PROFILE

Sejarah

Fakultas Teologi Wedabhakti –
Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma:
Rumah Formasi Intelektual Klerus Bumiputera
 
 
Model Baru dalam Bermisi

Berdirinya Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma dan Fakultas Teologi Kepausan Wedabhakti tidak bisa dilepaskan dari peran Mgr. Paulus Willekens dan Mgr. A. Soegijapranata, SJ. Merekalah yang berjasa merawat iman umat selama masa sulit, yaitu masa pendudukan Jepang dan masa perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Mereka juga sungguh menyadari kebutuhan akan adanya imam pribumi yang mengenal budaya setempat, menguasai bahasa setempat dan sungguh berakar pada budaya setempat.

Perkembangan Gereja yang begitu cepat di wilayah Indonesia juga merupakan hasil kerja keras dari para misionaris asing. Mereka berusaha menanamkan dan mengakarkan iman Katolik di bumi Indonesia ini. Dalam perjalanan waktu, ada peralihan bentuk misi dari “mengirim dan menerima” ke model Kristianitas yang saling terkait dan memiliki hubungan kolaboratif global[1]. Model misi “mengirim dan menerima” mengandaikan adanya mayoritas dan minoritas, pengirim dan penerima. Model ini tidak lagi banyak bermanfaat ketika bertatapan dengan tegangan di dalam pluralitas budaya, bahasa dan agama yang ada. Mgr. Soegijapranata mengungkapkan betapa pentingnya untuk membangun kesatuan hirarki lokal yang otonom[2]. Cara menghidupkan Gereja tanah misi, yang tetap berada dalam kesatuan dengan Gereja universal, dengan tenaga imam pribumi inilah yang dirasa paling cocok. Memang dibutuhkan usaha, tenaga, waktu dan biaya yang besar. Tetapi itu semua pada akhirnya menghasilkan buah-buah yang manis bagi perkembangan misi dan iman Katolik.

Perjalanan Baru Gereja Misi

Perkembangan teknologi dan kesadaran akan luasnya dunia ini mendorong semakin banyaknya ekspedisi entah karena tuntutan ekonomi ataupun sekadar petualangan. Orang sadar bahwa dunia itu lebih luas dari sekadar wilayah Eropa. Kendati demikian, Gereja Katolik memang masih cenderung memandang yang non-Eropa sebagai pihak yang lebih rendah. Surat Apostolik Ad Extremas yang ditulis oleh Paus Leo XIII pada tahun 1893 dan Maximum Illud yang ditulis oleh Paus Benediktus XV pada tahun 1919 menunjukkan bahwa Gereja universal mulai menghargai budaya lokal, mulai mendorong penggunaan bahasa setempat dan mulai mendorong tersedianya imam-imam pribumi. Ketersediaan imam-imam lokal adalah situasi yang ideal terjadi, karena merekalah yang mengenal budaya dan bahasa setempat, yang sungguh mengakar dan hidup tumbuh dalam selimut budaya setempat.[3]

Kedua surat apostolik inilah yang sekiranya juga sudah didalami oleh Mgr. Willekens sejak pengangkatannya menjadi Visitator Regularis Yesuit untuk misi di Jawa pada tahun 1927, hingga dibenumnya menjadi Vikaris Apostolik Batavia pada tahun 1934. Sejak masa awal pelayanannya, Mgr. Willekens telah memiliki perhatian kepada pembangunan kehidupan rohani umat. Salah satu cara mewujudkannya adalah dengan menyediakan tenaga pelayan rohani pribumi melalui pendirian Seminari Tinggi St. Paulus, pendirian Kongregasi Suster Abdi Dalem Sang Kristus dan pengesahan Kongregasi Bruder Apostolik (Bruder Rasul). Ia juga mengusahakan berkembangnya sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakit.[4]

Pada tanggal 1 Maret 1940, Mgr. P. Willekens mengusulkan pembentukan Vikariat Apostolik yang baru, yaitu membagi Vikariat Apostolik Batavia menjadi dua bagian: Vikariat Apostolik Batavia sendiri dan Vikariat Apostolik Semarang. Alasannya adalah karena banyaknya jumlah umat di Vikariat Apostolik Batavia, jauhnya jarak antara dua tempat tersebut dan Batavia menjadi kota “markas” dari segala misi. Pada tanggal 1 Agustus 1940, Paus Pius XII memilih Mgr. Soegijapranata, SJ menjadi Vikariat Apostolik Batavia. Pemilihan tersebut menjadi menunjukkan perhatian Paus Pius XII pada misi dan Gereja lokal.[5]

