengajar dapat menjalankan teknik-teknik mengajar  yang sesuai dengan situasi kelas
  • Social Presence  menanyakan  apakah  situasi  pengajaran/pembelajaran  memberikan dorongan untuk belajar.
  • Cognitive Presence menanyakan apakah perkuliahan mendorong mahasiswa berpikir kritis-kreatif dalam membangun pengetahuan mereka.
  • Learner Presence menanyakan  keterlibatan mahasiswa selama proses perkuliahan, misalnya apakah  proses metakognisi dan regulasi diri yang terlibat dalam proses pembelajaran.
  • Technology Use menanyakan kemudahan dan keterbiasaan mahasiswa dalam menggunakan teknologi yang terlibat di kelas.

2. Asesmen terhadap Instruktur dan Relasinya dengan Mahasiswa

Aspek ini merupakan asesmen  terhadap instruktur itu  sendiri  dan  relasinya  dengan mahasiswa, yang dapat meliputi  pandangan mahasiswa  terhadap bagaimana  instruktur  berelasi dengan  mahasiswa, kompetensi  instruktur dalam  mengajar, hingga pada pengalaman negatif yang pernah dialami selama perkuliahan.

Salah  satu  contoh  asesmen  terhadap instruktur dan  relasinya  dengan  mahasiswa adalah Student Professor Interaction Scale yang disusun oleh Cokley,et al.(2004).  Skala tersebut  terdiri  dari delapan aspek; yaitu:

  • Interaksi yang penuh penghargaan, yang menanyakan  apakah  instruktur berelasi dengan menghargai mahasiswa  sebagai  individu,  memberikan  ekspektansi  yang jelas, kenyamanan  berinteraksi dengan mahasiswa  dari  latar belakang  berbeda, dll.
  • Bimbingan / panduan karir, yang menanyakan apakah instuktur memberikan pandangan  akan karir di masa depan, bantuan dalam memahami  materi, dll.
  • Kemudahan didekati, yang menanyakan apakah instruktur memberi ruang memadai dan bersedia diajak  berdiskusi  terkait  dengan  materi, nilai, dan permasalahan  akademis lain.
  • Pentingnya relasi instruktur-mahasiswa, yang menanyakan seberapa besar  pengaruh relasi instruktur-mahasiswa terhadap mahasiswa dari persepsi mahasiswa.
  • Sikap peduli, yang menanyakan apakah instruktur peduli terhadap kondisi mahasiswa secara umum.
  • Interaksi di luar kelas, yang menanyakan apakah relasi instruktur-mahasiswa juga terjadi di luar kelas.
  • Keterhubungan, yang menanyakan apakah instruktur memahami  latar belakang budaya mahasiswa yang berbeda.
  • Aksesibilitas, yang menanyakan  apakah  instruktur dapat  ditemui  di luar  kelas ketika dibutuhkan.
  • Pengalaman negatif, yang menanyakan apakah mahasiswa  memiliki pengalaman tidak menyenangkan, termasuk di dalamnya perundungan, selama proses pembelajaran.

3. Asesmen Hasil Belajar Mahasiswa

Asesmen hasil  belajar mahasiswa  pada  dasarnya  menggali informasi mengenai  hasil pembelajaran yang  dilakukan  mahasiswa, seperti  penguasaan  terhadap materi,  peningkatan  ketrampilan, perubahan sikap, dll. Asesmen hasil belajar ini sangat bervariasi tergantung pada materi yang diukur,  tetapi  dapat dikelompokkan  ke dalam beberapa kategorisasi.

Waktu Pelaksanaan Asesmen

Berdasarkan waktu pelaksanaannya, asesmen hasil belajar dapat  dibedakan  menjadi:

  • Preformatif, yaitu  asesmen  yang  dijalankan  seiring  dengan  berjalannya   proses pembelajaran di luar kelas
  • Formatif, yaitu asesmen  yang  dijalankan  untuk  memonitor  pembelajaran  mahasiswa yang  diberikan  pada  akhir  tiap unit  materi.   Informasi  yang  diperoleh biasanya  digunakan  untuk  meningkatkan proses pembelajaran oleh instruktur.
  • Sumatif, merupakan asesmen yang digunakan  untuk  mengevaluasi  hasil belajar mahasiswa berdasarkan kriteria  tertentu. Meskipun tujuan  dari asesmen sumatif diarahkan  pada memberikan nilai pada  mahasiswa,  tetapi  informasi yang diperoleh juga dapat  digunakan untuk meningkatkan pembelajaran di perkuliahan berikutnya.

Proses Kognitif yang Diukur

Berdasarkan proses kognitif yang  diukur, asesmen hasil belajar dapat digolongkan dalam:

  • Asesmen Lower Order Thinking  (LOT)  yang  mengukur  proses-proses  kognitif seperti  mengingat,  memahami dan menerapkan baik dalam situasi yang sama maupun berbeda. Asesmen ini dapat  dilakukan di tiap pertemuan dengan menggunakan kuis online, sistem respon seperti PollEverywhere, dll.  Asesmen juga dapat dilakukan secara lebih umum dalam Ujian Tengah  Semester, Ujian Akhir Semester, dll.
  • Asesmen Higher Order Thinking (HOT)  yang  mengukur proses-proses kognitif seperti menganalisis, mengevaluasi dan berpikir kreatif. Di dalam tiap pertemuan, proses berpikir ini dapat  diases menggunakan diskusi kelas, debat, pembahasan kasus, dll. Sementara di akhir perkuliahan mahasiswa juga dapat diukur dengan menggunakan tugas menulis, presentasi poster, makalah, dll.

D. Rubrik

Rubrik  merupakan  alat  bantu untuk  melakukan  penilaian  yang  berisi daftar  elemen perkuliahan  yang akan  dinilai sekaligus gradasi  kualitasnya.  Elemen  perkuliahan  ini termasuk  di dalamnya  partisipasi  di kelas, perilaku  kerja sama tim,  kreativitas,  hasil tulisan,  dan karya atau  aktivitas  kelas lainnya.

