AKTUALITA

Seminar Dies Natalis XXXVIII:

Menafsirkan Sinodalitas Gereja Masa Reformasi dan Relevansinya untuk Gereja Sekarang


Jumat (28/10/2022) Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma mengadakan seminar dalam rangka menyambut Dies Natalis yang ke-38 dengan tema “Menafsirkan Sinodalitas Gereja Masa Reformasi dan Relevansinya untuk Gereja Sekarang”. Dalam seminar ini terdapat tiga orang pembicara: Rm. Floribertus Hasto Rosarianto, SJ sebagai narasumber dan Rm. Prof. Dr. Emanuel Martasudjita, Pr dan Dkn. Yulius Suroso, SJ sebagai penanggap. Seminar ini diadakan aula Fakultas Teologi dan dipandu oleh Fr. Agustinus Kartono, Pr.

Dalam pemaparannya, Rm. Hasto mengatakan bahwa konsili Trento merupakan usaha yang dilakukan Gereja dalam menanggapi gerakan reformasi sekaligus usaha untuk bertransformasi. Reformasi dalam tubuh Gereja Katolik sendiri adalah tanggapan atas kemerosotan yang dialami oleh Gereja khususnya berkaitan dengan ajaran dan praksis hidup. Sebelum konsili Trento sudah ada beberapa konsili seperti: Konsili Constanz (1414-1418), Konsili Basilea-Ferrara-Firenze-Roma (1431-1445) dan Konsili Lateran (1512-1517). Meskipun beberapa konsili ini berusaha untuk mentransformasi Gereja, tetapi secara de facto hasil dari konsili-konsili ini hanya sampai pada tataran ide saja sebab tidak ada tindaklanjutnya.

Reformasi dalam tubuh Gereja Katolik terjadi baru setelah M. Luther melakukan reformasi di tahun 1517 dan ini menjadi nyata dalam konsili Trento. Namun, jauh sebelum adanya konsili Trento dan meletusnya reformasi Protestan sudah ada embrio pembaruan dalam Gereja. Pembaruan ini dipelopori oleh: Jacopo Sadoleto (Italia, 1477-1547), Nicolaus Cusanus (Jerman, 1401-1464), Francisco Ximenes de Cisneros (Spanyol, 1436-1517) melalui: karya-karya karitatif, kesehatan, dan pendidikan, yang mana gerakan pembaruan ini turut serta melibatkan kaum awam.

Menurut Rm. Hasto, persoalan ajaran dan kedisiplinan pastoral adalah dua hal yang tak terpisahkan di mana konsili Trento sendiri menghasilkan Dekrit Riforma. Dalam dekrit ini ada tiga keputusan yang dihasilkan: (1) residensi untuk uskup dan imam: di mana seorang gembala harus menetap di keuskupan dan parokinya; (2) larangan bagi para pemimpin gereja untuk menumpuk kekayaan; (3) pendirian seminari di setiap keuskupan sebagai langkah konkret untuk meningkatkan mutu formasi imam – sebab pada masa itu imam-imam tidak memiliki kompentensi yang memumpuni sebagai gembala umat di mana pendidikan bagi para imam tidak terlalu diperhatikan.

Pembaruan dalam konsili Trento ini juga nampak dalam Gereja Indonesia yang saat ini sedang mengupayakan suatu transformasi diri dengan berpijak pada ajakan Paus Fransiskus tentang Gereja yang sinodal. Namun, jauh sebelum ada ajakan ini sudah ada benih pembaruan dalam diri Gereja yang dipelopori oleh: Rm. Van Lith, SJ, Mgr. Soegijapranoto, SJ dan Rm. Driyarkara. Pembaruan yang dilakukan ketiga tokoh ini ialah kegiatan-kegiatan karikatif yang membedayakan sumber daya manusia di mana itu tidak eksklusif bagi yang Katolik saja tetapi juga bagi yang non-Katolik. Selain itu, ada juga beberapa pertemuan yang membahas tentang sumbangasih Gereja Indonesia bagi kehidupan komunal seperti: KUKSI (Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia), MUKSI (Musyawarah Umat Katolik Seluruh Indonesia) dan PNUKI (Pertemuan Nasional Umat Katolik Indonesia).

Masih dalam konteks pembaruan dalam Gereja yang sinodal, Rm. Hasto juga mengatakan bahwa Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma memiliki tiga keunggulan: pertama, komunitas akademis yang unggul dalam kajian filosofis-teologis atas realitas kehidupan secara kontekstual demi terwujudnya masyarakat yang semakin bermartabat. Kedua, modal literasi yang mengacu di mana perkuliahan di Fakultas Teologi senantiasa mengalami pembaruan khususnya dalam kuliah proyek. Ketiga, latar belakang dari setiap mahasiswa yang beragam memberikan warna tersendiri dalam dinamika akademis. Mengakhiri pemaparannya, Rm. Hasto menegaskan bahwa Gereja yang sinodal berarti Gereja yang berjalan bersama yang mana dalam dinamika itu Gereja menegaskan arahnya.

Setelah Rm. Hasto memaparkan materinya, moderator memberi kesempatan bagi dua penanggap: Rm. Marta dan Dkn. Suroso untuk menanggapi. Dalam tanggapannya, Rm. Marta mengafirmasi uraian Rm. Hasto bahwa pada saat Gereja mengalami masa krisis, sinodalitas menjadi salah satu solusi atau jalan keluar; hal ini berlaku juga bagi Gereja Katolik di Indonesia. Di sini Rm. Marta melihat bahwa ada tiga komponen yang harus saling bersinergi agar pembaruan Gereja dapat berjalan, yaitu: hierarki, para teolog atau pemikir dan juga umat; di mana tanpa adanya sinergi dari tiga komponen ini maka pembaruan tidak akan berjalan dengan baik.

Selain itu, Rm. Marta juga mengatakan bahwa ilmu sejarah Gereja memiliki peran yang penting dalam membantu dan menempatkan setiap refleksi iman dalam konteks historis, aspek ruang dan waktu. Dalam hal ini, sejarah bukan hanya sekedar berbicara tentang masa lalu saja tetapi juga hic et nun (di sini dan sekarang) di mana itu juga akan menghantar pada masa yang akan datang (eskatologis). Singkatnya, sejarah berbicara tentang tiga dimensi waktu: masa lalu, masa kini dan masa depan.

Senada dengan Rm. Marta, Dkn. Suroso mengatakan bahwa pembaruan dalam Gereja baik itu reformasi dalam konsili Trento maupun ajakan Paus Fransiskus tentang sinodalitas merupakan upaya dari Gereja mengaktualisasikan dirinya dengan zaman dan menjawab tantangan dalam kehidupan menggereja. Dalam arti yang lebih jauh, usaha Gereja dalam memperbarui diri ini menunjukkan bahwa Gereja tidak bergerak secara statis melainkan dinamis – ecclesiae semper reformanda. (Bob Pangeso)

  Kembali
Lihat Arsip