Mgr. WIllekens mengalami masa-masa penggembalaan yang berat karena adanya pendudukan Jepang di Indonesia antara tahun 1942 sampai 1945. Jepang berusaha menghapuskan pengaruh asing dengan cara menginternir orang-orang asing. Semua pastor Eropa di Vikariat Batavia diinternir. Mgr. Willekens dan Pater C. Doumen, SJ yang menjadi sekretarisnya tidak ikut diinternir karena adanya hubungan diplomatik antara Vatikan dengan Jepang. Bersama dengan Mgr. Soegijapranata, ia menunjukkan pada Jepang bahwa Gereja Katolik Roma memiliki perwakilan diplomatik di Tokyo. Gereja Katolik diakui oleh Kekaisaran Jepang, maka Gereja Katolik Indonesia tidak perlu meminta pengakuan dari pihak penguasa Jepang. Mgr. Willekens dan Mgr. Soegijapranata menghadapi penguasa Jepang sebagai perwakilan Paus Pius XII yang bertakhta di Roma.[6] Setelah Jepang menyerah dan meninggalkan Indonesia, mereka mulai membenahi keadaan yang rusak karena peperangan.

Menjelang kemerdekaan dan paska kemerdekaan, jumlah misionaris asing di Indonesia mulai dibatasi oleh pemerintah. Pada tahun 1953, Kementrian Agama melarang para misionaris asing untuk datang ke Indonesia. Peraturan tersebut dipoles sedemikian rupa sehingga hanya misionaris Belandalah yang tidak diperkenankan masuk ke Indonesia. Tahun 1956, ada peraturan pemerintah yang menghalangi para misionaris untuk datang ke Indonesia. Pembangunan hirarki setempat dengan segala perangkatnya menjadi kebutuhan yang mendesak. Orang-orang muda pun didorong untuk bergabung dalam hidup religius dan imamat.[7]

Pendidikan Klerus Pribumi

Untuk mendukung tersedianya imam-imam pribumi, Mgr. Willekens memulai pendirian seminari-seminari. Melalui surat edaran kepada para vikaris dan prefek di berbagai Vikariat dan Prefektur Apostolik di Hindia Belanda, ia menginformasikan dimulainya sebuah Seminari Tinggi Vikariat Apostolik Batavia di Muntilan, Jawa Tengah, pada tanggal 14 Agustus 1936. Dalam perjalanan waktu, seminari ini pun berpindah-pindah dari Muntilan ke Yogyakarta.
      
Serikat Yesus mendirikan Kolese Santo Ignatius di Kotabaru, Yogyakarta. Kolese ini pada perjalanan waktu, menjadi pusat gerakan misi Katolik di Yogyakarta. Setelah tahun 1923, Kolsani menjadi rumah studi filsafat bagi para calon imam Serikat Yesus, baik dari Indonesia maupun Belanda.
Kolsani mulai berkembang menjadi rumah novisiat, yuniorat dan filsafat. Dengan tenaga formator yang sangat terbatas, kolese ini tetap berjalan bahkan mengawali dibukanya Seminari Tinggi. Pada tahun 1954, kursus teologi ditambahkan di Kolsani. Tempat ini pun secara resmi menjadi rumah studi Teologi Serikat Yesus pada tahun 1960.[8]

Mulai tanggal 15 Juli 1961, Seminari Tinggi St. Paulus menjadi Jurusan Filsafat-Teologi pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Sanata Dharma. Seminari Tinggi tetap menjadi tempat pendidikan calon imam. Selanjutnya pada awal tahun 1967, Kolsani dan Seminari Tinggi disatukan dan bersama-sama menjadi Institut Filsafat – Teologi. Tidak hanya untuk para calon imam, institut ini terbuka bagi siapa saja yang ini mempelajari Filsafat dan Teologi secara mendalam.[9]

