USD Akreditasi A English Version Alumni Email USD

Kuliah Umum Peluncuran Magister Sastra: SASTRA, PERUBAHAN MASYARAKAT, DAN PERADABAN

diupdate: 2 tahun yang lalu



“Sastra adalah pantulan atau resonasi dari perubahan masyarakat, sekaligus menjadi diskursus yang merangsang perubahan masyarakat,” demikian ditegaskan Dr. Riwanto Tirto Sudarmo di dalam Kuliah umum perdana Peluncuran Magister Sastra Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Senin, 26 September 2022. Kuliah umum dilaksanakan dengan metode campuran, yakni melalui pertemuan tatap muka dan melalui zoom meeting. Hadir dalam pertemuan tatap muka Dr. Budi Susanto, S.J –ketua Yayasan Sanata Dharma sekaligus dosen Magister Sastra, Dr. Tatang Iskarna selaku Dekan Fakultas Sastra, segenap dosen dan mahasiswa angkatan pertama Program Magister Sastra. Kuliah umum kali ini dimoderatori oleh Prof. Dra. Novita Dewi M.S., M.A. (Hons.), Ph.D.dan Pangestin Aprilia Senhur Putri –mahasiswa ProgramMagister Sastra sebagai pewara.

“Masyarakat selalu dalam keadaan berubah. Perubahan bisa disebabkan oleh kekuatan yang berasal dari dalam masyarakat sendiri (endogenous factors), atau dari luar masyarakat (exogenous factors).  Tidak jarang perubahan itu adalah hasil dari interaksi antara endogenous dan exogenous factors. Perubahan dari dalam, misalnya karena berubahnya struktur dan komposisi demografi masyarakat. Ide, gagasan, dan inovasi adalah faktor pengubah masyarakat.  Dalam konteks ini, sastra  memantulkan sekaligus merangsang perubahan masyarakat,” demikian penjelasan Dr.  Riwanto Tirto Sudarmo, seorang ahli demografi dan perubahan masyarakat. Pensiunan LIPI yang sangat produktif menulis buku dan aneka artikel jurnal ilmiah ini merupakan peminat dan pengamat sastra yang tekun.



“Mengapa sastra penting dipelajari? Karena sastra adalah dokumen peradaban bangsa, sebuah bentuk kebudayaan yang bertahan lama dan teruji di dalam sejarah. Kita, misalnya, menyaksikan Chairil Anwar terlibat di dalam arus perjuangan kemerdekaan Indonesia. Puisi-puisi Chairil Anwar, sebagian bisa dilihat sebagai ekspresi artistik dari perubahan masyarakat yang terjadi menjelang kemerdekaan. Puisi-puisinya juga bisa dilihat sebagai rangsangan terhadap etos perjuangan masyarakat saat itu. Pramoedya Ananta Toer hidup dalam masa perjuangan kemerdekaan, masa pembentukan bangsa, dan masa represi politik pasca 1965, hingga masa reformasi. Cerpen maupun novel Paramoedya menjadi pantulan sekaligus rangsangan bagi perubahan masyarakat pada setiap masa saat karya itu diciptakan,” ungkap Dr. Riwanto yang diikuti sekitar 70-an peserta secara daring.

Posisi Perempuan
NH Dini dan Ayu Utami dipilih sebagai contoh dari bagaimana sastra menjadi pantulan dari salah satu pengalaman penting dalam proses perubahan maasyarakat, yaitu tentang perubahan posisi perempuan dan nilai-nilai seksual dan norma kehidupan keluarga. NH Dini (1936-2018), bisa dianggap sebagai seorang penulis novel yang berusaha menulis dari dunia dalamnya, dari pengalaman hidupnya. Masa penulisan novel-novelnya ketika pandangan masyarakat terhadap nilai-nilai seksual dan norma-norma kehidupan keluarga yang pada tahun 1970-1980an masih cenderung konservatif.

Ayu Utami (1968-) adalah seorang jurnalis-aktivis yang tumbuh bersama gerakan sosial politik menentang rezim otoriter Orde-Baru, novel-novelnya yang mulai terbit akhir tahun 1990an  mencerminkan tidak saja pemberontakan terhadap represi politik tetapi juga terhadap konservatisme nilai-nilai seksual dan norma-norma kehidupan keluarga.

Puisi Perlawanan
Rendra  (1935-2009) dan Wiji Thukul (1963-) adalah dua penyair yang tumbuh dalam masa yang berbeda. Yang menarik dari keduanya adalah latar belakang Kota Solo sebagai tempat dimana mereka mulai menuliskan puisi-puisinya. Jika Rendra sudah mulai menulis pada tahun 1960-an kemudian tumbuh bersamaan dengan Orde Baru yang represif, Wiji Thukul lahir dari rahim Orde Baru yang represif itu. Keduanya menciptakan puisi sebagai ekspresi perlawanan terhadap kekuasaan yang represif dengan segala resiko politik yang harus ditanggungnya.

Puisi-puisi mereka adalah suara protes dari masyarakat yang tertindas. Puisi-puisi mereka menjadi inspirasi sekaligus bagian dari sebuah gerakan sosial yang ingin mengubah keadaan masyarakat.



Lebah Tanpa Sengat
Dr. Riwanto Tirto Sudarmo juga menegaskan bahwa sastra tidak mungkin tumbuh dengan baik jika tidak ada kritik sastra yang baik. Pendidikan sastra, di samping menghasilkan mereka yang terdidik tentang sastra, juga dapat menghasilkan penulis kritik sastra.

Sementara itu, dalam  catatan penutupnya, Ketua Program Studi Magister Sastra, Dr. Yoseph Yapi Taum menggarisbawahi pernyataan Dr. Riwanto Tirto Sudarmo tentang perlunya kritik sastra. “Kritik sastra sekarang ibarat lebah tanpa sengat. Kritik sastra seperti tidak memiliki otoritas untuk memberi arah bagi pengembangan kesusastraan Indonesia. Karena itu, pendidikan magister sastra perlu mengembangkan kritik sastra akademis dan mengambil tugas besar ini,” demikian pernyataan penutup Yoseph Yapi Taum. 

(y2t).
 

  kembali