Karya

Cerpen - Penyanyi Kesayangan Tuhan

06-04-2022 10:49:19 WIB 
Langit sudah berubah menjadi oranye kemerahan. Lampu-lampu jalan perlahan mulai dinyalakan. Mataku melirik jam yang ada di dasbor mobil. Sudah pukul enam sore dan aku masih terjebak dalam kemacetan kota Jakarta. Aku mengetuk-ngetuk setir mobil sambil memikirkan putriku yang sedang menunggu di rumah sakit. Kulirik kotak kue tart stroberi yang ada di bangku penumpang. Kue itu kesukaan Gloria, putriku. Lalu aku bersumpah serapah dalam hati karena kemacetan ini dan karena bosku yang tiba-tiba memberikan pekerjaan yang tak manusiawi di jam-jam pulang. Aku sekarang jadi telat untuk menghampiri Gloria di rumah sakit.

Aku memikirkan bagaimana keadaan anak itu sekarang. Apakah dia bernapas dengan baik? Apakah dia sudah minum obatnya? Ah… aku selalu pilu ketika mengingat kondisi Gloria. Putri tunggalku itu sudah sakit sejak umurnya satu tahun, dia mengidap penyakit paru-paru langka yang membuatnya kesulitan untuk bernapas. Biaya perawatannya pun tidak sedikit, aku bahkan harus mengambil pekerjaan tambahan untuk menambah biaya perawatannya. Aku tidak masalah dengan hal itu. Gloria adalah satu-satunya yang aku miliki sekarang. Ayahnya meninggalkan kami untuk perempuan lain ketika Gloria masih berumur enam bulan. Aku pun menjadi orang tua tunggal bagi putriku itu. Aku pun hancur sendirian ketika tahu Gloria tidaklah seperti anak seusianya. Namun, aku tidak mempermasalahkan itu. Aku tetap berjuang mencari uang untuk Gloria agar dia bisa sembuh. Aku sangat ingin dia sembuh. Aku ingin dia bisa menikmati hidupnya seperti anak-anak yang lain. Meski sering kali aku takut jika Gloria tiba-tiba saja pergi ketika aku tidak bisa menyembuhkannya. Air mata perlahan turun dari mataku. Aku menangis, kugenggam erat-erat setir mobil itu sampai bunyi klakson dari mobil belakang membuyarkanku. Aku pun tancap gas menuju ke rumah sakit.

♪ ♪ ♪
Setelah tiga puluh menit, aku pun sampai ke rumah sakit tempat Gloria dirawat. Kuparkirkan mobilku, lalu mengambil kue tart di bangku penumpang, kemudian turun dari mobil. Aku melangkahkan kakiku masuk ke rumah sakit. Aku berpapasan dengan suster yang sering menjaga Gloria ketika aku bekerja. Namanya Suster Mawar.

“Oh! Bu Carla! Mau ketemu Gloria, ya?” tanyanya tersenyum hangat kepadaku.

“Iya, Suster. Dia lagi tidak tidur kan?” tanyaku balik

“Tidak, kok, Bu. Dia barusan selesai mandi. Mari saya antarkan sekalian saya mau ke kamar pasien di sebelah kamarnya Gloria.” Kami pun berjalan beriringan, saling bertanya kabar. Lalu kami pun berpisah saat kami sampai di depan pintu kamar Gloria yang dihiasi stiker-stiker musik. Aku selalu tersenyum ketika melihat pintu Gloria. Anak itu sangat mencintai musik dan ingin menjadi penyanyi. Namun, kondisinya membuat impian itu harus tertunda sebentar. Aku mengetuk pintu lalu perlahan masuk. Kulihat Gloria yang sibuk memainkan ukulelenya yang berwarna biru. Gloria menoleh ke arahku lalu tersenyum kegirangan.

“Bunda!” katanya sambil buru-buru bangkit sampai lupa menarik tabung pernapasannya. Dia pun terjatuh dan aku langsung menangkapnya. Aku mendudukkannya di kasurnya kembali lalu menaruh kue tart stroberi yang kubawa di meja samping kasurnya. Aku menatapnya, tersenyum hangat kepadanya, lalu mengelus rambut panjangnya.