1. Praktek Baik Penggunaan Rubrik

Penggunaan rubrik  secara efektif dapat  meningkatkan tidak  hanya  kualitas  penilaian tetapi  juga mendukung  proses pembelajaran. Berikut  adalah  beberapa  praktek baik dalam penggunaan rubrik:

  • Idealnya, satu rubrik digunakan untuk  menilai satu elemen perkuliahan. Namun demikian jika elemen perkuliahan memiliki kemiripan satu sama lain, dimungkinkan untuk  memiliki rubrik yang sama. Misalnya tugas-tugas kuliah yang mengukur proses kognitif yang sama dapat  memiliki rubrik  yang mirip.
  • Isi rubrik diinformasikan kepada mahasiswa. Informasi ini diberikan selain karena alasan transparansi, dapat meningkatkan motivasi belajar mahasiswa.
  • Tugas atau ujian diserahkan oleh mahasiswa  beserta penilaian mahasiswa terhadap karyanya  sendiri menggunakan rubrik.
  • Rubrik dapat digunakan secara praktis untuk memberikan penilaian dengan cara menandai, dengan lingkaran atau tanda centang, tingkat kualitas mana yang telah dicapai oleh mahasiswa.
  • Rubrik direview dan direvisi secara berkala untuk meningkatkan kesesuaian dengan tujuan asesmen.

2. Pengembangan Rubrik

Pengembangan rubrik  dapat  dilakukan  dengan menggunakan  dua pendekatan :

  • Top-Down. Instruktur menentukan kriteria penting dalam elemen serta tingkatannya didasarkan pada  silabus. Kemudian, gambaran detil kinerja dalam setiap kriteria penting dan nilai yang akan diperoleh mahasiswa ditentukan oleh dosen.
  • Bottom-Up. Pengembangan rubrik dilakukan  melalui tahap-tahap berikut:
    • Tugas mahasiswa dikumpulkan  oleh instruktur
    • Berdasarkan tugas-tugas tersebut, instruktur memilih beberapa tugas yang dapat dijadikan model yang mewakili kriteria sangat baik – baik – buruk – sangat buruk.
    • Dari model-model yang dipilih tersebut, instruktur mencari aspek-aspek penting dari tugas untuk diberi nilai
    • Instruktur menentukan gambaran dari kualitas terbaik dan terburuk dari setiap aspek yang telah ditemukan berdasarkan model. Kemudian instruktur menentukan gambaran dari kualitas yang berada di antara terbaik dan terburuk.
    • Instruktur mengujicobakan rubrik tersebut pada tugas-tugas mahasiswa lainnya.
    • Instruktur mereview dan merevisi rubrik.

Merancang Aktivitas di dalam Kelas

A. Tujuan

Aktivitas di dalam kelas merupakan kegiatan yang dilakukan setelah kegiatan di luar kelas. Hal ini menjadi sesuatu yang khas pada pembelajaran Flipped Classroom. Apa sebenarnya yang diinginkan dengan merubah susunan pembelajaran bahwa kegiatan di luar kelas dilaksanakan terlebih dahulu baru setelah itu diselenggarakan kegiatan di dalam kelas. Kegiatan di luar kelas difokuskan pada tingkat “Understanding and Remembering(Taxonomy Bloom) sedangkan kegiatan di dalam kelas kita diharapkan dapat meraih tingkat “Applying and Analyzing” (Taxonomy Bloom). Ketika kegiatan di luar kelas sudah dikerjakan, maka siswa akan datang ke kelas dengan “cangkir yang tidak kosong” tidak hanya “ yang menunggu diisi cangkirnya” oleh “teko” guru.  Oleh karena itu, di dalam kelas, guru dan siswa akan memiliki banyak waktu untuk berlatih secara praktik dan melakukan analisis untuk memperdalam materi tersebut.

Apa peran guru?

Pada model pembelajaran Flipped Learning, guru berperan lebih sebagai fasilitator kegiatan, guru akan memberikan bimbingan jika siswa mengalami kesulitan dalam melaksanakan kegiatan,

Apa peran siswa?

Pada model pembelajaran Flipped Learning, siswa diharapkan memiliki lebih banyak waktu untuk melakukan implementasi praktis dan melakukan analisa terhadap kasus dengan tujuan lebih memperdalam materi yang telah didapatkan di kegiatan luar kelas.

B. Aktivitas di dalam kelas

1. Merancang aktivitas di dalam kelas

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merancang aktivitas di dalam kelas :

  • Rancangan aktivitas di dalam kelas dapat disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai pada pertemuan tersebut
  • Kegiatan yang akan dilakukan harus disesuikan dengan jumlah siswa yang ada di kelas tersebut, jika siswa di dalam kelas terlampau banyak sebaiknya dibagi menjadi kelompok – kelompok kecil agar diskusi akan menjadi lebih efektif.
  • Hasil dari kegiatan sebelum kelas bisa menjadi bahan evaluasi dan menjadi modal untuk merancang kegiatan di dalam kelas

Contohnya:

Tema untuk matakuliah Sistem Digital hari ini adalah tentang studi kasus minimisasi aljabar Boolean dengan menggunakan K-Map. Tujuannya adalah agar mahasiswa mampu memahami menyelesaikan masalah minimisasi dengan menggunakan K-Map.

Aktivitas yang dilakukan adalah :

  • Saat awal perkuliahan, mahasiswa diberikan kuis singkat tentang minimisasi K-Map yang mirip dengan contoh soal yang sudah diberikan di materi kegiatan sebelum kelas. Tujuan dari kuis ini adalah untuk mengetahui pemetaan pemahaman mahasiswa terhadap materi.
  • Setelah melihat hasil dari tugas awal kita bisa memberikan sedikit tambahan mengenai gambaran materi dan meluruskan pemahaman konsep yang kurang sesuai.
  • Kegiatan berikutnya dilakukan praktik untuk mengimplementasikan konsep yang telah dipahami oleh siswa. Kegiatan ini harus melibatkan semua siswa secara aktif, bisa kegiatan individual atau kelompok. Pada kegiatan ini, guru bertindak sebagai fasilitator untuk para siswa yang sedang melakukan kegiatan. Guru memberikan studi kasus minimisasi K-Map dengan menggunakan variabel yang lengkap, berikutnya ditingkatkan levelnya dengan memberikan studi kasus dengan minimisasi K-Map dengan menggunakan variabel yang tidak lengkap dan don’t care condition. Pada kegiatan ini dosen bisa berkeliling untuk melihat progress dari tiap siswa, siswa didorong untuk menganalisis masalah tersebut dan mengimplementasikan metode / solusi dari materi teori yang telah dipelajari sebelumnya di kegiatan sebelum kelas.
  • Pada akhir perkuliahan, guru akan melakukan evaluasi untuk mengetahui pertambaham/penurunan pemahaman siswa dibandingkan dengan sebelum masuk kelas.

