AKTUALITA

Iman dalam Tantangan Lingkungan Hidup: Belajar dari "Laudato Si"

Paus Fransiskus telah mengeluarkan Ensiklik “Laudato Si” sebuah ensiklik apostolik pertama yang membicarakan tentang ibu bumi sebagai rumah bersama. Ensiklik ini telah dikaji oleh berbagai macam tokoh dengan berbagai latarbelakang baik oleh kelompok Katolik maupun non Katolik. Dengan pertobatan ekologis sebagaimana tertuang dalam ensiklik tersebut, Paus Fransiskus mengajak kita semua untuk berbuat sesuatu untuk ibu bumi. Demikianlah pengantar dari Ignatius Adi Sapto, Pr. SS sebagai moderator dalam Seminar Dies Natalis XXXIII Fakultas Teologi Wedabhakti-Universitas Sanata Dharma yang diadakan pada Jumat, 3 November 2017. Hadir sebagai pembicara seminar ini Ibu Nissa Wargadipura, pendiri pesantren Ath Thaariq dan Dr. Wiryono Priyotamtama, SJ, dosen Universitas Sanata Dharma. Tema yang diangkat dalam seminar ini adalah “Iman dalam Tantangan Lingkungan Hidup: belajar dari Laudato Si”. Seminar ini diadakan di Aula Darmojuwono Gedung Pascasarjana Fakultas Teologi Wedabhakti-Universitas Sanata Dharma, Kentungan, Yogyakarta.

Mengawali pendalaman tema, Ibu Nissa menjadi pembicara pertama mengungkapkan aneka pemaparan tentang pesantren dengan konsep agroekologi. Pesantren ini mengkampanyekan dan mempromosikan konsep agroekologi yaitu basis pertanian yang menghargai ekosistem dan ekologi. Fokus pembinaan pesantren ini adalah menjadikan para santri memiliki semangat ekologis yang ramah semua orang dan mampu mendapatkan makanan dari alam sekitar. Para santri dilatih untuk bekerja dan berjuang untuk hidup mereka serta dapat mensupport keluarga mereka secara mandiri. Santri dalam pesantren ini akan menjadi contoh konkrit untuk kampanye dan promosi hidup yang semakin ekologis.

Yang paling menarik dari konsep pesantren agroekologi ini adalah bahwa komunitas ini menghargai setiap kehidupan yang ada dalam ekosistem, secara khusus dengan memperhatikan dan mengurus seluruh rantai makanan yang ada di alam ini tanpa terputus. Pada pertanian atau perkebunan pada umumnya digunakan pestisida untuk menghalau hama, sebaliknya pesantren yang didirikan oleh ibu Nissa ini malahan  mengundang hama dengan tidak menggunakan insektisida atau pestisida. Dengan menjaga keutuhan ekosistem serta hubungan saling ketergantungan setiap subjek ekosistem, komunitas ini berhasil mewujudkan kebertahanan pangan bagi keluarga dan masyarakat di sekitar tanpa mematikan subjek ekosistem tertentu (seperti hama). “Binatang dan alam saja dihargai dan dihormati, lebih-lebih manusia yang jauh lebih berharga” demikian ungkap ibu Nissa yang juga pernah mendirikan Serikat Petani Pasundan pada 1995 sampai 2008.

Dalam bidang yang sama yaitu pendidikan namun dengan bentuk yang berbeda, Dr. Wiryono Priyotamtama, SJ sebagai pembicara kedua dalam seminar ini juga mengembangkan suatu formasi pendidkan ekologis yang melatih generasi muda untuk lebih memperhatikan alam sekitar. Dengan pendekatan kuliah Healing Earth mahasiswa diajak untuk menyadari krisis ekologi yang muncul dan dari situ diajak untuk membangun harapan-harapan akan terwujudnya ibu bumi yang lebih baik. Berkaitan dengan generasi Z yang ada di Universitas Sanata Dharma, pembicara melihat kekuatan serta kelemahan kelompok generasi tersebut, salah satu yang diamati pembicara adalah bahwa mahasiswa senang apabila diajak menanam, tetapi masalah “merawatnya” menjadi persoalan yang lain lagi.

Dr. Wiryono Priyotamtama, SJ juga memaparkan aneka kerusakan ekologi yang terjadi akibat ulah manusia. Dalam analisis Ecological footprints atau jejak ekologi, Indonesia merupakan salah satu negara yang tren ecological footprintsnya menurun, khususnya sejak banyak munculnya kelapa sawit di berbagai daerah di Indonesia. Pembicara menegaskan pentingnya paradigma baru berkaitan dengan hidup manusia dengan alam yaitu hubungan saling ketergantungan antara alam dan manusia. Yang dimaksud pembicara adalah, saat berbicara tentang Healing Earth kita tidak lagi bicara tentang manusia saja, atau alam saja tetapi justru hubungan saling ketergantungan satu dengan yang lainnya. “Bumi memang rusak, tetapi kesadaran manusia juga bertransformasi sehingga memunculkan harapan-harapan. Lewat pendidikanlah transformasi kesadaran itu terjadi dan harapan-harapan itu terbangun” demikian ungkap imam Jesuit kelahiran Madiun itu.

Dengan dihadiri oleh kurang lebih 250 peserta seminar yang terdiri dari civitas akademika Fakultas Teologi Wedabhakti Universitas Sanata Dharma dan juga tamu undangan dari luar, seminar ini mengajak seluruh peserta untuk bersama-sama mengkampanyekan hidup yang lebih ekologis. Mari bersama wujudkan ibu bumi yang lebih baik bagi kita sendiri dan bagi generasi mendatang. Wujudkan iman kita dalam perbuatan yang ekologis dan sekaranglah waktunya untuk bertindak.

[Henrikus Prasojo, OMI]

  Kembali
Lihat Arsip