“Bunda telat,” ucapnya sambil memasang raut wajah kesal. Aku gemas sampai mencubit pipi tembamnya.

“Iya, maaf, ya. Bunda jadi buat kamu nunggu. Sebagai tanda permintaan Bunda, Bunda bawain kue tart kesukaan kamu,” kataku sambil membuka kotak kue tart stroberi. Raut wajah Gloria kembali sumringah. Aku tahu dia tidak bisa menolak makanan penutup kesukaannya itu. Dia mengambil kue itu dari tanganku, lalu memakannya. Aku tersenyum menatapnya yang lahap memakan kue itu.

“Hari ini ngapain aja?” tanyaku sambil menuangkan air putih ke gelasnya.

“Aku tadi jalan-jalan ke taman. Ketemu anjing putih yang lucu, aku main deh sama dia. Terus aku seperti biasa bernyanyi dengan empat temanku yang aku pernah ceritakan ke Bunda,” terangnya. Aku tahu empat teman barunya Gloria. Mereka awalnya bertemu di taman dan berakhir menjadi teman dekat. Mereka berlima memiliki hobi yang sama yaitu musik. Mereka sering bernyanyi bersama, bermain alat musik bersama, mendengarkan musik bersama, bahkan bertukar ulasan mengenai musik dan lagu-lagu kesukaan mereka. Aku tentu senang ketika tahu Gloria memiliki teman di rumah sakit ini. Setidaknya dia tidak kesepian di sini ketika aku sibuk bekerja.

“Terus hari ini kamu belajar alat musik enggak sama Paman Ken?” tanyaku yang membersihkan noda krim di pipi Gloria. Gloria pun menggeleng.

“Paman Ken belum datang padahal aku sudah menunggunya dari tadi. Aku ingin menanyakan ukulele ini.” Gloria pun menunjukkan ukulelenya yang tergeletak di sampingnya itu. Aku mendengus. Lagi-lagi Ken telat mengajari Gloria musik. Pria serampangan kenalanku itu kadang kala suka tidak tahu diri dan tidak tanggung jawab terhadap pekerjaannya. Aku pun bangkit mencari nomor Ken di kontakku. Namun, beberapa detik kemudian, pria itu muncul dengan kondisi yang berantakan. Dia memperlihatkan senyum giginya kepadaku. Lalu masuk ke kamar Gloria. Gloria menyapanya senang sedangkan aku menatapnya kesal.

“Maaf telat. Tadi saya bantuin paman buat mengecat rumah dan saya terjebak macet. Ponsel saya pun mati karena habis baterai jadi lupa memberitahu,” terangnya seakan tahu aku meminta penjelasan. Ken duduk di samping Gloria. Putriku itu menawarkan kue tart kepadanya, Ken pun menyambutnya dengan senang hati. Ken dan Gloria sangat akrab, mereka sering menghabiskan waktu bersama untuk belajar musik. Mereka pun akhirnya tenggelam dalam dunia yang hanya mereka berdua saja yang tahu. Aku diam memperhatikan mereka dari kursi dekat jendela. Mereka saling melontarkan candaan dan ejekan, tertawa bersama, dan berlatih ukulele bersama. Aku tenang karena Gloria memiliki Ken di sampingnya untuk belajar musik, setidaknya Gloria jadi lebih dekat dengan impiannya. Lamunanku terhenti dengan pertanyaan Ken.

“Gloria bikin lagu baru lagi?” Anak gadis bersurai hitam panjang itu mengangguk.

“Aku dapat ide tadi, jadi kutulis saja. Aku akan menyanyikannya jika waktunya tiba.” Gloria sering membuat lagu buatannya sendiri namun belum ada satu lagi yang dia bisa nyanyikan. Lagi-lagi kondisi tubuhnya membuatnya tidak bisa merekam lagu itu. Gloria pun mengajakku untuk bergabung dengan mereka. Kami bertiga tertawa bersama sampai ketukan pintu menghentikannya. Dokter datang untuk memeriksa Gloria. Setelah beberapa menit, dokter memintaku untuk berbicara di luar bersamanya. Ken tahu hal itu lalu dia yang menemani Gloria ketika aku ke luar.