2. Jenis kegiatan yang bisa dilakukan

  • Diskusi

Diskusi bisa dilakukan di dalam kelompok kecil ataupun kelompok besar ( menurut jumlah), bisa dilakukan dengan metode Role Playing (dibagi menjadi 2 kelompok besar dan masing masing kelompok diberikan role yang berbeda harus mengutarakan argumen sesuai role yang diambil), bisa dilakukan dengan jigsaw method (tiap kelompok kecil wajib untuk memahami suatu topik tertentu, kemudian anggota masing masing kelompok akan dipecah dan dijadikan satu kelompok dengan anggota yang dari masing masing kelompok asal yang berbeda sehingga disana terjadi sharing antara masing masing anggota kelompok tentang topik yang dipahaminya).

  • Gallery Walk

Siswa dapat mempresentasikan karyanya yang telah dibuat pada saat kegiatan sebelum kelas. Setiap individu / kelompok (tergantung dari tugasnya individu atau kelompok) akan berjejer pada tempat yang telah disediakan (pengaturan tempat seperti pameran) dan mereka akan menjelaskan tentang karya yang dibuatnya berdasarkan topik tertentu kepada siswa lain yang mengunjungi tempat dan karya mereka

  • Studi Kasus

Siswa bisa secara individu ataupun kelompok diberikan suatu kasus untuk dianalisa masalah yang dihadapi dan diharapkan mampu menerapkan teori yang telah dipelajari untuk mencoba mencari solusi untuk kasus tersebut. Studi kasus dapat dibuat bertingkat mulai dengan tingkat kesulitan yang sama dengan contoh soal yang telah diberikan pada kegiatan di dalam kelas kemudian bisa meningkat dengan secara bertahap memodifikasi kasusnya agar tingkat kesulitan kasusnya lebih tinggi.

  • Praktik

Sebagai contoh pada matakuliah ilmu pasti, ada beberapa materi yang bisa dicobakan untuk praktik di dalam kelas. Ketika melaksanakan praktik pasti akan menemukan tantangan yang muncul pada saat belajar teori, siswa bisa berlatih untuk menjadi teliti dan pantang menyerah untuk mencari solusi dari masalah tersebut.

C. Contoh media yang dapat digunakan pada aktivitas di dalam kelas

Ada beberapa media yang dapat dimanfaatkan untuk membantu membuat pembelajaran di dalam kelas lebih menarik karena melibatkan partisipasi aktif mahasiswa secara interaktif.

1. Kahoot

img source: https://kahoot.com/

Kahoot merupakan media yang dapat digunakan di kuis awal. Bentuk pertanyaan yang dapat diakomodasi oleh Kahoot adalah pertanyaan pilihan berganda dan benar salah. Untuk menyusun pertanyaan dapat dilakukan di halaman website https://create.kahoot.it   sedangkan untuk memainkannya dapat dilakukan dengan mengakses website https://kahoot.it  melalui telepon genggam atau laptop anda.

2. Mentimeter

https://www.mentimeter.com/

Mentimeter merupakan media yang dapat digunakan untuk mengumpulkan opini mahasiswa, melakukan polling, pertanyaan pilihan berganda, menyusun wordcloud dari kata yang diketikkan oleh masing masing mahasiswa dan open-ended questions. Untuk dapat menyusun pertanyaan dapat dilakukan dengan mengakses https://www.mentimeter.com sedangkan untuk memainkannya dapat dilakukan dengan mengakses website https://www.menti.com

3. Padlet

https://id.padlet.com/

Padlet merupakan media yang dapat digunakan untuk mengumpulkan opini mahasiswa dan melakukan sesi tanya jawab. Dengan Padlet board, siswa akan bisa melihat opini dan jawaban dari teman lainnya serta memberikan reaksi  berupa like ataupun rating terhadap jawaban teman – teman lain. Untuk membuat pertanyaan pada Padlet dapat mengakses website https://padlet.com sedangkan untuk mengakses padlet dapat dilakukan dengan menggunakan sharing link pada padlet yang telah dibuat atau bisa juga menggunakan QR code yang dapat di-generate dari padlet yang anda buat.

4. Quizizz

https://quizizz.com/

Quizizz merupakan media yang secara cara penggunaan dan fungsinya mirip dengan kahoot yaitu berfokus pada model pertanyaan evaluasi pada level Taxonomy Bloom “Remembering dan Understanding”. Untuk quizziz juga bisa diatur untuk kegiatan di luar kelas karena dapat diatur sebagai pekerjaan rumah dan dapat kita lihat hasilnya untuk setiap siswa.

Merancang Aktivitas di Luar Kelas

FLIPPED CLASSROOM: PENGEMBANGAN FASILITASI AKTIVITAS LUAR KELAS MENGGUNAKAN SOFTWARE BANTU QUESTION MACHINE & MINDMASTER DI LMS MOODLE UNIVERSITAS SANATA DHARMA

Flipped Classroom merupakan metode pembelajaran yang bertujuan membalik metode tradisional, yang biasanya materi diberikan oleh pendidik di kelas dan peserta didik mengerjakan tugas di rumah, menjadi materi diberikan oleh pendidik di media luar kelas dan peserta didik mengerjakan tugas di dalam kelas. Dalam pembelajaran tradisional, peserta didik diajar materi pelajaran oleh pendidik di kelas (melalui ceramah atau penjelasan langsung dari pendidik, diskusi kelompok, atau membaca dan mengamati), kemudian mengerjakan tugas-tugas untuk penguatan di rumah (berupa PR). Dalam flipped classroom, peserta didik mempelajari materi pelajaran di rumah (melalui menonton video pembelajaran, membuat rangkuman, mencatat poin-poin penting, membuat pertanyaan, diskusi dengan teman secara online, dan atau membaca sumber-sumber referensi yang dibutuhkan). Aktivitas di dalam kelas difokuskan pada diskusi, praktik laboratorium, penjelasan terhadap konsep-konsep yang belum dipahami siswa, dimana aktivitas-aktivitas tersebut sifatnya untuk penguatan atau pendalaman. Secara garis besar, aktivitas ini dapat dilihat dalam gambar 1.

