ORGANISASI

Peran Gereja Katolik dalam Masyarakat Pluralis

Kardinal Julius Darmaatmadja SJ
 
 PERAN GEREJA KATOLIK DALAM
MASYARAKAT PLURALIS
Studium Generale, 19 Agustus 2019
Fakultas Teologi Wedabhakti
Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta


 

1. Dengan terang iman kita sadar bahwa Roh Kudus hadir dan berkarya diluar Gereja Katolik sudah sejak awal peredaran jaman. GS 26 mengungkap: “Roh Allah yang dengan penyelenggaraanNya yang mengagumkan, mengarahkan peredaran zaman dan membarui muka bumi, hadir ditengah perkembangan itu.” [GS 26]. Dalam buku saya yang berjudul Umat Katolik dipanggil membangun NKRI, saya mencoba memandang realita Indonesia yang majemuk ini dari sisi: perjuangan antara Kuasa Allah [Kristus dan Roh Kudus] dan Kuasa Dosa. Jadi dari sisi rohani. Dalam perjuangan ini umat Katolik dan umat beriman apapun agama dan kepercayaannya, selayaknya mendukung kuasa Allah, dan turut serta memerangi kuasa Dosa. Umat Katolik dalam perjuangan ini optimis karena ada Tuhan Yesus Juru Selamat dan Roh Kudus yang menyertai Gereja dan seluruh bangsa Indonesia [awal buku]. Syukur ada bingkai Pancasila, ideologi bangsa dan negara,  yang juga merupakan jejak-jejak bimbingan Roh Kudus, dalam rangka kita bersama membangun NKRI. Tentu syaratnya kita semua juga mau bertobat terus-menerus, menanggapi bimbingan Ilahi tersebut. Maka menjadi penting bagi Gereja Katolik ditengah situasi majemuk ini, bersama dengan semua orang yang berkehendak baik: menumbuh-kembangkan hati nurani yang baik, bersih, benar, mempertanggung-jawabkan segala perbuatannya dihadapan Tuhan dan sesama. Peka dan terbuka terhadap bimbingan Ilahi. Hati nurani adalah singgasana Roh Allah dimana orang berjumpa dengan Dia yang membimbing menuju kebenaran dan kesempurnaan hidup sesuuai diciptakanNya. Maka sangat penting pelayanan pastoral Gereja Katolik untuk semua: membangun Hati Nurani yang benar dan baik.

2. Dituntun oleh Roh Kudus sejak Pentekosta I, Gereja Katolik dalam penyelenggaraan Ilahinya telah hadir di Nusantara membawakan nilai-nilai Injili, yang intinya ‘mencitai semama’ dalam rangka ‘cinta kepada Tuhan’. Pelayanan kepada masyarakat berarti mengangkat mereka dari kemiskinan, kebodohan menuju hidup bersama yang sejahtera lahir-batin. Kehadiran Roh Kudus yang membimbing Gereja Katolik di Nusantara, tampak menjadi kekuatan arus pertama, dirintis kehadirannya lewat para Misionaris ysng datang di Nusantara yaitu : imam, bruder dan suster Belanda. Disini peran penting pastor F. van Lith SJ sebagai pemikir kedepan yang menonjol, mewakili peran Gereja Indonesia dalam masyarakat   pluralis saat itu. “Orang Jawa sekarang sudah mulai memandang Gereja Katolik sebagai kekuatan yang berdiri sendiri diluar nasionalisme Belanda. … Orang harus bertambah yakin bahwa Gereja Katolik menghendaki dan menuju perkembangan dan kemajuan bangsa Jawa sepenuh-penuhnya”. Meski baru disebut bangs Jawa, namun Pastor F. van Lith bercita-cita dari Jawa berkembang juga menjadi Nusantara. Ia mengatakan: “… tanah Jawa akan berkembang menjadi Hindia, ya menjadi seluruh Nusantara, akan menikmati kembali masa kejayaannya, dan akhirnya akan timbul, akan menduduki tempat terhormat di kalangan bangsa-bangsa”. Bahwa yang dimaksud perkembangan dan kemajuan seluruh bangsa Indonesia terungkap lagi dengan kata: bangsa pribumi. “… kepentingan bangsa pribumi tak lain dan tak bukan juga kepentingan misi ditengah-tengah bangsa pribumi”. Bahkan sudah melihat kedepan menyongsong Kemerdekaan. ”Misi ingin mendidik golongan pribumi agar mereka siap untuk melengkapi negara sendiri sepenuh-penuhnya.” [Sejarah Gereja Katolik IV hal. 239]. Gereja Katolik saat itu telah ikut berusaha mengembangkan Bangsa Indonesia menuju Kemerdekaannya berdasarkan Pancasila.

