Universitas Sanata Dharma

Program Pasca Sarjana

Loading

BERITA KEGIATAN

Lokakarya Kajian Seni & Masyarakat: Strategi Budaya, Seni, Telnologi dan Masyarakat
F.PS | 11 December 2015
Lokakarya Kajian Seni & Masyarakat: Strategi Budaya, Seni, Telnologi dan Masyarakat :: Fakultas Pasca Sarjana USD Yogyakarta

Fenomena di mana seni lebih banyak mengubah masyarakat. Akan tetapi ketika memasuki seni lebih jauh, kenyataannya seni tidak bisa dipisahkan dari teknologi (terutama pada tataran penciptaan) dan ekonomi (pada tataran distribusi). Ada semacam lingkaran setan dalam wilayah ini. Usaha membicarakan seni tidak lagi secara monolit dan monoton. Oleh karena itu pendirian Prodi S3 Kajian Seni dan Masyarakat ini menggunakan pendekatan art, science, technology, and society. Telah dihimpun sejumlah kalangan seni dan fisikawan untuk ikut bergabung. Hal ini sebagai jalan pembuka untuk mendalami seni bukan semata-mata persoalan ekonomi, tetapi seni sebagai bahasa kemanusiaan. Hal inilah yang ingin digali dan dikembangkan agar berguna bagi masyarakat. Lalu bagaimana ini diwujudkan? Bagaimana harapan terhadap seni dapat mengubah masyarakat lebih berkualitas dan sebaliknya bagaimana mengharapkan masayarakat supaya meningkatkan kualitas seni. Persoalan ini banyak dibahas dalam lokakarya yang berlangsung dari pukul 09.10 wib hingga pukul 13.00wib yang dimoderatori oleh Dr. St. Sunardi. Dalam lokakarya ini juga, musik klasik (duo cello dan gitar) yang dipertunjukkan oleh Asep, Nia, dan Hendra menjadi teks yang memperkaya pengalaman apresiasi peserta.

Pembicara pertama, Garin Nugroho memberikan alternatif jawaban terhadap pertanyaan di atas. Dari dua kerja institusi festival, LA Indie Light Movie dan Jogja Asian Film Festival (JAFF), Garin menceritakan pengalaman mengenai bangunan masyarakat dalam hubungan antara seni, teknologi, dan ekonomi. Pertama, soal keprihatinan yang berkaitan terhadap strategi kebudayaan. Bagaimana masyarakat bisa menerjemahkan “energi/modal” yang dimiliki ke dalam seni. Kedua, strategi kebudayaan berkaitan dengan proses kreatif, berkaitan dengan orang-perorangan, serta komunitas dan organisasi seni lainnya. Bagaimana masyarakat dan seniman mengembangkan diri supaya menghasilkan karya yang tidak terisolasi dari lingkungannya. Ketiga, soal kedudukan teknologi. Kita memang konsumen teknologi, tetapi ternyata belum sampai pada membangun tatanan masyarakat yang teknologis.

Strategi budaya adalah cara bertindak, berpikir, serta bereaksi dari pemerintahan dengan mengelola kebijakan politik dan pengambil keputusan mengelola manajemen keuangan negara untuk digerakkan bagi sumber-sumber kreativitas dan apresiasi. Selama ini proses kreasi tumbuh, tetapi apresiasi untuk menonton dan mengelola karya-karya yang bagus tidak terjadi, maka akan timbul ketimpangan yang besar. Seperti halnya pendidikan, selera (cita rasa) terhadap kesenian dan budaya masyarakat juga harus ditumbuhkan. Selera adalah kumpulan paling erat antara pengetahuan, cita rasa seseorang, dan psikologi dalam kehidupan mereka. Strategi budaya harus dibangun dengan sangat lebih praktis dan bisa diterapkan dalam modal sosial yang dimiliki.

Di sisi lain, harus mengembangkan apa yang disebut dengan pendidikan dan pemberdayaan apresiasi terhadap karya seniman ataupun organisasi, maupun komunitas dalam membangun strategi budaya bagi gagasan-gagasan karyanya. Tiga segi ruang lingkup yang perlu dan menjadi ciri khas pengembangan komunitas adalah segi budaya populer, herritage, dan budaya-budaya alternatif. Strategi budaya individu, organisator, maupun komunitas yang bisa mempertanyakan lima fungsi karya (fungsi sosial-kemanusiaan, edukatif, religius, politis, dan ekonomi) akan memperoleh peta untuk mengelola peta dana. Strategi budaya yang bagus, dengan sendirinya menghasilkan pola ekonomi yang bermanfaat untuk masyarakatnya. Strategi budaya juga harus bekerja pada pemanfaatan ruang publik dan media publik (televisi dan media cetak) dalam peningkatan apresiasi, fasilitas, informasi, kenyamanan, dan kode etik yang harus dimiliki.