Gambar 1. Perbandingan aktivitas belajar Pemebelajaran Tradisional dengan Flipped Classroom

Sumber: https://www.researchgate.net/figure/Connection-between-Traditional-and-Flipped-Classroom-to-Blooms-Taxonomy_fig2_323900654

Apa tujuannya? Singkatnya flipped classroom bertujuan menghadirkan pembelajaran yang lebih menfokuskan pada pengembangan high order thinking, namun diawali dengan pengembangan low order thinking para peserta didik yang diupayakan sememadai mungkin. Seperti yang bisa dilihat pada gambar 1, low order thinking (dalam formulasi taksonomi belajar oleh Bloom) merupakan fondasi dasar seseorang melakukan analisis, evaluasi, dan menciptakan hal-hal baru (representasi high order thinking menurut taksonomi belajar Bloom). Dalam kajian pendidikan tinggi khususnya pendidikan level strata 1, kapasitas high order thinking ( selanjutnya disingkat HOTs) menjadi kapasitas yang harus dikuasai sehingga peserta didik kelak mampu berperan sebagai calon ilmuwan yang mampu mengurai pokok-pokok permasalahan dan menganalisisnya menggunakan perspektif beragam. Selain itu, peserta didik dapat memunculkan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang segar.

Kapasitas-kapasitas hasil belajar di level HOTs tadi tentunya harus dilandasi oleh penguasaan pengetahuan yang memadai, yang berada dalam level low order thinking (selanjutnya disebut LOTs). Apa ukurannya? (1) mampu mengingat berbagai pengetahuan dasar seperti definisi, rumus, teori, dan asumsi dasar (kapasitas remembering), (2) memahami relasi antar berbagai pengetahuan dasar sebagai jejaring pengetahuan (kapasitas understanding), (3) mampu mengimplementasikan berbagai pengetahuan dasar dan jejaring pengetahuan dalam berbagai situasi dan kondisi yang umumnya dikenai pengetahuan dasar dan jejaring pengetahuan tersebut (kapasitas applying). Situasi ini dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Kapasitas-kapasitas hasil belajar di level LOTs

Sumber: https://www.krausanderson.com/wp-content/uploads/2016/09/Bloom.jpg

Pendidik yang menerapkan flipped learning dituntut menghadirkan pengalaman-pengalaman luar kelas yang relevan untuk membentuk LOTs, sehingga perserta didik memiliki prasyarat yang memadai untuk mengembangkan HOTs-nya di dalam aktivitas dalam kelas. Bagaimana caranya? Pendidik pada masa kini dapat memanfaatkan berbagai fasilitas learning management system (LMS) seperti google classroom, moodle, dan lainnya. Khusus pendidik di Universitas Sanata Dharma, LMS berbasis moodle sudah tersedia dan dapat diakses di website belajar.usd.id. Penulis sendiri punya pengalaman mengimplementasikan flipped classroom, dan membagikannya melalui tulisan ini.

Pengalaman penulis sebagai dosen menerapkan flipped classroom atau flipped learning khususnya terkait fokus tulisan ini mengenai pembelajaran luar kelas dilandasi oleh pengalaman mengajar penulis yang sering menemui ada hambatan membangun kapasitas level HOTs jika menggunakan pendekatan pembelajaran tradisional. Mahasiswa sebagai peserta didik seringkali kurang tergerak untuk mempelajari sendiri materi pengetahuan dasar, jejaring pengetahuan dasar, dan aplikasinya. Hal ini menjadi hambatan tersendiri ketika mengembangkan HOTs yang menuntut mahasiswa sudah menguasai lewat fasilitasi pembelajaran dalam kelas (oleh pendidik lewat media lekturet tatap muka) dan penugasan membaca literatur dan atau menyimak sumber-sumber pembelajaran audio-visual (oleh peserta didik secara mandiri). Analisis, evaluasi, dan penciptaan alternatif-alternatif yang segar seringkali menjadi kurang maksimal akibat kurangnya bekal LOTs dari mahasiswa. Penulis menilai bahwa perlu ada pengalaman-mencari-sendiri-namun-terfasilitasi.

Pertanyaan selanjutnya; bagaimana menghadirkan pengalaman-mencari-sendiri-namun-terfasilitasi dalam konteks pengembangan LOTs? Kata kunci yang ditemukan penulis adalah “mengkondisikan”. Pengkondisian yang dimaksud adalah mengkondisikan mahasiswa untuk mempelajari berbagai bahan pembelajaran, memahami konstruksi jejaring antar pengetahuan hasil pembelajaran, dan cara mengaplikasikannya secara umum sesuai literatur yang dipelajari. Situasi menghadirkan concept exploration (lihat gambar 3) pada para mahasiswa secara mandiri melalui berbagai media yang relevan namun tertuntun melalui fasilitasi berbagai pendekatan yang relevan.

Dalam bentuk apa dan bagaimana fasilitas dengan pendekatan relevan tersebut? Penulis menimbang paling tidak ada 3 (tiga) fasilitas yang dinilai relevan dan harus disediakan, yaitu (1) bahan, (2) alat bantu, (3) evaluasi. Penyediaan bahan pembelajaran terstruktur dengan fasilitasi mind map dinilai penulis tepat diterapkan untuk kebutuhan ini. Mind map berisi topik pembelajaran beserta pengetahuan dasar dan jejaring pengetahuan disertai rujukan referensinya diharapkan memberikan pengkondisian yang relevan bagi seorang mahasiswa. Penulis menimbang bahwa ada unsur literasi yang kurang optimal pada para mahasiswa. Penulis menimbang itu dan mengkondisikan mahasiswa untuk merasa tertuntut melengkapi suatu mind map yang sengaja dikosongkan pada definisi, rumus, asumsi dasar, dan jejaring antar pengetahuan dasar, serta aplikasinya menurut literatur yang sudah ditunjuk atau diwajibkan. Pengkondisian tuntutan ini dalam bentuk penugasan melengkapi mind map topik pembelajaran yang sengaja dirumpangkan. Penugasan bersifat wajib dan merupakan bagian dari penilaian formatif mahasiswa, pada akhirnya mendorong mahasiswa mau menyimak hingga detil. Fasilitasi menggunakan belajar.usd.ac.id yang dilakukan penulis adalah menyediakan mind map yang rumpang tadi, lalu meminta mahasiswa men-download-nya lalu mengerjakannya. Di situasi ini, penggunaan alat bantu yang mudah digunakan dan (mungkin akan lebih baik) freeware namun masih bisa menfasilitasi proses pembelajaran LOTs secara optimal menjadi pertimbangan paling penting. Penulis menggunakan freeware berupa Edraw Mindmaster yang mudah dikelola oleh mahasiswa, bahkan memungkinkan mahasiswa mengembangkan mind map mereka sesuai selera dan keinginan mereka. Penulis sebagai dosen memberikan rubrik penilaian yang merujuk pada pemenuhan spesifikasi tugas minimal, rata-rata, dan maksimal tugas. Setiap spesifikasi tugas (minimal, rata-rata, maksimal) dalam pemenuhannya akan mendapatkan harga poinnya masing-masing. Rubrik penilaian ini diharapkan menjadi motivator bagi mahasiswa untuk mencapai hasil sesuai target yang mereka inginkan.

