Tepat 80 tahun yang lalu, pada 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan pidato bersejarah tentang dasar negara Indonesia di hadapan sidang BPUPKI. Lahirlah Pancasila sebagai fondasi filosofis bangsa. Kini, di tahun 2025, ketika generasi digital menjadi tulang punggung masa depan Indonesia, pertanyaan mendasar muncul: bagaimana generasi yang tumbuh di era teknologi informasi ini memaknai dan mengaktualisasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari?
Di tengah dinamika global yang cepat berubah, Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang menguji ketangguhan nilai luhur bangsa. Mulai dari ketimpangan ekonomi, polarisasi sosial-politik, hingga krisis identitas kebangsaan di era digital. Generasi muda, khususnya mahasiswa, berada di garis depan menghadapi tantangan ini sambil mewarisi tanggung jawab untuk meneruskan nilai-nilai tersebut.
Ketika Realitas Menguji Nilai Luhur
Ketika Realitas Menguji Nilai Luhur
Delapan puluh tahun setelah lahirnya Pancasila, Indonesia menunjukkan paradoks yang menarik. Di satu sisi, pencapaian pembangunan cukup menggembirakan. Ekonomi digital berkembang, infrastruktur fisik dan digital terus diperkuat, dan akses pendidikan semakin meluas. Namun di sisi lain, beberapa tantangan fundamental masih memerlukan perhatian serius.
Data Badan Pusat Statistik (2024) menunjukkan tingkat pengangguran terdidik masih relatif tinggi, mencapai 5,8% dari total lulusan perguruan tinggi. Sementara itu, kesenjangan ekonomi antar wilayah masih menjadi pekerjaan rumah besar. Rasio Gini Indonesia berada di angka 0,38, menandakan ketimpangan yang perlu terus diwaspadai.
Dalam aspek sosial-politik, polarisasi masyarakat pasca-Pemilu 2024 memunculkan tantangan baru bagi persatuan bangsa. Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang demokratisasi informasi, kadang justru menjadi medan pertempuran narasi yang memecah belah. Survey Alvara Research Center (2024) menunjukkan 34% generasi muda Indonesia mengalami echo chamber dalam konsumsi informasi politik mereka.
Dalam aspek sosial-politik, polarisasi masyarakat pasca-Pemilu 2024 memunculkan tantangan baru bagi persatuan bangsa. Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang demokratisasi informasi, kadang justru menjadi medan pertempuran narasi yang memecah belah. Survey Alvara Research Center (2024) menunjukkan 34% generasi muda Indonesia mengalami echo chamber dalam konsumsi informasi politik mereka.
Namun, di balik tantangan ini, terdapat pula perkembangan positif yang patut dicatat. Indeks Toleransi yang dirilis oleh Wahid Institute menunjukkan tren positif dalam 3 tahun terakhir, dengan skor toleransi nasional meningkat dari 3,6 menjadi 3,9 dalam skala 5. Generasi muda, khususnya mahasiswa, menunjukkan sikap yang lebih terbuka terhadap keberagaman dibanding generasi sebelumnya.

Suara Mahasiswa: Pancasila sebagai Kompas Moral
Untuk memahami perspektif generasi muda terhadap Pancasila, kami melakukan dialog mendalam dengan beberapa mahasiswa Universitas Sanata Dharma yang mewakili keberagaman latar belakang dan pemikiran.
Vincentius Seto Wicaksono, mahasiswa Program Studi Akuntansi USD, melihat Pancasila sebagai pedoman hidup yang fleksibel dan sangat dekat dengan realitas generasi muda. Baginya, Pancasila tetap relevan sebagai pedoman dan tata cara hidup yang membumi, terutama karena ia menyentuh aspek konkret kehidupan sehari-hari anak muda Indonesia.
“Nilai-nilai Pancasila itu masih sangat aktual,” tegas Seto. “Sila pertama misalnya, masih sangat hidup karena masyarakat Indonesia masih sangat religius dalam kesehariannya.” Ia menambahkan bahwa sila-sila lain, seperti keadilan sosial atau persatuan, masih menjadi semangat yang ingin diwujudkan bersama meski tidak selalu mudah dicapai.
Menurutnya, tantangan terbesar adalah menjadikan Pancasila dekat dan mudah dipahami oleh generasi muda. “Pancasila bukan teks yang kaku. Ia harus fleksibel dan bisa diinterpretasi sesuai konteks kehidupan masing-masing.”
Karena itu, Seto percaya bahwa promosi nilai-nilai Pancasila seharusnya dimulai dari usia dini dengan pendekatan yang segar, kontekstual, dan penuh keteladanan. Dari sana masa depan Indonesia dibangun. ”Masa depan Indonesia adalah tentang menghargai perbedaan dan memperkuat budaya musyawarah yang sehat,” ungkapnya.

