Kolom

Joko Pinurbo, Lurah Puisi Indonesia Masa Kini

10-11-2021 07:27:04 WIB 

Kesusastraan Indonesia tergolong masih muda dibandingkan dengan kesusastraan bangsa lain. Meskipun demikian, sastra Indonesia mampu berkiprah dan berkembang di tengah terpaan zaman. Dari sejak pramerdeka atau sering dikatakan era 20-an sampai pada era digitalisasi, sastra masih eksis dan amat dibutuhkan oleh masyarakat.

Sedikit Perihal Sastra Indonesia Kini

Eksistensi dan perkembangan ini tidak lain adalah peran para pahlawan kita, pahlawan sastra Indonesia yang bertaruh dengan pena yang berdarah-darah memperjuangkan sastra kita agar benar-benar mampu berdiri secara kokoh dan kukuh sebagai sastra Indonesia. Pahlawan sastra Indonesia adalah tokoh-tokoh yang bergelut dalam dunia sastra seperti penulis, penerjemah, penerbit, editor, media, kritikus, akademisi, bahkan pemerintah.

Banyak alasan mengapa masyarakat membutuhkan sastra hingga kini. Sejarah sastra Indonesia sendiri bahkan secara garis besar mencatat bagaimana dinamika masyarakat Indonesia dari masa ke masa seperti album foto besar yang tak berujung. Selain itu, dari pemberedelan demi pemberedelan, dari penghargaan demi penghargaan, sastra tak hanya sebagai omong kosong pemuas hati namun juga (oleh pahlawan bahkan oknum) digunakan sebagai corong estetika refleksi kehidupan masyarakat dan corong kritik antarkepentingan golongan. Seturut dengan perkembangan zaman, sastra pun tetap berdaya guna dan memiliki peran penting dalam masyarakat.

Gegap gempita sastra Indonesia dari media massa hingga ranah akademik bersama dengan masyarakat kiranya tidak bisa dikatakan era mana yang paling puncak dan mana yang paling rendah, karena sastra memiliki peran penting sesuai zamannya. Hal ini tentu dikarenakan para pahlawan sastra adalah bagian masyarakat yang bukan mengatmosfer sendiri, namun tetap bersinggungan dengan urusan sosial dan budaya.

Salah satu pahlawan sastra ini adalah H.B. Jassin misalnya. Ia dikenal sebagai kritikus sastra, pengarang, penyunting, penerjemah yang mumpuni, tak hanya itu ia juga berjasa karena banyak mendokumentasikan naskah-naskah sastra sehingga sampai saat ini sejarah sastra Indonesia dapat dilacak artefaknya.

Berkat jasa dan perannya itulah, H.B. Jassin tak hanya dikatakan sebagai pahlawan sastra, bahkan tersohor dijuluki sebagai Paus Sastra. Julukan  ini diberikan oleh wartawan bernama Gajus Siagian pada "Esai dan Kritik Sastra Indonesia Dewasa Ini" yang ditulis dalam majalah Kisah, Januari 1957.

Tidak seperti Sri Paus di Vatikan, kiranya H.B. Jassin sebagai Paus Sastra Indonesia tak tergantikan dan tak bisa digantikan, namun demikian para pahlawan sastra lainnya mungkin dapat diposisikan lain sesuai karya dan jasanya.

Sulit untuk mengandaikan bagaimana dinamika sastra kita kini. Sastra tidak bisa dibelenggu dengan penobatan paus baru karena memang tak ada yang bisa menandingi jasa H.B. Jassin, dan sastra tidak boleh dikerdilkan dengan adanya model sebagai patron sastra yang nantinya dapat menyunat gaya lebih-lebih perkembangan sastra.

Oleh karena itu, kiranya sastra dapat terus berkembang sesuai dengan jenisnya masing-masing dalam semangat keterbaruan menghadapi zaman dengan meneladani pahlawan-pahlawan baru. Pahlawan-pahlawan yang berdedikasi sesuai dengan bidang keahliannya ini mungkinlah kita sebut sebagai “lurah-lurah”. Lurah-lurah ini bukanlah patron sastra (meskipun secara tidak langsung banyak penggemar yang menirunya) namun lebih pada bagaimana hidupnya ia abdikan kepada khalayak dengan jalan sastra.

