AKTUALITA

Serial Seminar Bulanan "Gereja dan Kultur Jawa"

Selasa (23/2) Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma mengadakan seminar bulanan. Seminar bulan ini bertemakan “Gereja dan Kultur Jawa” dan dimoderatori oleh dosen moral Fakultas Teologi  Rm. Bismoko Mahamboro. Seminar ini juga dihadiri oleh dua pembicara yang sudah ahli dalam  bidang sejarah dan kultur budaya Jawa. Mereka adalah Dr. Anton Haryono, M.A. dosen sejarah Universitas Sanata Dharma dan Dr. Robertus Suraji, Pr pastor dari Keuskupan Purwokerto.
            Pada kesempatan yang pertama, Moderator seminar memberikan kesempatan kepada Dr. Anton Haryono, M.A. untuk memaparkan makalahnya. Beliau memfokuskan pemaparannya pada sejarah Gereja yang ada di tanah Jawa khususnya daerah Yogyakarta. Dr. Anton mengatakan bahwa Gereja di tanah Jawa tidak bisa lepas dari peran serta misionaris Belanda yang dengan segala macam cara masuk dalam diri masyarakat Jawa. Gereja katolik tumbuh dalam tantangan, yakni bahwa agama katolik dianggap sebagai agama kolonial. Masalah tersebut bukanlah masalah satu-satunya melainkan ada satu masalah besar lain yakni sebagian besar penduduk pribumi yang beragama Islam.
Misionaris belajar layaknya seorang antropolog yang mempelajari kejawaan. Ditemukanlah daerah misi yakni di mana daerah itu masih menganut tradisi lokal atau oleh para antropolog seperti Koentjaraningrat dan Clifford Geertz disebut masyarakat abangan. Keberhasilan Gereja Katolik dalam menjalani sejarah hidupnya akan ditentukan oleh kesanggupannya masuk ke dalam setiap kekinian budaya masyarakat.  
            Para misionaris melihat bahwa tradisi abangan sangat menunjukkan kebiasaan injili, sebagai contoh laku hidup batiniah, keberserahan diri kepada Sangkan Paraning Dumadi, dan rasa syukur yang mendalam. Bukan sekadar masalah diri, masyarakat Jawa sangat menghargai seni wayang, gamelan, dan seni arsitektur lainnya. Maka kebudayaan Jawa yang sangat akulturatif cocok bagi pengembangan Gereja yang inkulturatif. Sampai sekarang ini inkulturasi masih sangat kental di dalam Gereja Jawa. Tetapi ada catatan penting mengenai inkulturasi ini bahwa inkulturasi harus bersifat kontekstual yakni kemampuan suatu budaya menjangkau perbedaan di antara orientasi budaya generasi muda dan generasi tua. Beliau juga mengungkapkan rasa terimakasihnya kepada Rm. Van Lith yang telah mengawali dan memulai “Menjawakan Gereja Katolik (di) Jawa.
            
Dr. Robertus Suraji, Pr melihat dari sisi yang berbeda. Beliau lebih melihat bagaimana “Allah dihayati dan dihadirkan dalam masyarakat Banyumas”. Banyumas adalah suatu daerah di Jawa dengan budaya lokal Banyumasan yang masih menjaga warisan budaya Tari Lengger, di mana penari sungguh memainkan keeksotisan tubuhnya sebagai gambaran bagaimana Allah itu hadir dalam diri para penari. Pemaknaan iman itu semakin lama semakin hilang dengan datangnya Islam di daerah Gerduren (nama kampung di mana Tari Lengger itu dilakukan). Kedatangan agama Islam sangat menentang keras perempuan yang dengan bebasnya memamerkan keerotisan tubuhnya. Mereka menekankan bahwa tubuh itu wajib untuk dihargai dan dijaga bukan malah dipertontonkan kepada kalayak ramai.
            
Dr. Robertus Suraji, Pr mengatakan,  “belajar dari Lengger desa Genduren ada hal yang bisa menjadi kesimpulan. Kebudayaan bukan sesuatu yang statis, bukan juga warisan yang dipraktekkan turun-temurun begitu saja. Kebudayaan meskipun itu suatu warisan tetapi lebih bersifat situasional. Setiap tindakan merupakan respon terhadap pengalaman hidup sehari-hari dalam lingkungan yang terbatas.” Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa kebudayaan itu bersifat dinamis, berkembang seiring dengan perkembangan zaman.Tari Lengger sudah ada sebelum Islam hadir di Gerduren, dan tari ini dilakukan pada saat menjelang masa bercocok tanam, sebagai wujud Allah yang dihadirkan dalam acara bercocok tanam agar Allah memberkati ladang mereka supaya panenan berlimpah. Tetapi kehadiran Islam membuat tari lengger menjadi tersingkirkan. Bukan hanya kehadiran Islam saja,  masalah teknologi juga semakin memojokkan tari lengger sebagai kesenian biasa dan tidak ada makna apapun. Kita wajib tahu bahwa tari lengger merupakan sarana di mana langit dan bumi dipertemukan melalui penari-penari tersebut.
Seminar ini sangat hidup, hal itu bisa dilihat dari banyaknya pertanyaan dan tanggapan yang diutarakan oleh peserta seminar. Sesuai dengan keahliannya, para pembicara juga bisa menjawab pertanyaan yang diberikan oleh penanya dengan jelas dan aktual. Seminar berakhir pada pukul 19.00 WIB yang didahului dengan penyerahan kenang-kenangan sebagai tanda ucapan terimakasih. (Wili) 

  Kembali
Lihat Arsip