AKTUALITA

Perayaan Syukur 60 Tahun Berkah Pembaharuan Konsili Vatikan II


Sabtu (15/10/22) Ikatan Alumni Filsafat Teologi Sanata Dharma Yogyakarta (IKAFITE), Fakultas Teologi Wedabhakti merayakan perayaan ekaristi di Kapel Seminari Tinggi St. Paulus, Kentungan. Perayaan ekaristi ini dipersembahkan oleh Mgr. Yustinus Harjosusanto, MSF, Uskup Agung Samarinda dan Mgr. Petrus Boddeng Timang, Pr, Uskup Banjarmasin bersama Rm. CB. Mulyatno, Pr, Rm. Ary, Pr dan Rm. Sumargo, MSF sebagai konselebran.

Pada perayaan ekaristi ini khotbah dibawakan oleh Mgr. Yustinus Harjosusanto, MSF. Dalam khotbahnya, Mgr. Yustinus mengatakan bahwa dalam dinamika Gereja yang sudah berusia dua ribu tahun lebih diwarnai oleh aneka peristiwa yang membawa Gereja pada perkembangan, kemajuan dan kesempurnaan. Menurut Mgr. Yustinus, Gereja berciri ilahi dan juga insani; di mana sifat insaninya membuat Gereja juga tidak luput dari kekurangan dan kelemahan dalam dinamikanya. Meskipun demikian, perjalanan Gereja yang diwarnai oleh aneka peristiwa sejarah membawanya pada perkembangan salah satunya ialah pembaruan dalam Konsili Vatikan II.



Pembaruan dalam Konsili Vatikan II menunjukkan adanya kesadaran baru dan pemahaman baru Gereja terhadap dirinya sendiri dengan seluruh konsekuensi dan implikasi yang baik dan bermanfaat bagi dirinya. Selain itu, Gereja juga menyadari realitas dunia ini yang semakin kompleks melalui kesadaran eksistensial, yaitu: 1) Bagaimana keberadaannya di tengah dunia ini? 2) Bagaimana keterlibatannya di dunia? 3) Bagaimana Gereja memandang agama dan iman yang lain?
Kesadaran baru dan pemahaman baru Gereja terhadap dirinya merupakan bentuk pertobatan radikal yang dilakukan Gereja sebagai lembaga insani karena dalam kesadaran dan pemahaman baru ini ada berbagai perubahan yang dibuat Gereja adalah bentuk membaharui diri atas hal-hal yang di masa lalu kurang diperhatikan dan dilalaikan. Sebagai lembaga insani Gereja tidak luput dari kelalaian, kelemahan bahkan kejatuhan, hal inilah adalah realitas yang tidak dapat dipungkiri maka sejak enam puluh tahun Konsili Vatikan II dapat dilihat bahwa Gereja masih dan terus berjuang untuk merealisasikan apa yang menjadi mimpi dari para bapa konsili. Mengakhiri khotbahnya, Mgr. Yustinus mengatakan bahwa apa yang dicita-citakan memang masih jauh, tetapi itu tidak berarti Gereja tidak mengalami progresivitas sebab Gereja sudah melakukan banyak hal untuk mencapai apa yang dicita-citakan oleh para bapa konsili.

Setelah perayaan ekaristi selesai dilanjutkan dengan sarasehan yang dilaksanakan di aula Fakultas Teologi Wedabhakti. Dalam sarasehan ini ada delapan narasumber yaitu: Mgr. Petrus Boddeng Timang, Pr (Uskup Banjarmasin), Rm. Dr. C.B. Mulyatno, Pr (Dosen Fakultas Teologi USD), Prof. Dr. Phil. Al Makin (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Rm. FX. Mudji Sutrisno, SJ (Guru Besar STF Driyarkara Jakarta), FX. Hadi Rudyatmo, (Mantan Walikota Solo) MY. Esti Wijayati (Anggota DPR-RI), Rm. Dr. St. Gito Wiratmo, Pr (Ketua Pusat Pastoral Sanjaya), dan Yustinus Prastowo (Stafsus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis) dan dipandu oleh Dr. YCT Tarunasayoga (Dosen Unika Soegijapranata Semarang) sebagai moderator.