Kemudian patut dipertanyakan, sepulangnya Paus Sastra, apakah “Lurah Sastra” diperlukan? Dengan masing-masing bidangnya, seperti lurah puisi, lurah prosa, dan lurah drama? Tentu banyak pertimbangan mengapa sastra kita dengan beberapa sastrawan masa kini bisa dinobatkan menjadi lurah-lurah sastra.

 

Dimulai dari Puisi Indonesia

Dari ketiga genre sastra tak ada satu pun yang dapat dikatakan lebih unggul dari yang lain atau yang lebih populer dari yang lain. Namun demikian kiranya puisi dapat memulai dan menjadi sekapur sirih dinamika sastra Indonesia bersama lurahnya.

Jika membahas penyair (yang betul-betul berkiprah sebagai penyair) di benak kita muncul nama-nama mahsyur seperti Sutardji, Chairil Anwar, W.S. Rendra, Subagyo Sastrowardoyo, Linus Suryadi, Sapardi Djoko Damono, dan lain-lain. Kembali lagi perihal lurah sastra, tentu dari nama-nama tadi tak ada satu pun yang dapat dijadikan sebagai lurah puisi karena lurah adalah perihal masa kini bukan seorang maestro, legenda, atau patron sastra.

Meskipun demikian, tentu nama-nama tadi tak bisa dilepaskan kiprahnya terhadap perkembangan sastra dan bagaimana cara kita menyikapi lurah puisi Indonesia. Singkatnya, lurah puisi yang dibutuhkan adalah penyair yang betul-betul bersyair, membangun iklim sastra terbaru dan terbarukan, mengeksplorasi puisi dengan segenap nilai kemurnian sastra (bukan dagangan lebih-lebih instrumen politis), dan bagaimana menjadi anggota masyarakat yang reflektif terhadap dinamika sosial dan buadya.

Dengan demikian maka istilah lurah sastra (lurah puisi secara khusus) lebih tepat, bukannya “uskup sastra” karena yang dibutuhkan memang pengabdian dan karya terhadap sastra dan masyarakat, bukan taraf kemampuan dan kemahsyuran secara hierarkis semata.

Lalu siapa yang kiranya dapat dikandidatkan sebagai lurah puisi masa kini?

 

Mengenal Jokpin, Menimbang sebagai Lurah

Para pengamat dan penikmat puisi tentu sudah tidak asing lagi dengan penyair asal Yogyakarta ini. Joko Pinurbo atau yang kerap akrab dipanggil Jokpin adalah penyair kelahiran Sukabumi, 11 Mei 1962 alumni IKIP (sekarang universitas) Sanata Dharma Yogyakarta.

Setelah lulus ia sempat menjadi dosen di almamaternya, menjadi editor di berbagai lembaga, dan banyak berkarya di bidang sastra. Jejak kepenyairannya sudah dimulai sejak SMA, ketika itu banyak karyanya dimuat di media massa. Namanya mulai melambung sejak lahirnya buku antologi puisi Celana (1999) yang diterbitkan oleh Indonesia Tera, Magelang, diterbitkan ulang oleh Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (Februari, 2018), dan jangan ditanya sudah berapa ratus pembajak dan lapak buku bajakan juga mencintainya.

Menurutnya perjalanannya berpuisi tidaklah mulus, banyak rintangan, bahkan Jokpin pernah membakar banyak sajak-sajaknya yang dirasa gagal. Semangatnya tak pernah padam, belajar dan terus mengeksplorasi mencari gaya berpuisi mana yang menurutnya nyaman, lalu buku demi buku kian berlahiran dari berbagai penerbit dan begitu banyak penghargaan yang telah diraihnya.

Misalnya, Penghargaan Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta (2001), Sih Award (2001), Hadiah Sastra Lontar (2001), Tokoh Sastra Pilihan Tempo (2001, 2012), Penghargaan Sastra Badan Bahasa (2002, 2014), Kusala Sastra Khatulistiwa (2005, 2015), dan South East Asian (SEA) Write Award (2014), Anugerah Kebudayaan Gubernur DIY (2019), Buku Akik Award (2020), dan berbagai pencapaian lainnya. Karya-karyanya pun sudah banyak diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Jerman, dan Mandarin.