Belajar tanpa tahu hasil belajarnya, tentunya akan berpeluang menurunkan motivasi belajar. Penulis menimbang hal tersebut memberikan fasilitas lain di luar kelas, yaitu semacam latihan hasil belajar mandiri (atau jika di sekolah disebut sebagai Lembar Kerja Siswa (LKS)). Penulis dalam menyediakan LKS untuk mahasiswa menggunakan fasilitas quiz pada belajar.usd.ac.id. Bagaimana pengembangan dan manajemen soalnya? Penulis menimbang bahwa akan ada 2 (dua) tipe pembelajar, yaitu (1) belajar bahannya baru kerjakan LKS, (2) kerjakan LKS lalu berharap bahwa pada keberuntungan. Tipe pertama bisa disebut tipe yang ideal, dimana ketika seorang mahasiswa mendapati dirinya belum optimal (berdasarkan poin minimal LKS yang harus dicapai) maka Ia akan belajar lagi baru mengerjakan kembali. Tipe kedua bisa disebut tipe kiurang ideal, karena ketika mahasiswa mendapati dirinya tidak optimal, maka Ia akan terus saja menggunakan kesempatan mengerjakan LKS hingga mendapat poin minimal yang dituntut. Penulis menimbang situasi tersebut menilai perlunya menyediakan fasilitas LKS yang bisa menfasilitasi kedua tipe mahasiswa tersebut. Caranya? LKS yang bisa diakses menggunakan belajar.usd.ac.id dimana setiap soal mampu mewakili target level LOTs yang hendak dicapai. Bagi tipe mahasiswa pertama, Ia akan mendapatkan evaluasi utuh mengenai kapasitas dirinya. Bagi tipe mahasiswa kedua, Ia meskipun tidak membaca namun dari setiap soal yang Ia kerjakan Ia akan mempelajari poin-poin kebenaran dan kesalahan yang secara tidak sadar akan diinternalisasi sebagai pengetahuan dasar, jejaring pengetahuan, dan aplikasinya. Tantangan dalam membuat hal ini adalah menyediakan question bank yang memiliki kategori sesuai target pengetahuan dasar, jejaring pengetahuan, dan aplikasinya yang hendak menjadi target penguasaan LOTs. Pengembangan soal menggunakan freeware berupa question machine menurut pengalaman peneliti sangat membantu untuk mencapai tujuan tersebut. Pembuat soal (dalam format .xml) akan dikondisikan membuat kategori-kategori soal, sehingga ketika paket soal tersebut di upload ke belajar.usd.ac.id, memudahkan untuk mengelola penyusunan LKS.

Merancang Flipped Classroom

Pengantar

Setelah kita memahami konsep mengenai flipped classroom, hal penting berikutnya yang harus kita ketahui adalah bagaimana flipped classroom dirancang. Dengan perencanaan yang matang, implementasi model di kelas akan lebih lancar. Namun, sebelum kita membahas perancangan, yuk kita review kembali beberapa hal mendasar mengenai flipped classroom.

Hal mendasar pertama yang harus senantiasa kita ingat sebagai pendidik adalah untuk menghasilkan pembelajaran yang bermakna, artinya para peserta didik haru dilibat-aktifkan. Pembelajaran terjadi ketika (maha)siswa terlibat, baik secara sikap, afeksi, sosial, dan kognitif. Artinya, semua aktivitas di kelas mestinya dapat mengakomodasi (maha)siswa untuk meningkatkan engagement atau keterlibatan mereka. Akibatnya, pandangan bahwa guru adalah satu-satunya sumber informasi tentu sudah tidak relevan lagi untuk kaum milenial. Saat ini informasi dengan sangat mudah dapat diakses dalam hitungan detik. Tentunya siapapun dapat dengan cepat menemukan data/fakta/info yang diinginkan. Lalu bagaimana peran kita sebagai guru/dosen? Peran kita bukan lagi menjadi knowledge transmitter , namun lebih berperan memfasilitasi pembelajaran terjadi dengan menstimulasi siswa dalam memilah dan mengolah informasi yang ada.

Aspek lain yang penting terkait dengan flipped classroom adalah peran teknologi dalam pembelajaran. Tidak bisa kita pungkiri lagi bahwa teknologi menawarkan banyak kemudahan dalam pendidikan sehingga pembelajaran menjadi lebih fleksibel dan tak terbatas ruang dan waktu. Namun, perlu digarisbawahi bahwa teknologi hanyalah alat bantu. Yang terpenting tentunya tetap pegagogi, atau bagaimana seorang guru/dosen melaksanakan pembelajaran. Menghadirkan teknologi dalam pembelajaran tentunya tidak otomatis membuat kualitas pembelajaran lebih baik. Tanpa pedagogi yang tepat, teknologi pembelajaran justru akan menjadi distraksi dalam mencapai tujuan pembelajaran. Nah itulah beberapa poin yang perlu untuk selalu dirujuk dalam merancang flipped classroom.

Struktur Flipped Classroom

Seperti halnya kelas tradisional, dalam flipped classroom, ada 3 struktur sederhana yang dapat diikuti, yaitu presentasi materi, latihan dan tugas. Namun, yang membedakan adalah dimana dan bagaimana tahapan itu terjadi.

Tahapan Kelas Tradisional

Flipped Classroom

Presentasi Di dalam kelas Di luar kelas (sebelum pertemuan)
Latihan Di dalam kelas Di dalam kelas
Tugas Di luar kelas Di luar kelas

Gambar di bawah ini merupakan ilustrasi bagaimana kegiatan pembelajaran dalam flipped classroom terjadi untuk meningkatkan competence, conscience dan compassion.