Pembicara pertama dalam sarasehan ini ialah Mgr. Petrus Boddeng Timang, Pr. Dalam pemaparan materinya, Mgr. Petrus mengatakan dokumen pertama yang dikeluarkan oleh Konsili Vatikan II ialah Sacrosanctum Concilium; sebuah dokumen yang berbicara tentang liturgi Gereja. Niat Paus Yohanes XXIII dalam dokumen ini ialah untuk memberikan arah pastoral bagi kehidupan menggereja. Hal ini merupakan bentuk dari perubahan pandangan Gereja terhadap dirinya sendiri sebagai civitas Dei dan societas perfecta, yaitu Gereja sudah sempurna pada dirinya sendiri.Selain itu, perubahan ini juga mengubah sikap Gereja pada konsili-konsili sebelumnya yang cenderung mencari apa yang benar dan salah melalui anatemasit.

Menurut Mgr. Petrus, kebaruan dalam Gereja nampak pada cirinya yang pastoral dan visioner; di mana Konsili Vatikan II membuka perspektif yang begitu luas dan mendalam bagi kehidupan Gereja sehingga Gereja tidak lagi hanya nyaman pada dirinya sendiri melainkan ia pun turut berpartisipasi dalam menjawab kegelisahan dunia. Selain itu, kebaruan dalam Gereja juga melahirkan buah-buah seperti: relasi antarumat beragama, kaum awam dan para biarawati dapat belajar teologi, dan masih banyak lagi buah-buah yang dihasilkan oleh Konsili Vatikan II. Dalam hal ini, Gereja menegaskan bahwa semua umat beriman memiliki martabat dan tanggung jawab yang sama demi perkembangan kemanusiaan dan kebaikan bersama dalam rangka berziarah di bumi ini menuju societas perfecta dan civitas Dei sebagaimana yang digambarkan dalam Kitab Wahyu.



Di sini Mgr. Petrus juga mengatakan bahwa ada pekerjaan rumah besar yang harus diperhatikan oleh Gereja dalam pasca Konsili Vatikan II; di mana dia melihat bahwa kaum awam telah jauh berjalan ke depan sedangkan para pelayan pastoral khususnya imam masih terjebak pada zona nyamannya bahkan mengalami stagnan. Senada dengan apa yang dikatakan oleh Mgr. Yustinus bahwa Konsili Vatikan II masih terdengar asing, Mgr. Petrus mengatakan Konsili Vatikan II harus diketahui, dipahami, dihayati dan dilaksanakan oleh seluruh Gereja baik pelayan pastoral maupun seluruh umat beriman – sebab jika tidak demikian maka Gereja hanya akan berjalan di tempat dan tidak maju-maju.

Kata kunci dari Konsili Vatikan II ialah aggiornamento ungkap Rm. Mudji Sutrisno sebagai pembicara kedua. Kata kunci ini menunjukkan sikap Gereja yang membaharui diri dari dalam. Menurut Rm. Mudji, meskipun Gereja sudah membaharui diri tetapi Gereja masih terjebak pada kenyamanannya sendiri di mana Gereja masih altar sentris sebagaimana yang dikritik oleh Alm. Rm. Mangun. Selain itu, Rm. Mudji juga mengatakan bahwa hanya melalui jalan budaya Konsili Vatikan II dapat dikontekstualisasikan; di mana dalam budaya ada nilai – di Indonesia sendiri nilai itu adalah Pancasila yang menjadi dasar bagi kehidupan bangsa Indonesia.

Dalam mencapai cita-cita dan kontekstualisasi Konsili Vatikan II, Rm. Mudji mengatakan bahwa Gereja harus memperhatikan spiritualitas yang ada pada semangat aggiornamento; di mana Gereja jangan hanya nyaman pada altar saja melainkan ia harus turun ke pasar untuk berjumpa dengan realitas dunia di sekitarnya.

Senada dengan Rm. Mudji, Rm. CB. Mulyatno juga mengatakan aggiornamento dalam Konsili Vatikan II adalah spiritualitas sekaligus gerakan. Spiritualitas merujuk pada gerakan dari dalam diri sedangkan gerakan mengacu pada gerakan ke luar dari diri. Gerakan keluar dari diri berarti keluar berjumpa dengan dunia untuk menimba kekuatan dalam memperbaharui diri. Di sini aggiornamento adalah komunitas yang senantiasa belajar untuk memperbarui dirinya.



