USD Akreditasi A English Version Alumni Email USD

Theo Talk: Covid-19, Migran, dan Solidaritas Kristologis

diupdate: 4 tahun yang lalu




        

Webinar dipersembahkan oleh Asosiasi Mahasiswa Pasca Sarjana Filsafat Keilahian Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma (USD). Webinar dilaksanakan pada Selasa, 22 September 2020 melalui aplikasi ZOOM dan disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube Theo Talk. Acara ini dimoderatori oleh Kristhalia Dessindi sebagai mahasiswa Pasca Sarjana Filsafat Keilahian Fakultas Teologi USD. Webinar dibuka diawali dengan sambutan dari Dr. YB. Prasentyantha, MSF selaku Ketua Program Studi Pasca Sarjana Filsafat Keilahian, Fakultas Teologi USD. Webinar ini menghadirkan pembicara Martinus Dam Febrianto salah satu Mahasiswa Pasca Sarjana Filsafat Keilahian USD dengan dua penanggap yaitu Gading Gumilang Putra selaku Staf Jesuit Refugee Service dan Fransiskus N. L. Teluma, MSF, merupakan Mahasiswa Doktoral Universidad Pontificia Camillas Madrid.

Frater Dam membuka webinar dengan membahas pandemi yang sedang melanda dunia. Pandemi Covid-19 berdampak ke semua sektor seperti sosial, ekonomi, kemanusiaan, dan lain-lain. Dampak nya banyak, contohnya menurunnya sistem daya beli di masyarakat, semua berusaha untuk berdiam di rumah agar terhindar paparan dari paparan virus, migran semakin susah untuk mendapatkan akses kesehatan dan makanan. Pandemi dan migrasi merupakan sesuatu yang tak terelakkan, jika dilihat menurut sejarah, karena dari awal manusia hidup pun sudah bermigrasi, maka dari itu Paus Fransiskus mengajak umatnya untuk bersolidaritas merefleksikan peristiwa ini, dan saling membantu. Pandemi ini memang menyusahkan kita tetapi jangan sampai membuat manusia menjadi berdiam diri, acuh tak acuh, egois (berpusat pada diri sendiri), memisahkan diri, dan melupakan orang lain. “Pandemi dan migrasi adalah tentang “kita”: keseluruhan kemanusiaan kita, ketakutan kita, panggilan kepada cinta kasih, panggilan untuk menempatkan yang terakhir sebagai yang terdahulu, panggilan untuk membangun Kerajaan Allah di dunia,” ujarnya.  Dampak dari pandemi ini serius dirasakan terutama bagi para migran dan pengungsi. Maka dari itu kita diharapkan untuk solider pada semua orang terutama mereka yang luput dari perhatian kita.

Tanggapan dari Gading selaku Staf Jesuit Refugee Service adalah bahwa isu kepengungsian dan migrasi bersifat darurat dan struktural, yang mana persekusi yang semakin menjadi, tingkat transmigrasi yang menurun, penolakan, penyiksaan dalam perjalanan, ketergantungan pada bantuan yang semakin terbatas, dan hilangnya pemuda sebagai anak terkait masa depannya. Ketakutan masih mendominasi dalam melihat pengungsi. Hal ini dirasakan oleh pengungsi melalui pendekatan keamanan yang tidak proporsional. Kecenderungan diri yang menyandarkan diri pada kepastian yang keliru yang sifatnya superfisial dan dianggap menyelamatkan. Kepastian-kepastian yang keliru dan dangkal telah mendasari hidup harian, proyek, kebiasaan, dan prioritas manusia: kecenderungan untuk memusatkan diri pada diri sendiri. Di sisi lain, solidaritas semakin penting dan relevan tidak berbasis pada asumsi atau prejudice. Yang kedua tentang konsepsi batasan negara yang tidak relevan di mata COVID-19 karena tidak bisa ada diskriminasi dalam penanganan karena berkaitan dengan resiko. Peran organisasi agama sangat diperlukan melalui nilai-nilai sosialnya yang memiliki potensi melampaui kerangka-kerangka produk formal yang semakin berjarak dengan realitas. Pernyataan  Paus Fransiskus tentang solidaritas perlu diperluas: refleksi-aksi memberi ruang bagi inovasi dalam dunia perlindungan. Migrasi merupakan penggerak bagi perkembangan peradaban manusia. Ia mencatat bahwa solidaritas dianggap sebagai keutamaan manusia dalam partisipasinya mengupayakan kebaikan bersama. Ada tantangan untuk merefleksikan kebaikan bersama dan berkolaborasi secara inklusif dalam lintas iman, lintas negara, dan sebagainya. Kita harus melihat pengungsi tidak hanya dari segi kerentanan tetapi juga resiliensi. Perkembangan ini harus diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, kita harus mendengarkan untuk memahami, kita harus melayani untuk dekat, kita harus mendengarkan untuk berdamai, kita harus berbagi untuk bertumbuh, kita harus mau terlibat untuk bisa membangun, dan kita harus bekerjasama untuk membangun sesuatu.

Penanggap yang terakhir adalah Romo Fransiskus N. L. Teluma, MSF. Beliau akrab disapa Romo Ranis. Romo Ranis memberikan tanggapan bahwa kita harus mengajak untuk bersolider terhadap orang lain, khususnya para imigran. “Cinta kasih Kristiani hanya bisa diwujudkan ketika kita mau menjadi sesama bagi yang lain” ujar Romo Ranis. Solidaritas hadir dalam kemampuan mendengarkan. Kita adalah tangan, kepala, dan kaki Kristus untuk melanjutkan kisah Kristus.

(GN & MHH)

  kembali