Ke depan, kita akan menghadapi masyarakat di mana seluruh pola-pola bangunan perkembangannya dipengaruhi oleh media sosial baru. Dengan media baru ini, seniman bisa menjadikan media sosialnya sebagai sebuah outlet, galeri, museum, studio, dan pertemuan dengan audiensnya. Namun, karya seni yang berhubungan dengan science masih belum banyak. Sistem perbengkelan dalam dunia seni juga harus dikembangkan lebih luas karena dapat memicu kreativitas seniman. Hal ini perlu ditumbuhkan, sehingga tidak hanya jasa dan seni, tetapi juga pengetahuan dan seni menjadi konsumsi yang luar biasa di dalam hubungan antara ekonomi, seni, dan masyarakat.

Pembicara kedua, Vincentius Christiawan (Venza) memperkenalkan tiga program penting dari komunitasnya, Honf Foundation, yaitu MicroNation/MacroNation (2006), Buvok (2010), dan Internatonal Summit on Critical and Transformative Making Indonesia 2015. Tiga proyek ini bergerak di wilayah seni, sains, dan masyarakat. Dengan melibatkan praktisi seni, ilmuwan-ilmuwan berbagai bidang (baik astrophisic, biologi, fisika, komputer sains, dll.), dan akademisi lintas disiplin ilmu. Dengan tingkat keberhasilan 85% dalam hal membuat proyek percontohan penting yang berguna bagi masyarakat setempat. Contoh yang telah dibuat ini kemudian dipresentasikan kepada lingkungan yang lebih luas untuk menjadi bahan pertimbangan policy maker, pembelajaran, dan dapat ditiru sedemikian rupa untuk pertumbuhan masyarakat. Event ini mengangkat potensi-potensi lokal, tidak hanya penemuan-penemuan inovator dari kalangan akademisi yaitu universitas pada umumnya, tetapi juga penemu-penemu yang belajar dengan aktif oleh sendirinya dan masyarakat yang menghidupinya.

Bekerja sama dengan masyarakat dalam proyek percontohan ini dimulai dengan membangun komunikasi yang mempunyai frekuensi yang sama antara kreator dan masyarakat. Dengan terlebih dahulu melakukan riset terhadap potensi setempat dan memahami betul imajinasi apa yang terbangun dalam masyarakat itu. Maka komunikasi akan terbangun dengan baik. Example making harus dilakukan dengan serius, riset menyeluruh, melibatkan ahli, dan komunikasi yang bagus dengan masyarakat, serta presentasi pada tempat yang tepat. Seperti halnya dengan pendirian jurusan S3 Kajian Seni dan Masyarakat, universitas harus melaksanakannya dengan sungguh-sungguh seperti halnya proyek example making, maka akan didapatkan hasil yang terukur dan jelas.

Pengalaman Venzha dalam irisan kombinasi antara seni dan teknologi, yang menurutnya tidak bisa dipisahkan. Hal ini dibenarkan oleh St. Sunardi, bahwa secara linguistik pada mulanya kata teknik diambil dari kata technis (dalam bahasa Yunani) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa menjadi art. Sebetulnya dua kata ini sama sebenarnya, sehingga tidak perlu lagi pengotak-ngotakan kajian antar field dan area bidang ilmu yang berbeda.

Pendirian Program Studi S3 Kajian Seni dan Masyarakat mendapatkan sambutan baik dari peserta. Perguruan tinggi diharapkan mengambil peranan utama untuk dapat memengaruhi peningkatan strategi budaya dan kualitas hidup masyarakat. Besar harapan terhadap dibukanya jurusan baru ini.

St. Sunardi menutup diskusi dengan dua catatan. Pertama, seperti ditegaskan Garin bahwa membangun strategi budaya tidak hanya sekadar menentukan strategi kebudayaan, tetapi juga menentukan capaiannya. Kedua, selama setengah tahun peserta lokakarya akan kembali diundang untuk meneruskan perbincangan ini. “Supaya masing-masing kita bisa menentukan standar capaian sesuai kapasitas yang bisa kita berikan pada masyarakat, sehingga tidak harus menunggu strategi kebudayaan dari ‘atas’, tetapi kita menciptakan sendiri.”

hal. 1  2  3  4  5  ...  9
Lokasi

Kampus II
Universitas Sanata Dharma,
Mrican, Catur Tunggal, Depok, Sleman,
Yogyakarta 55281
Telp. (0274) 513301, 515352 Fax. (0274) 562383 - Telegram: SADHAR YOGYA ext. 1501

Jam Kerja