Image adapted from http://www.ies-modesto-navarro.es/european_section/8_flipped/flipped_class.gif

Pemilihan Mata Kuliah/Kelas

Flipped classroom paling efektif jika diimplementasikan dalam mata kuliah dimana terdapat banyak konsesp yang mungkin membingungkan bagi mahasiwa. Bisa juga kita memilih mata kuliah yang mengajarkan hal-hal prinsip yang fundamental menurut budang keilmuan. Selain itu, flipped classroom juga sangat membantu jika kita mengajar mata kuliah yang cakupannya sangat luas.

Langkah pertama: Menentukan tujuan pembelajaran

Beberapa hal perlu kita pikirkan dalam menentukan tujuan pembelajaran. Penentuan tujuan pembelajaran sangat penting karena segala rancangan aktivitas akan bermuara kepada pencapaian tujuan pembelajaran.

  1. Fokuslah paada tujuan pembelajaran yang spesifik untuk pertemuan tertentu.
  2. Pastikan bahwa tujuan pembelajaran sejalan dengan learning outcomes atau capaian pembelajaran Mata Kuliah tersebut.
  3. Tujuan pembelajaran haruslah dapat diukur dan mengikuti prinsip SMART (Specific, Measurable, Achievable & Realistic, serta Timebound).
  • Specific/spesifik: siapa, apa, kapan dan dalam kondisi apa.
  • Measurable/dapat diukur: perilaku/tindakan yang dapat diamati/diukur
  • Achievable & Realistic/realistis: tidak terlalu ambisius
  • Time-bound: terbatas waktu
  1. Tujuan pembelajaran fokusnya tidak hanya pada kompetensi, namun juga pada conscience dan compassion.

Berikut adalah beberapa hal yang perlu dipertimbangakan dalam mendesain aktivitas sebelum kelas, saat kelas berlangsung dan setelah kelas berlangsung.

Untuk membantu Anda dalam merancang kelas pembelajaran flipped, silahkan download template ini.

Konsep Dasar Metode Flipped Classroom

Pendahuluan

Belajar adalah tentang bagaimana menciptakan pengalaman bermakna bagi peserta didik untuk dapat menimba ilmu. Menciptakan pengalaman bermakna meliputi tiga hal, yaitu (1) menciptakan ekosistem untuk mau belajar, (2) menciptakan pengalaman yang kontekstual, (3) menciptakan rasa keingintahuan yang besar (curiousity). Dalam menunjang hal tersebut, maka metode pengajaran harus diselarakan dengan generasi yang dihadapi saat ini, yang dikenal dengan istilah Generasi Z. yaitu mereka yang lahir di atas tahun 1995 (Subandowo 2017).

Generasi Z merupakan generasi yang menyaksikan periode kemakmuran ekonomi yang tidak setara dengan generasi masa lalu mereka. Perubahan besar telah terjadi dalam kesetaraan gender, transformasi baru dalam rasio ketergantungan dan, struktur kelas sosial yang sedang berubah (Tung and Comeau, 2014). Generasi ini sangat dekat dengan teknologi dan secara usia sedang mempersiapkan diri memasuki dunia kerja, yaitu dengan menempuh proses belajar pada tingkat Perguruan Tinggi atau bahkan ada yang sudah bekerja sebagai pekerja junior. Menyikapi karakterstik generasi Z, yang merupakan usia para mahasiswa saat ini, maka menjadi pengajar di era sekarang dituntut untuk tidak hanya memiliki PCK (Pedagogical Content Knowledge) yaitu konsep yang pertama kali dikenalkan oleh Shulman (1986) sebagai acuan pengetahuan dan skill dasar yang harus dimiliki oleh seorang pengajar. Namun, selain PCK, dibutuhkan juga satu aspek tambahan yaitu technological knowledge. Hal tersebut sedikit mengubah konsep PCK menjadi TPACK (Technology Pedagogical Content Knowledge) seperti digambarkan pada Gambar 1 berikut (Mishra and Koehler, 2006).

Definisi masing-masing komponen pada TPACK dijelaskan pada Tabel 1 berikut

Aspek penggunaan teknologi menjadi hal mendasar yang perlu diperhatikan oleh pengajar di era sekarang, namun itu bukanlah segalanya, teknologi merupakan alat yang dapat dimanfaatkan untuk menciptakan pengalaman bermakna dalam proses belajar mengajar. Hal tersebut dapat dilaksanakan dengan menerapkan konsep flipped classroom. Menurut Bergmann & Sam (2012) metode flipped classroom adalah pendekatan pedagogis inovatif yang berfokus pada pengajaran yang berpusat pada peserta didik dengan membalik sistem pembelajaran kelas tradisional yang selama ini dilakukan oleh pengajar. Metode flipped classroom ini memang memiliki banyak manfaat (McLaughlin et al, 2014), seperti mahasiswa akan memiliki opini positif dan terbuka pada pengetahuan baru, lebih aktif, lebih mandiri dan kreatif serta lebih kritis menyikapi permasalahan kasus tertentu.

Konsep implementasi metode Flipped Classroom

Flipped Classroom adalah bentuk pembelajaran blended (melalui interaksi tatap muka dan virtual/online) yang menggabungkan pembelajaran sinkron (synchronous) dengan pembelajaran mandiri yang askinkron (asynchronous). Pembelajaran sinkron biasanya terjadi secara real time di kelas. Peserta didik berinteraksi dengan seorang pengajar dan teman sekelas serta menerima umpan balik pada saat yang sama. Sedangkan, pembelajaran asinkron adalah pembelajaran yang sifatnya lebih mandiri. Konten biasanya diakses melalui beberapa bentuk media pada platform digital. Peserta didik dapat memilih kapan mereka belajar dan juga mereka dapat mengajukan pertanyaan di kolom komentar, serta berbagi ide atau pemahaman mereka tentang sebuah materi dengan penngajar atau teman sekelas. Sedangkan, umpan balik akan diterima mereka tidak pada saat yang sama.

Video adalah media yang sering digunakan sebagai input untuk belajar mandiri karena dapat diakses dan memungkinkan siswa untuk berhenti dan menonton kembali konten sesuai kebutuhan. Teks dan audio juga dapat digunakan sebagai konten untuk menyampaikan materi dan memastikan siswa sepenuhnya siap untuk kelas sinkron. Berikut adalah gambaran konsep pelaksanaan flipped classroom.