Dalam kurun waktu enam puluh tahun pasca Konsili Vatikan II, Gereja sebagai komunitas yang belajar berada dalam dunia yang cair; di mana Gereja bekerja sama dengan berbagai pihak melalui pendidikan untuk membangun dunia. Namun, di tengah dunia yang cair ini dalam konteks Gereja Indonesia – Gereja larut dalam iklim rivalitas yang mana hidup tidak dirayakan sebagai festival seni melainkan sebagai ajang saling mengalahkan khususnya lomba-lomba yang diikuti oleh sekolah Katolik yang cenderung mendidik sisi kognitif saja. Menurut Rm. Mulyatno ini dapat menjadi benih-benih perang di mana pendidikan membuat orang untuk hidup dalam semangat perang bukan semangat kasih dan persaudaraan.

Akibat dari pendidikan ini Gereja mengarahkan orang pada kecenderungan untuk bersikap individualistik. Dalam konteks Indonesia, mestinya Gereja berkontribusi dalam membangun kebhineka-tunggal-ikaan sebab Indonesia memiliki keragaman sehingga bukan tempatnya untuk membuat ada yang menonjol dan yang lain tidak. Dalam arti tertentu jika Gereja tidak menyadari hal ini maka bukan hanya pendidikan saja seluruh Gereja akan larut dalam arus zaman dan kehilangan identitasnya. Menurut Rm. Mulyatno, jika Gereja ingin berkontribusi terhadap pendidikan dunia maka Gereja hendaknya membangun formasi yang integral; di mana nilai kesetiakawanan, persaudaraan dan kasih dihidupi di dalam pendidikan yang dimobilisasi oleh Gereja agar menciptakan kehidupan yang bermakna dan integral.

Melanjutkan apa yang disampaikan oleh ketiga narasumber sebelumnya, Prof. Al Makin mengatakan bahwa Konsili Vatikan II merupakan suatu anugerah bukan hanya bagi umat Katolik melainkan juga bagi seluruh umat manusia. Selain itu, Prof. Al Makin juga menegaskan bahwa Gereja adalah organisasi keagamaan yang lentur di mana dia senantiasa beradaptasi dari satu zaman ke zaman yang lain.



Konsili Vatikan II adalah bentuk pengakuan dan reformasi baik dalam tubuh Gereja sendiri maupun di luar Gereja. Dalam hal ini, Prof. Al Makin menegaskan bahwa ada dua pernyataan yang relevan dan menyentuh umat Islam Indonesia khususnya dalam Nostra Aetate dan Dignitatis Humanae, yaitu bagaimana sikap terhadap umat beragama dan beriman lain dan bagaimana mempererat persaudaraan antarmanusia. Contoh konkret dari gema pesan dua pernyataan ini dapat dilihat dari teladan dan pribadi Paus Fransiskus; di mana dia membangun relasi tanpa memandang bulu. Sikap ini pun dimiliki oleh romo-romo Katolik seperti: Romo Soegijapranata, Romo Driyarkara, dan Romo Mangunwijaya. Selain itu, para romo Katolik tidak hanya menjadi romo bagi umatnya melainkan juga menjadi romo bagi kaum muda muslim seperti Romo Magnis dan Romo Mudji.

Menurut Prof. Al Makin, dalam sejarah agama Islam ada hubungan yang unik antara Kekatolikan dan Islam; di mana keduanya saling bekerja sama. Salah satu contohnya ialah pendirian organisasi Islam: Muhammadiyah dan NU yang terinspirasi dari organisasi Katolik. Selain itu, adanya perguruan tinggi Islam yang menerima mahasiswa dan tenaga pengajarnya dari kalangan Katolik dan Protestan menunjukkan buah-buah inspirasi dari Konsili Vatikan II. Hal ini menunjukkan bahwa gema persaudaraan yang berlandaskan pada kasih dalam Konsili Vatikan II turut serta menginspirasi semangat inklusivisme dan pluralisme dalam agama Islam.

Meskipun terkesan mudah dalam membangun tali persaudaraan antaragama di Indonesia, tetapi tetap ada kesulitan. Menurut MY Esti, anggota DPR Komisi VIII, ada cap yang disematkan kepada agama Katolik sebagai “Katolik radikal” karena adanya persoalan intoleransi di beberapa daerah. Selain itu, dia juga menyuguhkan data bahwa 10 % milenial setuju ideologi Pancasila diganti dan 19,5% milenial menyatakan bahwa negara Indonesia lebih ideal dengan ideologi Khilafah.