♪ ♪ ♪
Dokter memberikan hasil pemeriksaan Gloria tiga hari yang lalu. Kondisi Gloria ternyata semakin memburuk. Paru-parunya sudah semakin susah untuk bekerja dengan baik. Aku terdiam mendengar perkataan dokter itu. Rasa takut dan panik pun perlahan menyebar ke seluruh saraf tubuhku. Sampai dokter memberikan satu pertanyaan yang membuatku bingung.

“Gloria bisa sembuh.” Dokter itu diam menatapkan.

“Gloria bisa sembuh dengan operasi yang lakukan oleh ahli bedah luar negeri. Saya sudah memintanya untuk mengoperasi Gloria. Seperti yang Ibu tahu kasus Gloria ini sangat langka dan beberapa tahun belakangan ini ahli bedah yang saya katakan bisa menyembuhkan pasien yang memiliki kasus yang mirip dengan Gloria dan pasien itu bisa sembuh.” Aku bisa merasakan ada harapan dalam hatiku. Gloria bisa sembuh dan hal itu yang paling aku inginkan. Harapan itu meredup kembali kala dokter melanjutkan perkataannya.

“Namun, keberhasilannya hanya lima puluh persen. Setiap pasien memiliki kondisi tubuh yang berbeda, jika pasien itu prima maka proses pemulihannya pun akan berjalan dengan baik. Akan tetapi jika pasien tidak prima, kondisinya bisa drop. Maka dari itu, saya akan berikan beberapa dokumen yang terkait dengan operasi ini. Ibu Carla bisa memikirkannya terlebih dahulu. Saya tahu bahwa ini akan sangat sulit buat ibu memutuskan. Jadi saya akan beri waktu,” ucap dokter itu panjang lebar, menyerahkan dokumen-dokumen itu kepadaku lalu pamit.
 Aku terduduk lemas di bangku rumah sakit. Menggenggam erat dokumen-dokumen itu. Aku memutuskan membacanya di kafetaria rumah sakit, aku sudah memberitahu Ken untuk menemani Gloria terlebih dahulu. Kubaca setiap kata yang ada dalam dokumen itu. Aku mencoba memahaminya. Butuh dua jam setengah aku menyelesaikan dokumen-dokumen itu. Setelah membacanya malah membuatku kepalaku pusing. Aku cukup terganggu dengan ucapan dokter tadi tentang keberhasilan lima puluh persen itu. Aku sangat khawatir jika hasilnya adalah kebalikannya. Kuremas ujung kemejaku. Aku sangat takut kehilangan Gloria namun aku juga ingin Gloria bisa sembuh. Kebimbangan dan keputusasaan menyelimutiku. Aku harus mendiskusikan ini kepada orang lain dan Ken adalah orang yang tepat. Dia cukup rasional dan kritis ketika dimintai pendapat.

Aku kembali ke kamar Gloria dan mendapati putri kecilku itu telah berlarian di alam mimpi. Aku meminta Ken untuk keluar sebentar, meminta pendapatnya. Aku ceritakan semuanya kepada Ken, pria itu diam mendengarkan sambil memahami apa yang aku ingin tanyakan.

“Terima saja, Carla,” katanya tenang. Perkataannya itu semakin membuatku resah dan takut.

“Tapi, aku takut, Ken. Kamu tahu kan kalau aku cuma punya Gloria. Ketika semua orang bahkan keluargaku meninggalkanku sendirian, cuma Gloria yang bisa bikin aku bertahan sampai detik ini. Aku memang ingin sekali dia sembuh tapi aku enggak sanggup kalau kehilangan dia.”