Ketika ditahbiskan menjadi Uskup Agung Semarang, Mgr. Darmojuwono memiliki cita-cita untuk menjadikan Seminari Tinggi sebagai pusat pendidikan imam diosesan, dan imam dari ordo  dan tarekat religius. Pada tanggal 23 September 1968, beliau bersama dengan Provinsial Serikat Yesus Provinsi Indonesia pun mendirikan konsorsium Driyarkara sebagai badan hukum yang menaungi Institut Filsafat – Teologi. Pada tahun 1977, Kongregasi Misionari Keluarga Kudus (MSF) bergabung menjadi anggota konsorsium ini. Anggota-anggota konsorsium tersebut juga mempersiapkan tenaga pengajar untuk Institut tersebut.                                                                           
Institut Filsafat dan Teologi ini memberikan program khusus bagi para mahasiswanya. Sejak tahun 1973, metode baru dalam berteologi mulai dikembangkan. Program ini disebut “proyek teologi”, “reversal theology”. Metode ini diawali dengan penelitian partisipatoris dari para mahasiswa. Melalui bentuk partisipatoris ini diharapkan para mahasiswa mendapatkan pengalaman iman, personal maupun komunal. Pengalaman dengan segala kompleksitas permasalahannya tersebut direfleksikan dalam terang Kitab Suci, eksegese, dogma, dan sebagainya. Selanjutnya para mahasiswa sampai pada perumusan tindakan pastoral berdasar pada wawasan teologis yang telah diperolehnya.[10]

Pada tahun 1968 sampai 1980, para mahasiswa yang belajar di Institut Filsafat dan Teologi adalah mahasiswa dari berbagai ordo, tarekat religius, dan beberapa keuskupan agung di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara.[11] Pluralitas budaya yang ada di Institut Filsafat dan Teologi ini juga menjadi medan berteologi terutama dengan menimba inspirasi dari kearifan lokal.

Institut Filsafat – Teologi mengalami beberapa kali pergantian nama. Setelah mengambil alih status Seminari Tinggi Santo Paulus sebagai Jurusan Filsafat Teologi pada IKIP Sanata Dharma, Institut Filsafat – Teologi secara resmi menjadi Fakultas Keguruan Filsafat – Teologi IKIP Sanata Dharma pada tahun 1969. Tahun 1972, IFT berubah menjadi Jurusan Filsafat – Teologi pada Fakultas Keguruan Sastra dan Seni IKIP Sanata Dharma. Pada tahun 1985 namanya pun berubah lagi menjadi Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan, dengan Program Studi Teologi dalam Fakultas Ilmu Pendidikan.

Sejak 10 Mei 1993 Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan pada IKIP Sanata Dharma berubah bentuk dan status menjadi Fakultas Teologi pada Universitas Sanata Dharma jurusan Teologi dengan Program Studi Teologi Sistematik. Pada tahun 2003, Program Studi Teologi Sistematik berubah nama menjadi Program Studi Ilmu Teologi dengan status terakreditasi A. Pada tahun 2008, reakreditasi sudah dijalankan dan Program Studi Ilmu Teologi mendapatkan nilai A. Pada reakreditasi tahun 2014, Program Studi Ilmu Teologi kembali mendapatkan nilai A.

Pada tanggal 11 Mei 1995, dibukalah Program Magister Teologi pada Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma. Pada tahun 2000, Program Magister Teologi ini terakreditasi dengan peringkat U (Unggul). Tahun 2008 dilakukan reakreditasi dan Program Magister Teologi mendapatkan nilai A. Pada reakreditasi tahun 2014 reakreditasinya mendapatkan nilai B. Sejak tahun 2015, Program Magister Teologi berubah statusnya menjadi bagian dari Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma dan bukan bagian dari Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma.

Pada awal masa pembentukannya, Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma memang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan para calon imam pribumi. Dalam perjalanan waktu, tuntutan dalam hal studi lanjut bidang Teologi juga berkembang. Maka Kongregasi Urusan Pendidikan Katolik melalui Dekrit Laetentur Insulae Multae (Biarlah Banyak Pulau Bersuka Cita), Prot. N. 489/82/48, tertanggal 1 November 1984, mengakui Institut Filsafat – Teologi Yogyakarta sebagai Fakultas Teologi Kepausan. Fakultas ini mengambil nama Fakultas Teologi Wedabhakti. Wedabhakti berarti cinta terhadap kenyataan.

Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma memberi gelar Sarjana (S1), dan Program Pascasarjana – Program Magister Teologi memberikan gelar “Magister Teologi” (S2). Fakultas Teologi Kepausan memberikan gelar Bakaloreat Teologi (Sacrae Theologiae Baccalaureatus, S.T.B) pada akhir siklus studi pertama, gelar Licensiat Teologi (Sacrae Theologiae Licentiatus, S.T.L) pada akhir siklus studi kedua, dan gelar Doktorat Teologi pada akhir siklus studi ketiga (Sacrae Theologiae Doctoratus, S.T.D.). Selain itu diselenggarakan pula program tanpa gelar untuk pendidikan yang memadai bagi tugas-tugas Gerejawi. Dalam rangka Fakultas Kepausan tersebut, kegiatan akademik, kurikulum dan gelar-gelarnya diatur sesuai dengan penetapan-penetapan Konstitusi Apostolik Sapientia Christiana dan peraturan pelaksanaan oleh Kongregasi Urusan Pendidikan Katolik. Fakultas Teologi Kepausan Wedabhakti bertugas untuk mengembangkan keahlian tinggi dalam Teologi dalam hubungannya dengan situasi keagamaan dan kebudayaan di Indonesia, demi pelayanan iman dalam Gereja dan demi pembangunan bangsa Indonesia sesuai dengan martabat manusia dalam terang kristiani.[12] 
 
 [disusun oleh Rony Suryo]
 
Daftar Pustaka
Budi Subanar, Menuju Gereja Mandiri: Sejarah Keuskupan Agung Semarang di bawah Dua Uskup (1940-1981), Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2005.
Fakultas Teologi Wedabhakti, Buku Pedoman Studi Tahun Akademik 2015/1016, Yogyakarta: FTW, 2015.
Hasto Rosariyanto, SJ., Fl., “Menyongsong Usia 70: Perlukah Berbenah untuk Berubah? – Sebuah Catatan Hipotetis”, Salus (2006) 10-11.
Tan, Jonathan Y., Christian Mission among The Peoples of Asia, Maryknoll: Orbis Books, 2014.
Widyawan Widhiasta, P., “Monsinyur Petrus Joannes Willekens, SJ (1881-1971): Hati dan Pikirannya untuk Umat Pribumi”, Salus (2006) 17.
 


[1] Jonathan Y. Tan, Christian Mission among The Peoples of Asia, Orbis Books, Maryknoll 2014, 131, 136.
[2] Budi Subanar, Menuju Gereja Mandiri: Sejarah Keuskupan Agung Semarang di bawah Dua Uskup (1940-1981), Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 2005, 87-88.
[3] Fl. Hasto Rosariyanto, SJ., “Menyongsong Usia 70: Perlukah Berbenah untuk Berubah? – Sebuah Catatan Hipotetis”, Salus (2006) 10-11.
[4] Paulus Widyawan Widhiasta, “Monsinyur Petrus Joannes Willekens, SJ (1881-1971): Hati dan Pikirannya untuk Umat Pribumi”, Salus (2006) 17.
[5] Budi Subanar, Menuju Gereja Mandiri: Sejarah Keuskupan Agung Semarang di bawah Dua Uskup (1940-1981), 41.
[6] Budi Subanar, Menuju Gereja Mandiri: Sejarah Keuskupan Agung Semarang di bawah Dua Uskup (1940-1981), 56-57.
[7] Budi Subanar, Menuju Gereja Mandiri: Sejarah Keuskupan Agung Semarang di bawah Dua Uskup (1940-1981), 87-88.
[8] Fakultas Teologi Wedabhakti, Buku Pedoman Studi Tahun Akademik 2015/1016, FTW, Yogyakarta 2015, 1.
[9] Bdk. Fakultas Teologi Wedabhakti, Buku Pedoman Studi Tahun Akademik 2015/1016, 1.
[10] Budi Subanar, Menuju Gereja Mandiri: Sejarah Keuskupan Agung Semarang di bawah Dua Uskup (1940-1981), 184-185.
[11] Budi Subanar, Menuju Gereja Mandiri: Sejarah Keuskupan Agung Semarang di bawah Dua Uskup (1940-1981), 185-186.
[12] Fakultas Teologi Wedabhakti, Buku Pedoman Studi Tahun Akademik 2015/1016, 3.

  Kembali