Gambar 2. Konsep pelaksanaan Flipped Classroom (sumber: literasidigital.com)

Metode flipped classroom, dibagi menjadi tiga kegiatan yaitu, sebelum kelas dimulai (pre-class), saat kelas dimulai (in-class) dan setelah kelas berakhir (out of class). Sebelum kelas dimulai, peserta didik sudah mempelajari materi yang akan dibahas, dalam tahap ini kemampuan yang diharapkan dimilki oleh peserta didik adalah mengingat (remembering) dan mengerti (understanding) materi. Dengan demikian pada saat kelas dimulai peserta didik dapat mengaplikasikan (applying) dan menganalisis (analyzing) materi melalui berbagai kegiatan interaktif di dalam kelas, yang kemudian dilanjutkan dengan mengevaluasi (evaluating) dan mengerjakan tugas berbasis project tertentu sebagai kegiatan setelah kelas berakhir (creating).

Rangkaian proses di atas merupakan kaitan flipped classroom dengan Bloom’s Taxonomy yang dijelaskan pada Gambar 3 di bawah ini. Terdapat beberapa bagian yaitu Remembering, Understanding, Applying, Analyzing, Evaluating and Creating yang terbagi pada tiga kegiatan yaitu sebelum, pada saat dan sesudah kelas.

Gambar 3. Hubungan Bloom’s Taxonomy dan Flipped Classroom

Manfaat dan tantangan metode Flipped Classroom

Metode flipped classroom membawa dampak yang terasa bagi pengajar maupun peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung. Terdapat beberapa manfaat yang ditawarkan oleh metode Flipped Classroom ini. Berikut adalah beberapa manfaat dari metode ini:

1. Mengubah peran pengajar dan peserta didik

Salah satu manfaat utama dari metode flipped classroom adalah memberi peserta didik lebih banyak tanggung jawab untuk pembelajaran mereka sendiri. Di luar kelas, peserta didik dapat belajar secara mandiri sesuai dengan kemampuan mereka sendiri untuk dapat menyerap ilmu. Mereka dapat mengatur waktu ataupun tempat yang paling nyaman untuk mereka belajar. Mereka juga dapat mengulang apabila ada materi yang masih mereka belum pahami. Oleh sebab itu pembelajaran menjadi lebih berpusat pada peserta didik (students-centered learning). Selain itu, flipped classroom memungkinkan pengajar untuk mendedikasikan lebih banyak waktu di kelas untuk kegiatan pembelajaran yang menarik dan interaktif atau proyek yang sifatnya lebih menekankan pada praktik.

2. Pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing peserta didik

Dengan lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk praktik di kelas kegiatan proyek, pengajar memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengamati siswa mereka dalam memahami suatu materi, serta dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan mereka. Pada kelas tradisional, fokus pengajar akan berpusat pada peserta didik yang aktif dan selalu merespon pertanyaan pengajar. Sedangkan, mereka yang pasif dan kurang memahami materi akan sulit mengejar ketertinggalan. Pada metode flipped classroom, pengajar akan lebih fokus pada peserta didik yang mengalami kesulitan sedangkan peserta didik yang dapat menerapkan materi dengan baik diminta untuk bekerja secara mandiri atau membantu temannya yang masih mengalami kesulitan dalam memahami materi atau diesebut juga sebagai peer-tutoring. Hal ini dapat memastikan pelajaran dipersonalisasi dan tugas dibedakan untuk setiap peserta didik.

3. Peserta didik memiliki kepercayaan diri dan keterlibatan dalam pembelajaran lebih tinggi

Peserta didik lebih banyak mengambil tanggung jawab untuk pembelajaran mereka sendiri, sehingga mereka dapat mengembangkan keterampilan belajar individual yang lebih efektif. Ketika menghadapi suatu masalah dalam proses belajar, mereka harus mencari solusi dan menyelesaikan masalah tersebut secara independen. Kemandirian ini dapat menyebabkan peningkatan kepercayaan diri di kelas yang dapat berdampak positif pada tingkat keterlibatan peserta didik yang lebih tinggi (higher level of engagement).

Selain terdapat manfaat, tentu saja ada juga tantangan yang mungkin akan dihadapi oleh pengajar maupun peserta didik. Berikut adalah beberapa tantangan tersebut:

1. Ketika motivasi dan pengaturan diri (self-regulation) peserta didik masih rendah

Ketika terjadi suatu perubahan, tentu saja kita harus mengalami penyesuaian terhadap perubahan tersebut. Peserta didik akan membutuhkan dukungan untuk dapat melakukan penyesuaian terhadap konsep pembelajaran flipped classroom ini, karena konsep ini memerlukan tingkat motivasi dan pengaturan diri (self-regulation) yang tinggi. Mereka yang sudah terbiasa dengan konsep pembelajaran konvensional ketika mereka berada di tingkat pendidikan sebelumnya akan mengalami sedikit hambatan ketika menerapkan konsep flipped classroom. Sehingga, penyesuaian tersebut harus didampingi dan diarahkan oleh pengajar.

2. Diperlukan adanya kemampuan mengelola waktu yang baik

Pengajar dapat memberikan tips manajemen waktu untuk membantu peserta didik dalam mengalokasikan waktu yang cukup untuk mengerjakan tugas pra-kelas. Pengajar tidak dapat mengasumsikan bahwa setiap peserta didik datang ke kelas dengan kondisi sepenuhnya siap dengan materi yang akan dibahas. Pengajar harus melakukan tinjauan ulang sejauh mana mereka memahami materi yang sudah diunggah pada platform digital misalnya dengan menggunakan kuis pada awal perkuliahan tatap muka. Karena kemampuan setiap peserta didik berbeda satu dengan yang lainnya, pengajar perlu untuk memastikan bahwa materi yang diberikan cukup baik sehingga semua peserta didik memperoleh pengetahuan yang mereka butuhkan untuk menyelesaikan tugas aktif di kelas. Peserta didik, pada akhirnya, akan menyadari manfaat dari kegiatan pra-kelas.