“Kamu terlalu takut, Carla sampai membuat kamu tidak melihat adanya kesempatan yang diberikan Tuhan untuk kesembuhan Gloria. Iya, saya tahu kamu sangat takut kehilangannya, begitu juga dengan saya. Saya sudah sayang sama dia sejak umurnya enam tahun, saya juga khawatir dia pergi meninggalkan kita. Tapi, mari lihat sisi baiknya, Carla. Mari kita berpikir yang positif kalau dengan operasi ini Gloria bisa sembuh,” terangnya sambil menatapku hangat.

Aku terdiam. “Aku bingung harus memilih yang mana, Ken. Pikiranku terlalu berisik sekarang. Aku takut… Gloria… dia…” suaraku tercekat. Air mataku turun namun buru-buruku hapus. Sampai kudengar sebuah suara.

“Setujui saja, Bunda.” Gloria keluar dari kamarnya menarik tabung pernapasannya. Aku dan Ken langsung membawanya masuk kembali dan menidurkannya di kasur.

“Aku sudah tahu bahwa kapan pun aku bisa saja dioperasi. Jadi tolong setujui operasi itu. Bunda mau aku sembuh kan? Aku pengen bernapas tanpa tabung, Bunda,” katanya menatapku dengan mata yang ingin menangis.

“Bunda tidak bisa setujui gitu saja. Ini soal hidup-matimu. Bagaimana kalau… kalau… kamu pergi ninggalin, Bunda?” tanyaku dengan air mata yang jatuh ke pipi. Gloria tersenyum kecil dan menghapus air mataku.

“Itu kehendak Tuhan, Bunda. Kita hanya bisa berusaha dan berserah kepada Tuhan. Kalau memang Tuhan mengizinkan operasi ini berjalan lancar ya syukurlah, namun kalau tidak aku tidak masalah. Setidaknya selama enam belas tahun ini aku bisa melakukan apa yang aku impikan,” ucapnya sambil menggenggam tanganku. Aku menangis tersedu-sedu. Aku bilang padanya bahwa aku tidak sanggup kehilangannya. Namun, hanya kata “setujui saja, Bunda” lah yang keluar dari mulutnya itu. Aku marah, kulepas genggaman tangannya.

“Kamu tahu kan kalau keberhasilannya hanya lima puluh persen, Gloria! Lima puluh persen. Gimana kalau yang terjadi sebaliknya?” nada suaraku meninggi. Kami pun cekcok. Saling mengeluarkan suara tinggi, beradu siapa yang bisa menang dalam pertarungan ego ini.

“Cukup, Bunda! Aku mau operasi ini dijalankan! Aku mau bernapas bebas! Aku mau seperti anak-anak yang sebayaku! Aku capek, Bunda! Capek hidup seperti ini terus!” Gloria menangis. Aku menatapnya sedih. Gloria berkata lagi bahwa aku harus menyetujuinya.

“Jika operasi ini berhasil, tolong bantu aku merekam lagu-lagu buatanku, Bunda. Jika tidak, aku punya satu permintaan,” ucapnya. Gloria menjelaskan permintaanya itu dan tentu membuatku lemas tak berdaya. Aku menangis dalam diam.

“Gloria, mana ada seorang ibu yang mampu melihat anaknya seperti itu?” kataku sambil meninggalkan kamarnya begitu saja. Aku terlalu kalut dan membutuhkan waktu sendiri. Sampai beberapa hari setelahnya aku memutuskan untuk menyetujui operasi itu. Aku mengurus administrasinya dan juga permintaan Gloria itu.

Kini aku bersama dengan Ken menunggu di luar kamar operasi. Aku terus berdoa kepada Tuhan agar operasi ini berjalan lancar. Ken menggenggam tanganku yang gemetar ketakutan seakan dia tahu bahwa aku tidak baik-baik saja. Saat aku kalut dengan pikiranku, empat teman Gloria datang menjenguk. Mereka memberikanku semangat dan membantuku mendoakan kelancaran operasi ini.

“Gloria anak yang kuat, Tante,” ucap gadis bernama Mila, pasien penyakit jantung.

“Betul. Dia selalu menyemangati kami yang kadang suka putus asa,” kata gadis bernama Tia, pasien yang matanya buta.