Menimbang Jokpin sebagai lurah puisi kiranya tak diragukan lagi, indikatornya bukan sesederhana karena deretan panjang penghargaan di atas saja, namun kemurnian hatinya yang mengalir bersama murninya puisi. Penulis puisi Perjamuan Khong Guan itu pun bahkan menegaskan dalam buku Bermain Kata Beribadah Puisi bahwa urusan dia bersama puisi belumlah selesai.

Keteguhan hatinya terhadap puisi amatlah intim dan sakral, padahal perihal puisi jika dunia masih berputar artinya terus akan berlahiran ide-ide, gaya, tema baru untuk dipuisikan, maka artinya ia tak akan pernah meninggalkan jalan perpuisian. Meskipun demikian ia terkadang menulis selain puisi, novel misalnya. Novel Srimenanti (2019) yang katanya lebih sulit pengerjaannya dibanding puisi toh ternyata novel puitis pula, seperti gaya Sapardi tapi nakal, satire, dan humornya tetap gaya Jokpin.

 

Pewartaan Puisi Gaya Baru

Lebih lanjut apabila Jokpin ditahbiskan sebagai lurah puisi Indonesia, seperti halnya Chairil Anwar yang konon membimbing kemerdekaan gaya yang liris-romantis saja menjadi gaya yang lebih bebas dan pendalaman ekspresif, Jokpin pun kini dengan gayanya yang jenaka, satire, ironi, eksistensialis, dan berbahasa sederhana ini memerdekakan gaya puisi “yang melemahkan iman”.

Gaya puisi yang melemahkan iman menurut Jokpin adalah gaya-gaya puisi konvensional yang kurang dalam eksplorasinya, romantis yang penuh sanjungan, dan tidak meninggalkan kesan apa-apa, namun pada mulanya Jokpin pun pernah menggunakan gaya yang seperti itu hingga ia menemukan gayanya sendiri.

Ignas Kleden dalam pembukaan buku puisi Jokpin Di Bawah Kibaran Sarung dengan cermat dan mendalam mengemukakan “gaya baru” yang patut diperhitungkan dalam perkembangan puisi dan bahkan disebut sebagai suatu seismograf kebudayaan karena puisi-puisi Jokpin adalah puisi yang mampu mengaitkan topik manusia dengan isu kebertubuhan, kebudayaan, masyarakat, dan religiositas.

Sebagai penutup dan pengukuh mengapa Jokpinlah yang patut ditahbiskan sebagai lurah puisi, dalam esainya ia menyatakan bahwa kecintaan terhadap sastra adalah mekarnya minat baca dan penghargaan atas nilai spiritual dan intelektual, bukan praktik hidup yang semata-mata pragmatis-ekonomis.

 

Referensi

Adryamarthanino, Verelladevanka. 2021. “HB Jassin, Paus Sastra Indonesia”. https://www.kompas.com/stori/read/2021/11/04/090000679/hb-jassin-paus-sastra-indonesia?page=all. Diakses pada 06 November 2021.

Anjani, Hanum P. 2016. “Sebelum Terkenal Seperti Sekarang, Penyair Joko Pinurbo Pernah Bakar Ratusan Puisinya”. https://www.idntimes.com/life/education/francisca-christy/sebelum-dikenal-penyair-jok-pinurbo-pernah-bakar-ratusan-puisinya/3. Diakses pada 06 November 2021.

Halidi, Risna dan Bahtiar, Aflaha R. 2021. “Penyair Joko Pinurbo: Bahasa Sehari-Hari Bisa Jadi Bahan Menulis Puisi”. https://www.suara.com/lifestyle/2021/09/23/194338/penyair-joko-pinurbo-bahasa-sehari-hari-bisa-jadi-bahan-menulis-puisi?page=all. Diakses pada 06 November 2021.

Pinurbo, Joko. 2001. Di Bawah Kibaran Sarung. Magelang: Indonesia Tera.

___________. 2019. Bermain Kata Beribadah Puisi. Tia Setiadi (Ed.). Yogyakarta: Diva Press.

Resty, Erisha. 2021. “Biografi Joko Pinurbo, Sang Penyair Eksentrik Asal Jogja”. https://www.kepogaul.com/tokoh/biografi-joko-pinurbo/. Diakses pada 06 November 2021.

Tim Penyusun Ensiklopedia Indonesia. 2021. “Paus Sastra”. http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Paus_Sastra. Diakses pada 06 November 2021.

 

Penulis: Sarwo Edi Wardana | Gambar: Gatra.com

 kembali