USD Akreditasi A English Version Alumni Email USD

Dialog Lintas Iman: “Cinta Beda Agama”

diupdate: 5 tahun yang lalu



‘Dua Jiwa, Satu Cinta, Terpisah Agama’ menjadi take line Dialog Lintas Iman (DLI) pada tahun 2019. Kegitan DLI merupakan salah satu kegiatan tahunan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma (USD), yang diselenggarakan oleh Divisi Sosial dan Rohani Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Psikologi USD. Kegiatan DLI tahun 2019 diselenggarakan pada tanggal 20 September bertempat di Ruang Drost Kampus III USD.

Peserta kegiatan tersebut terdiri dari mahasiswa USD, mahasiswa luar USD, dan terbuka untuk umum. Panitia DLI 2019 mengundang Teater Seriboe Djendela, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) teater USD, sebagai salah satu fasilitator dalam memvisualisasikan terkait dengan topik. Narasumber diolog merupakan perwakilan dari 6 agama di Indonesia, (1) Dr. Sri Wahyuni M.Ag., M.Hum selaku Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai narasumber mewakili Agama Islam; (2) Romo Nikolas Kristiyanto S.J., S.S.,S.S.L selaku Dosen Fakultas Teologi USD sebagai narasumber yang mewakili agama Katolik; (3) Pdt. Sri Handoko Prawirohandoko selaku Pendeta Emeritus GKJ Wisma Anugerah Candi Semarang sebagai perwakilan agama Kristen; (4) Ir. Ngakan Ngurah Mahendrajaya, MT, lPM selaku Pandita agama Hindu sebagia perwakilan agama Hindu; (5) Totok Tejamano, S.Ag, M.Hum selaku Pandita muda agama Buddha sebagai perwakilan agama Buddha, dan (6) Js. Cucu Rohyana, ST selaku Ketua Matakin DIY sebagai perwakilan agama Khonghucu. DLI juga mengundang Grace Melia seorang blogger dan penulis sebagai salah satu contoh pasutri yang menjalani pernikahan beda agama.

Dalam proses dialog mengemuka hal-hal antara antara lain pernikahan atau hubungan beda agama merupakan realitas yang tidak bisa dipungkiri dan terjadi di Indonesia. Tingkat pluralisme di Indonesia semakin tinggi, menyebabkan banyak masyarakat memilih untuk menjalin cinta beda agama. Timbul beberapa masalah akibat cinta beda agama, mulai dari perselisihan keluarga, ditentang oleh negara, dipandang buruk oleh lingkungan, bahkan adanya penyimpangan sosial yang dilarang agama juga negara. Setiap agama memiliki pandangan tersendiri mengenai cinta beda agama. Dalam pandangan Agama Islam, wanita muslim dilarang menikah dengan laki-laki non-muslim begitu juga sebaliknya, laki-laki muslim dilarang menikah dengan wanita, seperti ditegaskan dalam surat Al Baqarah ayat 221. Menurut pandangan Protestan, jika dalam hubungan suami istri tidak seiman akan menyulitkan keduanya mencapai kebahagiaan. Sama halnya dengan agama Katolik, pernikahan merupakan sebuah sakramen. Pada prinsipnya agama Katolik sangat melarang adanya perkawinan beda agama. Dalam hukum Kanonik, perkawinan antara seorang beragama Katolik dengan bukan Katolik dapat dilaksanakan jika terdapat dispensasi dari ordinaris wilayah atau uskup (Kanon, 1124). Perkawinan beda agama dalam pandangan agama Buddha diperbolehkan dengan syarat pengesahannya dilakukan dengan tata cara agama Buddha, yaitu kedua mempelai diwajibkan mengucapkan dewa-dewa umat Buddha. Agama Konghucu juga sama seperti agama Buddha, perbedaan agama tidak dipersoalkan dalam perkawinan baik untuk mempelai pria maupun wanita. Hal ini dikarenakan pemeluk agama Konghucu menjunjung tinggi hak asasi manusia, sehingga meskipun agamanya berbeda keputusan diserahkan pada penganutnya masing-masing. Sementara itu pandangan agama Hindu, tidak memperbolehkan perwakinan beda agama, sesuai dengan kitab Manawa Dharmasastra, Buku Ke-III (Tritiyo ‘dhyayah). Apabila akan melangsungkan perkawinan, pasangan yang beragama non-Hindu harus mengikuti upacara untuk masuk ke agama Hindu terlebih dahulu. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkawinan beda agama, yaitu dari latar belakang orang tua, minimnya pendidikan agama dalam keluarga, pergaulan dalam kehidupan sehari-hari, dan plurarisme yang semakin tinggi.

Di akhir acara DLI, Albertus Harimurti, S.Psi., M.Hum. selaku moderator dalam kegiatan tersebut menyimpulkan bahwa pernikahan beda agama bisa dilakukan hanya saja ada beberapa konsekuensi yang harus dipahami dan kendala yang harus siap dihadapi. Seperti kendala individual meliputi diri sendiri, keluarga, juga masyarakat sosial. Kemudian yang lebih tinggi adalah kendala pada tingkat institusional, baik institusi negara maupun agama yang mempermasalahkan adanya pernikahan beda agama.

(MAA & DPPG)

  kembali