Dalam terang iman, dalam sejarah Bangsa dan Negara kita, tampak adanya arus kedua bahwa kehadiran Roh Kudus merupakan kekuatan yang menuntun budaya, agama dan kepercayaan menuju terbentuknya Republik Indonesia.: Yang pokok: semangat ‘Gotong royong’, semangat saling membantu dalam peristiwa keluarga; Pergerakan Kebangsaan [1908], Sumpah Pemuda [1928] dan Proklamasi Kemerdekaan berdasarkan Pancasila. Paus st Yohanes Paulus II berdasar ajaran GS 26 merumuskan ulang dalam RM. “Kegiatan dan kehadiran Roh [Allah] itu tidak hanya mempengaruhi orang per orang, melainkan juga mempengaruhi masyarakat dan sejarah, bangsa-bangsa, kebudayaan-kebudayaan dan agama-agama. Sesungguhnya, Roh itu berada di asal-muasal cita-cita dan usaha-usaha luhur yang bermanfaat bagi umat manusia dalam perjalananya sepanjang sejarah.” [RM 28].

3. Dengan terang iman kita melihat kedua arus tersebut [dari Gereja Katolik Indonesia dan Pancasila sebagsi nilai-nilai budaya dan agama-agama serta kpercayaan Nusantara], tidak hanya bertemu, melainkan menyatu. Gereja Indonesia merumuskan: pada fasal 3 dari Statuta KWI tahun 1987, keterangannya antara lain: ”Nilai-nilai kemanusiaan yang luhur seperti yang ada dalam Pancasila itu terdapat juga dalam ajaran Gereja. Andaikata tidak ada Pancasila, nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, keadilan sosial, itu juga sudah harus dijunjung tinggi dan diperjuangkan oleh Gereja Katolik. … Dengan menerima Pancasila itu, umat Katolik tidak merasa menerima tambahan beban, melainkan mendapat tambahan dukungan dan bantuan dari Negara Republik Indonesia.”

Mayoritas Umat Muslim, melanjutkan semangat para Pendiri Bangsa yang beragama Islam, sampai sekarang menerima Pancasila sebagai ideologi Bangsa. Ideologi yang merupakan kesepakatan bersama seluruh unsur bangsa. Mihammadiyah dan Nahdlatul Ulama sebagai arus utama umat Muslim yang mendukung NKRI yang berdasarkan ideologi Pancasila, menekankan Ukhuwah Wathoniyah, kerukunan dalam bingkai kebangsaan Indonesia, disamping Ukhuwah Islamiyah dan bahkan terbuka kepada Ukhuwah insaniyah/basariyah, kerukunan berdasarkan: sama-sama manusia ciptaan Allah. Terhadap arus radikalisme dan kekerasan, mereka bersikap: jalan tengah atau wasatiyyah tidak eksrtim kekiri sampai kurang peduli terhadap agama, dan tidak ekstrim kekanan sampai memandang hanya fahamnya yang benar dan menganggap salah semua yang lain dan memusuhinya. Umat Hindu, Budha, Kong Hu Chu dan para penghayat Kepercayaan, sama-sama mendukung Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan NKRI.