3. Pengenalan tenaga pengajar dengan teknologi

Peran teknologi dalam metode flipped classroom ini sangat besar, sehingga pengajar diharapkan mampu untuk mengimplementasikan penggunaan teknologi dengan baik, misalnya mengelola kelas online di sistem manajemen pembelajaran (LMS), memberikan kuis online, memilih atau membuat materi pembelajaran yang menarik, serta menyunting video sehingga pelatihan dan dukungan lebih lanjut oleh institusi mungkin diperlukan saat mereka bereksperimen dengan pendekatan baru ini. Waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkan suatu materi juga lebih banyak, namun hal tersebut dapat dianggap sebagai investasi karena pada angkatan selanjutnya apabila pengajar  tersrbut mengajarkan materi yang sama, mereka tidak perlu memproduksi media tersebut kembali, melainkan menggunakan materi yang sudah ada di ‘bank materi’ mereka.

4. Memastikan peserta didik aktif pada pembelajaran di luar kelas

Pengajar harus dapat memonitor siswa selama tahap persiapan asinkron untuk mengukur apakah mereka dapat mengatasi tugas-tugas yang berorientasi praktik di kelas nantinya. Untuk dapat melakukan ini, pengajar mungkin perlu memberikan waktu ekstra untuk mengakses sistem manajemen pembelajaran (LMS) sehingga mereka dapat tetap mengikuti perkembangan peserta didiknya. Rancanglah tugas yang dapat melibatkan peserta didik secara aktif dan membimbing mereka menuju hasil pembelajaran (learning outcomes). Hal ini dilakukan untuk memonitor pemahaman seperti misalnya tugas membuat catatan (note-taking), atau membuat forum untuk memungkinkan adanya diskusi seputar materi. Dalam pendekatan ini, fasilitas internet juga menjadi hal yang esensial dan wajib ada. Sehingga, peserta didik harus memiliki akses untuk dapat terkoneksi dengan internet.

Hubungan Flipped Classroom dengan pelaksanaan 3C di Sanata Dharma

Pelaksanaan metode flipped learning yang dikaitkan pada bloom taxonomy dalam proses pengajaran di kelas merupakan salah satu bentuk implementasi Pedagogi Ignasian yang dijiwai oleh Universitas Sanata Dharma. Gambar 3 merupakan perwujudan Pedagogi Ignasian untuk menciptakan 3C (Competence, Concience dan Compassion). Kontekstual dihadirkan melalui pengalaman belajar yang meliputi aksi nyata dan refleksi untuk kemudian mengevaluasi sebagai bentuk perbaikan berkelanjutan.

Proses tersebut dapat dilaksanakan melalui strategi pembelajaran yang aktif, yang harapannya dapat mencapai penguasaan aspek ilmu pengetahuan (competence), pemahaman mengenai etika dan kemandirian (concience), dan kesadaran akan empati terhadap orang lain (compassion). Pedagodi reflektif akan memberikan kontribusi pada pengembangan proses pembelajaran secara holistik masing-masing mahasiswa melalui pengembangan competence, concience, dan compassion (Kristanti, 2016).

Metode flipped learning yang berfokus pada peserta didik inilah, penerapan pedagodi reflektif dapat mencapai siklus pembelajaran dalam skala konsep hingga evaluasi. Pengajar perlu memberikan ruang dan kesempatan kepada mahasiswa untuk secara penuh terlibat dalam proses pembelajaran dengan memberikan kepercayaan dan tanggung jawab pembelajaran yang dilengkapi dengan pendekatan yang tepat dan pemantauan terstruktur, mengarah pada pengembangan yang lebih menyeluruh (Kristanti, 2016). Cura personalis dapat dicapai dengan kesuksesan metode ini dimana pengajar dapat lebih berinteraksi dengan peserta didik dan dapat lebih mengenal mereka secara personal.

Gambar 4. Siklus Pedagogi Ignasian

 

Pada akhirnya, keseluruhan proses ini merupakan salah satu bentuk implementasi Pedagogi Ignasian yang merupakan dasar dalam segala kegiatan yang dilaksanakan di lingkungan Universitas Sanata Dharma, berawal dari kontekstual, pengalaman, aksi, refleksi untuk kemudian dilaksanakan evaluasi sebagai bentuk perbaikan berkelanjutan. Pelaksanaan metode flipped classroom dirancang sedemikian rupa untuk mewujudkan nilai-nilai yang dihidupi yaitu 3C (Competence, Concience dan Compassion). Diharapkan pula pelaksanann program ini sungguh dapat mengintegrasikan nilai-nilai akademik dan nilai humanis, maka terwujudnya generasi yang cerdas dan humanis yang menjadi slogan Universitas Sanata Dharma. (Mega Wulandari, S.Pd., M.Hum.)

Daftar Pustaka

Bergmann, J & Sams A (2012) Flip your classroom: talk to every student in every class every day. International Society for Technology in Education.

Garrison, D. R., Anderson, T., & Archer, W. (1999). Critical inquiry in a text-based environment: Computer conferencing in higher education. The internet and higher education, 2(2-3), 87-105.

Koehler, M., & Mishra, P. (2009). What is technological pedagogical content knowledge (TPACK)?. Contemporary issues in technology and teacher education, 9(1), 60-70.

Kristanti, F. (2016). Process-Based Learning And Reflection Journal To Promote Learners’autonomy In Stylistic Writing Class. Leksika: Jurnal Bahasa, Sastra dan Pengajarannya, 10(1).

McLaughlin, J. E., Roth, M. T., Glatt, D. M., Gharkholonarehe, N., Davidson, C. A., Griffin, L. M., Mumper, R. J. (2014). The flipped classroom: A course redesign to foster learning and engagement in a health professions school. Academic Medicine, 89(2), 236-243.

Network, F. L. (2014). What is flipped learning? The four pillars of FLIP. Flipped Learning Network, 501 (c), 2.

Shulman, L.S. (1986). Those who understand: Knowledge growth in teaching. Educational Researcher, 15, 4-14.

Subandowo, M. (2017). Peradaban Dan Produktivitas Dalam Perspektif Bonus Demografi Serta Generasi Y Dan Z. Sosiohumanika: Jurnal Pendidikan Sains Sosial Dan Kemanusiaan, 10(November):191–208.

Tung, Lai Cheng and Jean Dennis Comeau. 2014. “Demographic Transformation in Defining Malaysian Generations: The Seekers (Pencari), The Buiders (Pembina), The Developers (Pemaju), and Generation Z (Generasi Z).” International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences 4(4):383–403.