AKTUALITA

Dies Natalis Fakultas Teologi XXXI

"Agama dan Budaya"

Situasi sosial di Indonesia menunjukkan bahwa peran agama dan budaya sangat besar dalam masyarakat. Agama dan budaya dipandang sebagai dua entitas yang berbeda, tetapi dalam prakteknya saling terkait satu sama lain. Apa yang menyebabkan agama tetap dapat bertahan hingga saat ini? Dari sudut pandang sosial dapat dipahami bahwa agama dapat masuk dalam budaya untuk menyentuh kehidupan manusia. Di samping itu pula, budaya menjadi jembatan bagi agama untuk menawarkan nilai-nilai ilahi yang membentuk masyarakat beriman dan beradab. Pada abad ke-21 ini agama berjuang untuk mendapatkan eksistensinya dengan memahami budaya yang terus berkembang. Hal yang nyata dan tampak adalah perkembangan budaya ke arah modernitas yang mengacu pada teknologi dan media. Kearifan lokal dianggap sudah usang dan hanya menjadi sermoni belaka. Dewasa ini, orang lebih tergiur dan tertarik beralih ke budaya modern, di mana media sosial menunjang kehidupan dan memberikan banyak hiburan. Budaya kini dipahami hanya sebatas tradisi, upacara, adat-istiadat nenek moyang. Oleh karena itu, budaya tak lebih sebagai sarana penghormatan terhadap sejarah. Persoalan muncul ketika agama yang mengandung unsur ilahi dan nilai-nilai luhur berhadapkan pada budaya modern. Bagaimana mengejewantahkan nilai-nilai agama sesuai dengan kondisi zaman?

Di hadapan modernitas, budaya dan hubungannya dengan agama, maka Fakultas Teologi Wedabhakti (FTW) – Fakultas Teologi Univ. Sanata Dharma – merefleksikan persoalan tersebut dalam Dies Natalis-nya. Tema yang diusung adalah ”Agama dalam Tantangan Keanekaragaman Budaya”. Tema tersebut menjadi benang merah atau simpul untuk seluruh rangkaian dan acara dalam Dies Natalis XXXI. Harapannya sivitas akademika fakultas sebagai generasi yang peka terhadap kebutuhan Gereja dan masyarakat mampu menghadirkan wajah Gereja di tengah perkembangan budaya.

Adapun rangkaian Dies Natalis XXXI diisi dengan berbagai perlombaan seperti lomba olahraga dari berbagai macam cabang olahraga yang diikuti oleh seluruh sivitas akademika FTW. Ada pula lomba akademik seperti cerpen, essay, fotografi, karikatur sebagai sarana mengaktualisasikan inti dari tema Dies. Lomba akademik terbuka bagi mahasiswa manapun. Perlombaan olahraga sepak bola bertempat di Mrican, volley dan futsal di Skolastikat SCJ, dan basket serta pingpong bertempat di Seminari Anging Mammiri.  Semua perlombaan tersebut berjalan dengan lancar karena dukungan dari berbagai pihak dan antusiasme dari seluruh mahasiswa.


Akhirnya, moment yang ditunggupun tiba yakni malam puncak Dies Natalis XXXI yang bertempat di kompleks FTW. Malam puncak terlebih dahulu diawali dengan ekaristi di Kapel St. Paulus Seminari Tinggi  St. Paulus. Misa dipimpin oleh Rm. E. Martasudjita, Pr. dengan empat imam konselebran. Rm. Gitowiratmo berkesempatan menyampaikan homili. Ia mengajak seluruh sivitas akademika untuk bersukacita dalam tugas dan perutusan belajar seperti halnya hidup para kudus yang pada waktu itu sedang diperingati (misa bertepatan dengan Hari Raya Semua Orang Kudus). Setelah misa selesai seluruh keluarga besar FTW melanjutkan acara malam puncak yang bertempat di kompleks FTW. Isi dari malam puncak tersebut adalah pentas seni dari masing-masing konvik/komunitas yang menampilkan kekhasan kesenian. Seminari Tinggi St. Paulus menampilkan tarian obong, dan tarian-tarian daerah ditampilkan oleh konvik-konvik SCJ, AM, CMF, CSsR. Di samping tarian juga ditampilkan band-band dari para mahasiswa. Sehubungan dengan tema mengenai dialog agama dan budaya, dalam talk show diundang salah satu alumnus FTW yang menggulati ruang dialog agama-budaya, yakni Rm. Ag. Handi Setyanto, Pr. Selain imam diosesan untuk Keuskupan Purwokerto, ia juga seorang dalang wayang wahyu. Yang tidak kalah seru adalah penampilan bintang tamu yakni Acapella Mataraman yang membawakan beberapa lagu yang menghadirkan nuansa kegembiraan dan hiburan. Di penghujung acara diumumkan para juara lomba baik olahraga maupun akademik. Akhirnya seluruh warga FTW boleh bersukacita dalam Dies Natalis. Refleksi yang dapat dipetik ialah, bahwa setiap warga FTW adalah pelaku agama dan budaya, yang perlu mengharmoniskan keduanya untuk menghadirkan keutamaan luhur di tengah masyarakat.

[laporan: Fr. Yohanes Dwi Andri Ristanto; foto: D. Bismoko]

  Kembali
Lihat Arsip