Itu semua berarti bahwa dengan terang iman agama dan kepercayaan masing-masing, dengan penyelenggaraan Ilahi, terdorong untuk hidup sebagai warga bangsa dan negara berdasarkan nilai-nilai Pancasila, karena nilai-nilai Pancasila serasi dengan nilai-nilai dasar iman mereka masing-masing. Seperti Mgr. Soegijapranata telah mengatakan hendaknya kita menjadi 100% Katolik sekaligus 100% Pancasilais atau Nasionalis, demikian pula diharapakan mereka dapat mengatakan 100% Islam, 100% Hindu, 100% Budhis, 100% Berkepercayaan lain, sekaligus 100% Pancasilais atau nasionalis. Semua dengan terang iman ingin membangun bersama-sama NKRI berdasarkan Pancasila, sebagai rumah kita bersama. Inilah visi dan misi Gereja Katolik bersama dengan Agama-agama dan Penghayat Kepercayaan dalam masyarakat pluralis. Semua dipanggil dengan terang iman membangun NKRI untuk memantapkan,  mengembangakannya menuju kesejahteraan dunia dan akhirat. Karena kita yang dalam Gereja Katolik dibimbing Yesus dan Roh Kudus, sedangkan mereka juga lewat agama dan budaya telah dibimbing oleh Roh Kudus, kiranya yang tepat peran Gereja Katolik terhadap mereka bukan menggurui, melainkan meminjam kebijaksanaan Taman Siswa, adalah “ing ngarsa sung tulada, ing madya mbangun karsa, tutwuri handayani”. Berarti lewat kesaksian hidup [ing ngarsa] dan dengan dialog, bersama-sama menemukan apa yang lebih baik, lebih adil, lebih jujur [ing madya]; mempertanggung-jawabkan semua yang kita lakukan, terhadap Allah junjungan kita [Ketuhanan ynag Mahaesa] dan terhadap sesaama yang berarti mengusahakan kesejahteraan umum lahir dan batin, lewat menghayati nilai-nilai Pancasila. Kecuali itu kita tetap mendoakan memohonkan keterbukaan hati mereka kepada tntunan Roh Kudus [tutwuri handayani]. Kita serahkan selanjutnya kepada kebijaksanaan Allah untuk menuntun mereka tahap demi tahap masuk dalam kemuliaan surgawi. “Sebab karena Kristus telah wafat bagi semua orang [bdk Rom 8:32], dan panggilan terakhir manusia benar-benar hanya satu, yakni bersifat ilahi, kita harus berpegang teguh bahwa Roh Kudus membuka kemungkinan bagi semua orang, untuk dengan cara yang diketahui oleh Allah digabungkan dengan misteri Paska itu” [GS 22]. Tujuan membangun NKRI adalah kesejahteraan lahir dan batin, sehingga yang dicapai adalah kesejahteraan hidup di dunia ini, tetapi dilaksanakan dengan cara yang berkenan kepada Allah dan sesama, hingga membawa ke kesejahteraan surgawi. Ini  tujuan kita semua diciptakan Allah hidup di daerah Nusantara dalam negara NKRI.

4. Dalam arti seperti tersebut diatas, maka Gereja Katolik terpanggil untuk menanggapi karsa Allah tersebut dengan mengamalkan Pancasila, memperkokoh  kedaulatan bangsa dan NKRI, bersama dengan umat beragama dan berkepercayaan kepada Tuhan yang Mahaesa. Pancasila disini menjadi bingkai, memiliki fungsi pemersatu. Menghayati Paancasila merupakan panggilan suci bagi semua warga bangsa, karena berarti menanggapi dan mendukung Karya Roh Allah dalam bangsa dan negara kita. Bagi Gereja yang merasa dikaruniai kuasa Jesus dan Rohnya kiranya boleh merasa memiliki kewajiban lebih dibandingankan dengan Agama dan Kepercayaan lain. Maka Gereja Katolik harus merasa berkewajiban lebih untuk memancarkan Terang Kristus, karena Gereja harus memancarkan Terang Kristus bagi bangsa-bangsa. [bdk. LG 1]. Namun tetap dalam kerendahan hati. Kita pun tidak mempu sepenuhnya menjadi sarana karya Allah. Allah memiliki transendensi dalam berkarya. Apa yang kita buat sangat kecil, tetapi kuasa Allah mempu membuat hasil gemilang. Dalam kaitan dengan itu semua, pertanyaan penting menjadi: jangan jangan kita terpanggil berbuat sesuatu yang sebelumnya tidak menjadi perbuatan standar sesuai Insitusi Gereja. Contoh penting adalah Paus st. Yohanes Paulus II dengan mengadakan doa bersama tokoh-tokoh agama di Assisi tahun 1986. Visi dan Misi Paus st. Yohanes Paulus II, dikongkritkan menjadi usaha mengumpulkan tokoh-tokoh agama di Assisi tahun 1986. Beliau menjelaskan makna sesuai yang ia imani demikian: “Dengan menyingkirkan suatu penafsiran yang keliru, pertemuan antar agama yang diadakan di Assisi dimaksudkan untuk memperteguh keyakinan kami, bahwa setiap doa yang otentik itu didorong oleh Roh Kudus, yang hadir secara ajaib di dalam hati setiap manusia.” (RM 29). Paus Benedictus XVI membuat yang sama dalam ulang tahunnya ke 25 tahun 2011, menambah wakil non agama, yaitu orang komunis. Ia mengimani bahwa siapa pun dia memiliki hati nurani yang dapat menjadi kenisah Roh Kudus. Paus Fransiskus di Abu Dhabi tanggal 4 Februari 2019, bersama dengan Imam Besar Al-Azhar Ahmed el Tayeb menandatangani dokumen pernyataan bersama tentang ‘Persaudaraan Insani untuk Perdamaian Dunia dan untuk Hidup Bersama’. Ini semua menjadi inspirasi bagi dialog kita yang transformaatiaf dan kratif dengan umat Muslim dan umat agama dan kepercayaan lainnya di Indonesia, dalam rangka bersama-sama membangun NKRI dalam segala bidang kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, berdasarkan Pancasila.