Hal ini merupakan pekerjaan rumah yang harus dikerjakan bersama. Selain itu, menurut MY Esti, pada saat ini tidak banyak aktivis politik yang negarawan, yang memikirkan persoalan-persoalan bangsa seperti: intoleransi dan radikalisme – sebab isu ini dipandang sebagai hal yang tidak menguntungkan dalam elektoral pemilu. Hal ini diperparah oleh sikap kaum awam yang bekerja di bidang politik dan cenderung apatis karena takut kehilangan jabatannya. Karena itu, dalam menurut MY Esti perlu mengaktualisasikan nilai kekatolikan dalam kehidupan sehari-hari agar dapat memberi sumbangan bagi kehidupan bangsa dan bernegara.

Konsili Vatikan II adalah reformasi Gereja di mana Gereja membuka pintu bagi perubahan. Menurut Y. Prastowo, mengatakan bahwa dengan adanya Konsili Vatikan II kaum awam semakin dilibatkan dalam dinamika kehidupan Gereja. Akan tetapi, sampai saat ini banyak kaum awam yang masih membutuhkan petunjuk dari pemimpin Gereja. Karena itu, Y. Prastowo menegaskan bahwa menjadi seorang awam Katolik yang bekerja di dunia tidak perlu banyak refleksi tanpa melakukan aksi sebab tugas awam ialah berpartisipasi dalam tugas dunia dengan segala resiko dan konsekuensinya; di mana dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan tentu tidak luput dari kekeliruan, tetapi jangan sampai menjadikan itu sebagai kesempatan untuk menduitkan kebijakan yang menyengsarakan rakyat.

Selain itu, Y. Prastowo juga mengatakan bahwa ada kecenderungan awam Katolik nyaman dengan kehidupan yang berada jauh dari realitas dengan bersikap apatis terhadap politik dan birokrasi yang dipandang kumuh dan kotor. Dalam hal ini, kaum awam Katolik harus mampu menjadi garam dan terang dunia; di mana awam tidak harus selalu menunggu arahan atau tuntunan dari hierarki. Karena itu, awam Katolik harus memiliki CARA (Cognitive, Affection, Reflection and Action). Keempat komponen inilah yang menjadi modal bagi awam Katolik untuk terlibat dalam aneka ragam persoalan dunia.

Keterlibatan kaum awam Katolik dalam dunia harus mengamalkan nilai-nilai kekatolikan dalam kehidupannya. Menurut FX. Hadi Rudyatmo, ketika seorang Katolik menjadi seorang pemimpin hendaknya orang tersebut memiliki beberapa sifat: 1) Malu jika berbuat maksiat. 2) Malu jika terlibat skandal. 3) Malu jika melakukan KKN. 4) Malu jika tidak mampu memenuhi janji-janjinya kepada rakyat. Rasa malu ini adalah bagian dari iman yang membentuk akhlak. Jika rasa malu dalam diri seseorang hilang maka dapat dipastikan bahwa akhlaknya pun turut serta hilang daripadanya.

Selain itu, FX. Hadi Rudyatmo juga menegaskan bahwa dalam keterlibatannya dalam dunia kaum awam bukan tidak mungkin menjadi seorang pemimpin. Di sini menjadi seorang pemimpin berarti menjadi pelayan yang memiliki keutamaan hidup seperti: kemurahan hati, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri, cinta kasih, sukacita, damai sejahtera dan kesabaran. Keutamaan hidup ini adalah nilai fundamental yang harus dimiliki oleh setiap awam Katolik dalam keterlibatannya di dunia sebab tanpa ada keutamaan hidup maka awam Katolik akan kehilangan arah dan identitas dalam dunia yang cair ini.

Senada dengan para pembicara sebelumnya, Rm. St. Gitowiratmo mengatakan bahwa pembaruan yang paling fundamental dalam Konsili Vatikan II ialah peran kaum awam. Dalam hal ini, Gereja melalui Konsili Vatikan II menegaskan bahwa harus ada kolaborasi, sinergi dan partisipasi antara kaum hierarki dan kaum awam khususnya dalam bidang keilmuan interdisipliner. Bentuk sinergi dan kolaborasi antara hierarki dan awam ini tergantung pada konteks yang sedang dihadapi oleh Gereja – semakin sulit situasi yang alami oleh Gereja maka kerjasama dengan kaum awam hendaknya semakin intensif. Dengan kerjasama ini maka apa yang dicita-citakan oleh para bapa Konsili dalam Konsili Vatikan II bukan lagi sebagai angan saja tetapi dapat diwujudnyatakan dalam kehidupan menggereja.

  Kembali
Lihat Arsip