“Yakin, saja Tante, Gloria tidak semudah itu menyerah atas hidupnya,” tambah gadis bernama Sella, pasien penyakit hati.

“Iya, dia sangat ingin menjadi penyanyi. Pasti dia akan sembuh setelah ini,” timpal gadis bernama Nala, pasien penyakit ginjal.

Aku tersenyum kepada mereka semua. Akhirnya kami menunggu sampai operasi Gloria selesai dan dengan kebesaran hati Tuhan, operasi Gloria berjalan lancar. Beberapa minggu kemudian, Gloria sudah bisa bernapas secara bebas. Dia bisa beraktivitas secara normal. Dia kegirangan saat bisa menghidu aroma kopi, pengharum ruangan, parfum, mis instan, dan lain sebagainya. Gloria pun berhasil merekam lagu-lagu ciptaannya di studio rekaman milik Ken. Gadis itu sangat bahagia sampai malaikat pun iri dengan senyuman di wajahnya.

♪ ♪ ♪

Aku melirik jam tanganku. Ini sudah waktunya konser dimulai namun Ken belum juga datang. Aku mendengus kesal dan ingin menelponnya, dan seperti biasa ketika Ken ingin ditelepon, pria ini sudah berada di depanku. “Maaf saya telat lagi.” Aku mendengus kesal lalu mengajaknya masuk.

“Gloria pasti bangga sama kamu, Carla,” ucap Ken sambil tersenyum hangat. Aku menghela napas dan tersenyum.

“Tidak. Aku yang harusnya bangga kepadanya. Lihatlah dia tidak di sini namun banyak orang yang ingin mendengarkan lagunya.” Aku menatap kosong ke depan. Ken menepuk bahuku lembut.

“Udah. Jangan gitu lagi. Gloria bakal sedih di sana kalau tahu Bundanya sedih seperti ini.”
Aku tersenyum. “Orang tua mana yang tidak sedih kala tahu anaknya pergi mendahuluinya? Aku masih terus menangisi kepergian putri kecilku itu. Ini sudah empat tahun sejak dia pergi dan aku selalu merindukannya dan akan terus begitu, Ken.”

“Namun, Tuhan tidak sejahat itu meninggalkanmu seorang diri tanpa Gloria, kan?  Tuhan memberikanmu empat gadis bertalenta yang menemanimu untuk meneruskan mimpi Gloria di dunia ini.” aku tersenyum menatapnya dan tak terasa air mataku turun. Aku buru-buru menghapusnya dan dari belakang kudengar suara yang memanggilku.

“Bunda!” Aku dan Ken menoleh ke arah suara itu. Aku melihat keempat gadis muda berdiri di depanku dengan senyum sumringah mereka. Iya, mereka adalah Mila, Tia, Sella, dan Nala. Keempat gadis inilah yang menerima sumbangan organ dari Gloria empat tahun lalu.

Empat tahun lalu, ketika Gloria selesai meniup lilin ulang tahunnya, kondisinya tiba-tiba drop dan membuatnya koma. Lalu ketika sadar Gloria mengingatkanku pada permintaannya ketika mau dioperasi beberapa minggu lalu. Dia memintaku untuk menyumbangkan organnya kepada empat teman dekatnya itu. “Aku ingin menyelamatkan mereka untuk yang terakhir kalinya, Bunda.” Begitu katanya.

Dan saat itu, Tuhan pun meminta Gloria untuk kembali ke pangkuan-Nya yang hangat. Gadis kecilku itu tertidur cantik untuk selamanya. Meninggalkan impiannya di dunia ini, meninggalkan semua kenangannya, meninggalkanku selama-lamanya dan menitipkan empat teman dekatnya kepadaku untuk menemaniku sampai aku bertemu dengannya kelak.

Kini, Gloria menjadi penyanyi kesayangan Tuhan sebelum dia menjadi penyanyi kesayangan manusia di dunia yang fana ini. Sesuai namanya, Gloria akan terus memuji nama Tuhan di keabadian sana.


Penulis: Indi Kusuma Hati l Gambar: Freepik
 kembali