5. Pancasila dapat menjadi pemersatu bagi kita yang berbeda dalam agama, kepercayaan  dan budaya ini, hanya kalau masing-masing dalam berdiskusi, hanya membicarakan nilai-nilai yang terdalam dari iman menurut epercayaan masing-masing. Maka diistilahkan ‘dengan terang iman’ masing-masing. Disitu kita pemeluk agama dan kepercayaan bersatu mengupayakan hidup sejahtera dunia-akhirat dengan dialog dan kerjasama, menjunjng tinggi nilai-nilai terdalam Pancasila.

6. Dalam rangka dengan terang iman bersama-sama meggapai kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila, kita perlu tetap waspada terhadap kerapuhan manusia dan kuasa gelap yang mengacaukan kehidupan bersama: Ada yang mau meninggalkan sejarah dengan mengganti ideologi Pancasila; ada yang mau mencari kesejahteraan hidup dengan jalan tidak benar, menipu, menyuap dan korupsi. Menikmati kuasa dan kekayaan materi untuk menuruti nafsu-nafsunya. Ada yang karena kehidupan berimannya dangkal, mencari kesenangan dan kebahagiaan hidup secara egositis, demi kepentingan sendiri, atau melarikan diri dari perjuangan hidup dengan mengkonsumsi narkoba. Akibatnya tumbuh kesenjangan sosial, sulit sekali tercapainya kesejahteraan umum, membuat banyak orang terpingirkan dan menjadi miskin. Maka peran Gereja selalu mengajak mereka konsisten dalam sikapnya terhadap sejarah bangsa dan Pancasila.   Adalah tugas awam katolik dengan terang iman, ikut membangun tata hidup kemasyarakatan di bidang budaya, ideologi, ekonomi, sosial dan politik, keamanan dan pertahanan. Supaya tetap diterangi iman katolik, sikap tobat terus menerus dan kerjasama dengan hirarki sangat penting.

7. Dalam buku saya itu, saya mencoba berkontemplasi mengenai realita rohani Indonesia, yaitu realita karya Allah dalam sejarah Gereja Katolik dan sejarah kebangsaan menuju kemerdekaan Indonesia. Disitu dapat ditemukan sekaligus sejarah keselamatan yang terungkap dalam Gereja Katolik Indonesia dan dalam sejarah bangsa kita menuju kemerdekaan sejati Indonesia. Yesus dan Roh Kudus berkarya sampai sekarang, dan akan terus berkarya sampai akhir jaman. Tetapi Kuasa Dosa tidak tinggal diam. St. Yohanes Paulus II, menanggapi Sinode Asia tahun [April 18 - Mei 14, 1998], setelah ikut serta bersama dalam dialog para Uskup se Asia di Roma, menyampaikan hasil hasil kontemplasinya mengenai Gereja Katolik yang berada di situasi pluralistis Asia [Ensiklik post sinodal: Aecclesia in Asia 6-11-1999 di New Delhi]. Disitu dijelaskan justru perbedaan, keberagaman, situasi pluralistis itulah yang menjadi medan laga antara Kuasa Allah dan Kuasa Dosa:  Cirinya sebagai berikut: ”Daya kekuatan maut [ini istilah untuk menyebut Kuasa Dosa] menyendiirikan orang-orang, masyarakat-masyarakat dan rukun-rukun hidup religius satu dari yang lain, lagi pula menimbulkan sikap-sikap curiga dan persaingan, yang mengantar kepada konflik-konflik. Sebaliknya Roh Kudus mendukung orang-oorang dalam usaha-usaha mereka menumbuhkan saling pengertian, dan saling menerima. [EA 15]. Pemahaman dan kriteria untuk memandang situasi secara kritis dan imani sangat tepat. Sesuai untuk dipakai oleh Gereja Indoensia.

8. Demikianlah apa yang dapat saya sharingkan kepada Anda semua, mengenai buku saya berjudul: Umat Katolik dipanggil membangun NKRI, dengan sub judul: “Dengan Terang Iman Katolik Mengamalkan Pancasila untuk Menggapai Damai Sejahtera Dunia Akhirat”. Sharing saya sebagai Introduksi bagi Studium Generale. Menurut saya Studium Generale selayaknya disampaikan oleh pihak Fakultas USD/FTW, bukan oleh saya, yang tidak memiliki kemampuan fungsional maupun profesional. Semoga sharing saya ada gunanya. Sekian, sekali lagi banyak terima kasih.

  Kembali