Universitas Sanata Dharma

Program Pasca Sarjana

Loading

BERITA KEGIATAN

ASCOLTACI #3
S2 Ilmu Religi dan Budaya | 17 April 2015
ASCOLTACI #3 :: Fakultas Pasca Sarjana USD Yogyakarta

SEMINAR ASCOLTACI KETIGA: WAJAH DAN MASYARAKAT CINA DALAM SASTRA DAN NEGARA

 

Setelah Ascoltaci pertama dan kedua sukses digelar bulan September dan Oktober lalu, pada Jumat, 21 November 2014, Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma kembali mengadakan Ascoltaci untuk yang ketiga kalinya. Ascoltaci yang ketiga ini diberi judul “Wajah dan Masyarakat Cina dalam Sastra dan Negara”. Seminar kali ini memaparkan hasil penelitian thesis Alwi Atma Ardhana, pembicara utama. Sebagai pengulas dan penanggap secara kerangka teoretis hadir Umar, salah satu mahasiswa aktif pascasarjana IRB. Sementara itu Halim HD, seorang networker kebudayaan dari Solo, yang juga merupakan keturunan Tionghoa menjadi penanggap sebagai pembaca sastra. Ia aktif dalam lapangan praktek kebudayaan dan mempunyai pengalaman-pengalaman menarik soal stereotipe Cina yang ada. Hal itulah yang diceritakan Halim HD.  

Sebagai moderator, Wahmuji memberi pengantar bahwa dalam keseharian kita sering hadir candaan rasis mengenai masyarakat Cina. Ada semacam ketidaksadaran yang muncul dalam keseharian ketika membicarakan masyarakat Cina. Nah, menurut Wahmuji ketidaksadaran itu tidak lahir serta merta. Ternyata ada peran negara di dalamnya. Terlebih political correct-nya SBY, tidak boleh lagi menyebut Cina, harus diganti dengan Tiongkok. Hal inilah yang kemudian dijabarkan Alwi dalam presentasinya di seminar ini.

Ada pun mengenai penelitiannya, Alwi menjelaskan bahwa penelitian ini fokus pada wajah masyarakat Cina yang hadir dari karya sastra mengenai masyarakat Cina dalam hubungannya dengan negara sebagai pembuat kebijakan dan memposisikan masyarakat Cina di Inonesia. Negara dalam hal ini punya peranan besar terhadap simplifikasi besar-besaran atas ke-Cina-an yang ada di Indonesia. Hal ini kaitannya dalam studi pascakolonial, sastra dan negara. Negara dalam hal ini dilihat dalam tiga periode sejarah, yaitu masa kolonial (politik etis), orde baru, dan reformasi di mana novel ini hadir. Ada pun enam karya sastra yang menjadi obyek penelitian Alwi adalah Drama di Boven Digul (Kwee Tek Hoay), Lucy Mei Ling (Motinggo Busye), Ca Bau Kan (Remy Silado), Aceng Botak (Idris Pasaribu), Putri Cina (Sindhunata), dan Dinsum Terakhir (Clara Ng). Pencarian Alwi di dalam karya sastra tersebut adalah symptom yang hadir ketika simplifikasi ke-Cina-an itu dilakukan oleh aparatus negara (meminjam aparatus negara Althusser), dengan menggunakan teori kritis psikoanalisa Zizek. Dalam teori psikoanalisa Zizek yang ketiga, bahwa ideologi dari luar diri kita itu sudah mengakar dalam ke dalam diri dan hadir dalam bahasa sehari-hari yang sulit dibedakan, apakah itu ide asli atau ide dari hegemoni yang sudah kuat di dalam diri.    

Sebagai penanggap, Umar melihat bahwa akar kompleksitas persoalan Cina yang dilihat Alwi dalam karya sastra, bisa dilihat dari akar sejarah yang panjang terhadap relasi ekonomi/bukan relasi rasial oleh negara. Hegemoni ideologi penguasa dalam tiga periodesasi sejarah tadilah yang kemudian hadir di sehari-hari kita, hadir di dalam bahasa karya sastra yang dipilih Alwi. Ketidaksadaran (dalam teori psikonalisa) penulis mewakili dirinya dalam narasi sastra melihat masyarakat Cina. Salah satu bentuk symptom yang hadir berupa superioritas orang Cina terhadap pribumi karena waktu zaman Kolonial ditempatkan dalam kelas kedua setelah Belanda dan pejabat pribumi, dan terakhir pribumi. Menurut Umar, orang Cina dalam hal ini tidak benar-benar 100% menderita karena posisinya di zaman kolonial lebih tinggi dari pribumi. Di zaman orde baru walaupun secara kultural tidak dapat beraktivitas bebas, namun memiliki kedekatan dengan penguasa orde baru, bahkan menjadi perumus kebijakan ekonomi Indonesia. Di masa reformasi, Cina ditempatkan pada perayaan multikulturalisme. Sastrawan, lanjut Umar, punya wewenang dan kesempatan untuk menciptakan narasi tandingan melawan hegemoni dominan, dalam hal ini negara.

Sementara itu Halim HD sebagai keturunan Tionghoa mengalami banyak ejekan rasial, tidak hanya dari orang luar Cina, tetapi justru lebih parah dari orang Cina itu sendiri. Halim HD mengungkapkan bahwa adanya kanibalisme di dalam masyarakat Cina. Halim HD berharap penelitian Alwi bisa melihat sejauh itu, karena yang dikatakan Cina itu bermacam-macam. Cina itu tidak satu kesatuan yang tunggal, namun terdiri dari banyak golongan. Halim HD justru mengatakan ia tidak bertemu dengan sosok negara dalam hal ini, namun kanibalisme dalam tubuh orang Cina itu sendiri dan stereotipe yang hadir di masyarakat. Kemudian Halim HD mengungkap bahwa modernisasi dan percepatan teknologi informasi itu sangat mempengaruhi masyarakat Cina hari ini. Terlebih pengaruh reformasi, di mana terjadi mandarinisasi dan keran berekspresi secara kultural dibuka seluas-luasnya dan eforia itu terjadi di masyarakat Cina.

Menarik pertanyaan dari Arham, mahasiswa pascasarjana IRB mengenai relevansi membicarakan Cina hari ini, yang dijawab Alwi, bahwa masih relevan dengan kesadaran sejarah sebagai tempat berpijak dan dengan catatan, untuk tidak tidak menggunakannya lagi. Pada sesi diskusi berlangsung sangat antusias. Enam penanya dan masukan yang berharga untuk hasil penelitian Alwi ini. Acara ini dihadiri oleh mahasiswa, alumni USD, dan kampus lainnya di Yogyakarta, serta pengamat masyarakat Cina dan seniman. Ruang dan forum diskusi menjadi lebih rileks dan geger ketika grup musik Beringin Soekarno tampil bersama Zuhdi Sang. (Linda’14)

 

lihat berita S2 Ilmu Religi dan Budaya lainnya>>
hal. 1  2  3  4  5  ...  9
Lokasi

Kampus II
Universitas Sanata Dharma,
Mrican, Catur Tunggal, Depok, Sleman,
Yogyakarta 55281
Telp. (0274) 513301, 515352 Fax. (0274) 562383 - Telegram: SADHAR YOGYA ext. 1501

Jam Kerja