USD Akreditasi A English Version Alumni Email USD

ASCOLTACI#20 : Kuasa dan Cita Rasa dalam Secangkir Kopi

diupdate: 1 tahun yang lalu

dok. S2KB


Kopi menjadi minuman yang sangat diminati diberbagai kalangan masyarakat, mulai dari masyarakat yang berada di desa sampai ke kota. Kini kopi juga ditemukan sebagai menu utama di warung, restoran dan cafe-cafe. Cara penyeduhan dan penyajiannya menentukan cita rasa yang dihasilkan. Hal ini dipaparkan oleh alumnus Program Magister Kajian Budaya Sanata Dharma Okta Firmansyah M. Hum dalam tesisnya yang berjudul Mencecap Cita Rasa, Mengurai Kuasa: Pascakolonialitas Kopi Spesial,  yang berangkat dari pengalamannya mececap berbagai jenis kopi.

Penelitian ini kemudian dipilih untuk menjadi topik ASCOLTACI#20 berjudul Kuasa dan Cita Rasa dalam Secangkir Kopi yang diselenggarakan oleh Program Studi Pascasarjana Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma, Selasa, 21 Maret 2023 secara daring. Kegiatan ini merupakan agenda rutin Program Pascasarjana Kajian Budaya dalam upaya memberikan ruang untuk peneliti memaparkan penelitiannya secara lebih luas dalam mengembangkan gagasan penelitiannya. Selain Okta Firmansyah, M. Hum. selaku peneliti, diskusi ini turut mengundang Putu Ardana tokoh Masyarakat Adat Dalem Tamblingan dan Pengelola Warung Kopi serta Dr. Laksmi A. Savitri seorang Peneliti dan Dosen Ekologi. ASCOLTACI#20 berlangsung selama kurang lebih dua setengah jam yang dihadiri oleh 49 partisipan dari berbagai latar belakang komunitas dan organisasi.

Acara ini dibuka dengan sambutan dari Dr. Y. Tri Subagya, Ketua Program Magister Kajian Budaya dan dipimpin oleh Laurensius Bagus Winardi selaku moderator. Diskusi diawali dengan pemaparan materi oleh Okta Firmansyah. Ia memaparkan presentasi dengan judul Mencecap Cita Rasa Mengurai Kuasa, berangkat dari pengalamannya saat mencicipi kopi bersama teman-temannya, dimana disetiap kopi yang seduh memiliki rasa yang berbeda-beda, seperti pahit tetapi ada yang serupa dengan buah-buahan seperti apel dan lemon, sehingga muncul pertanyaan mengapa kopi memiliki cita rasa yang beragam. Okta memiliki asumsi tersendiri terhadap pertanyaan penelitiannya, ia menyoroti cita rasa kopi dalam industri kopi spesial berada di era gelombang ketiga, yang berfokus pada pengetahuan cita rasa yang dikonstruksi oleh Speciality Coffee Association (SCA) dan beberapa organisasi/lembaga yang terafiliasi dengannya. Sekilas yang dilakukan oleh SCA ini memiliki kesan yang netral dengan dalih objektivitas sains dan demi memajukan industri kopi dunia. Namun kondisi yang diklaim sebagai standar ini memiliki potensi untuk dibaca secara politis dan kritis, terlebih di Indonesia yang memiliki relasi tidak setara antara Barat sebagai pusat dengan non-Barat, Indonesia yang dianggap liyan. Dalam presentasinya juga ditampilkan wacana cita rasa SCA yang dialami oleh subjek-subjek pascakolonial dan pembuatan roda cita rasa Indonesia.

dok. S2KB

Putu Ardana tokoh Masyarakat Adat Dalem Tamblingan dan Pengelola Warung Kopi, kemudian menanggapi presentasi Okta. Putu Ardana menangkap frame besar dari pemaparan presentasi ini masih ada perangkap antara kaum penjajah dan terjajah yang tidak disadari. Putu Ardana sepakat dengan penelitian ini bahwa secara sistematis mental dan mindset sebagai kaum terjajah atau kaum pinggiran masih dirasakan hingga sekarang. Seperti contoh pariwisata kuliner yang ada di Bali dibentuk untuk memenuhi selera turis mancanegara, sehingga makanan Bali kehilangan jati diri keasliannya. Putu Ardana sendiri mengembangkan usaha perkebunan kopi yang berkualitas sebagai upaya mengembalikan kembali tanah yang sekarang sudah menjadi perkebunan sayur dan bunga untuk kembali ke asalnya menjadi perkebunan kopi. Para petani kopi juga diajarkan cara membuat pupuk laku organik (membuat pupuk secara mandiri).

Dr. Laksmi A. Savitri seorang Peneliti dan Dosen Ekologi memberikan tinjauan lebih lanjut untuk presentasi Okta. Tanggapan Dr. Laksmi diberi judul A Cup of Java dan Kapitalisme Cita Rasa. Dr Laksmi setuju bahwa indera manusia sudah dikonstruksi secara kultural dan sosial. Ia menjelaskan bahwa cita rasa membentuk kekuasaan, dilihat dari ekologi sebagai industri dan kapitalisme sebagai pendekatannya. Lidah sebagai limit (baru) dalam kapitalisme dan dianggap sebagai material. Ia juga melihat di Korea terdapat lambang Michelin Star di restoran-restoran yang merujuk pada standardisasi tempat-tempat makan. Ini adalah salah satu contoh cita rasa memiliki infrastruktur dimana terdapat standardisasi, pembuat rasa dan harus universal karena jika berbeda-beda, tidak bisa terbentuk cita rasa yang diakui dan memiliki nilai yaitu harga.

Berakhirnya presentasi tiga pembicara disambut dengan berbagai pertanyaan dari peserta yang hadir seperti pertanyaan untuk tiga narasumber dalam menanggapi fair trade yang terjadi di Indonesia. Diskusi ASCOLTACI#20 ini berjalan dengan lancar dan antusias, ketiga narasumber memaparkan materi dengan sangat kritis dan menciptakan ruang diskusi yang menyenangkan. Tema ASCOLTACI#20 kali ini memberikan pandangan dan pengetahuan baru tentang relasi kuasa yang terjadi di tengah masyarakat dapat hadir dalam bentuk cita rasa.

(Brigita-22)

  kembali