Suara positif juga datang dari Tarisa Dea Puspita, mahasiswa Pendidikan Sejarah. Ia memaknai Pancasila bukan hanya sebagai dasar negara, tapi juga sebagai identitas generasi muda yang membuatnya tetap waras di tengah percepatan zaman. “Pancasila jadi pegangan biar tetap waras, adil, dan manusiawi. Jadi, bukan cuma bahan ujian, tapi panduan hidup yang ngingetin aku terus buat jadi bagian dari perubahan yang positif,” ujarnya.
Menurutnya, kebebasan berekspresi sangat relevan buat anak muda hari ini. “Pas semua orang bebas berpendapat di medsos, Pancasila jadi rem biar kita tetap bijak dan nggak saling serang.” Ia bahkan berencana menghidupkan semangat Pancasila lewat sayembara konten kreatif yang membumi, seperti podcast dan reels.
“Biar Pancasila nggak cuma jadi hafalan di kelas aja, tapi juga terasa dekat dan relevan buat kehidupan anak muda. Pancasila itu bukan cuma bahan ujian, tapi panduan hidup yang ngingetin aku terus buat jadi bagian dari perubahan yang positif,” ujarnya.
Sebagai mahasiswa sejarah, Tarisa ingin agar nilai Pancasila dekat dengan anak muda. “Gak gitu formal tapi tetap relate... tujuannya bikin Pancasila terasa deket, hidup, dan membumi buat generasi muda, gak cuma jadi hafalan di kelas aja,” imbuhnya.
Dalam mimpi jangka panjangnya, Tarisa membayangkan Indonesia sebagai negara maju yang menjunjung nilai kemanusiaan dan pendidikan yang merata.

Dari Fakultas Psikologi, Odilia Dhaneswari, menekankan bahwa nilai-nilai Pancasila adalah tuntunan moral yang mengakar. “Sebagaimana pepatah ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’, Pancasila memberikan panduan untuk menjadi pribadi autentik dan terbuka terhadap pluralisme,” ungkapnya. Meski sering direduksi jadi sekadar hafalan, menurutnya Pancasila tetap harus hidup dalam tindakan nyata dan sederhana sehari-hari.
“Nilai-nilai Pancasila itu sudah mengakar dan menjadi suatu pondasi yang membangun masyarakat kita. Tapi dalam kesibukan era modern, seringkali hanya dipandang sebagai simbol,” jelasnya.
Bagi Odilia, bentuk promosi terbaik atas Pancasila bukan melalui jargon, melainkan lewat tindakan sederhana dan autentik. “Cara paling sederhana adalah melalui tindakan kecil yang nyata dan menjadi versi diri sendiri yang terbaik, sambil tetap memegang nilai-nilainya,” ujarnya.
Ketika ditanya soal masa depan Indonesia, harapannya sederhana namun penuh makna, ”Sebuah Indonesia yang adil, damai, dan tidak membuat warganya harus berjuang ekstra untuk mendapatkan hak dasarnya sebagai manusia.”

Senada dengan Odilia, Jovenna Octo Valerien dari Fakultas Farmasi melihat Pancasila sebagai alarm pengingat identitas bangsa di tengah krisis kemanusiaan dan keadilan. Ia percaya bahwa aktualisasi Pancasila seringkali muncul dari kondisi kritis membentuk solidaritas dan rasa senasib yang mempersatukan.
“Kesadaran akan nilai Pancasila akan memicu tingkah laku pribadi sebagai bentuk aksi nyata dalam bertingkah dan berpikir,” ujarnya. Menurut Verin, generasi muda perlu memanfaatkan berbagai media dan karya untuk memperluas jangkauan nilai Pancasila agar tetap kontekstual. “Bagi saya, Pancasila menjadi panduan dalam mengambil tindakan, dasar untuk tetap memberikan kontribusi positif sebagai bagian dari Indonesia,” katanya.
Ia menyoroti bahwa nilai-nilai Pancasila sering kali muncul secara alami dalam situasi krisis, ketika rasa senasib dan setanggungan menciptakan solidaritas. “Di tengah krisis kemanusiaan dan keadilan, justru muncul rasa persatuan dan toleransi,” jelas Verin.
Baginya, kesadaran personal adalah awal dari promosi nilai-nilai Pancasila yang lebih luas. Setelah terbentuk dalam diri, barulah nilai-nilai itu bisa disebarkan lewat media sosial, karya, dan inovasi sesuai bidang masing-masing.
“Harapan saya, Indonesia bisa pulih. Pulih bukan berarti kembali ke awal, tapi sembuh. Jadi tempat yang nyaman untuk pulang, bukan tempat yang bikin gusar,” tuturnya mengakhiri.

Sementara itu, Josua Nico Manurung, mahasiswa Pendidikan Ekonomi yang aktif dalam berbagai kegiatan seni dan sosial, mengajak generasi muda untuk memaknai sekaligus menyebarluaskan nilai-nilai Pancasila dengan cara yang kreatif dan relevan.
“Bukan sekadar dimaknai, Pancasila harus kita sebarkan ke publik dengan cara yang kreatif dan bermakna, terutama melibatkan anak muda sebagai agent of change,” katanya.
Ia merancang sejumlah pendekatan berbasis media dan seni untuk mendekatkan Pancasila dengan kehidupan sehari-hari generasi muda: mulai dari video pendek, foto, infografis, hingga karya seni seperti musik dan puisi yang membawa pesan-pesan kelima sila.
Tak hanya berhenti di sana, Nico juga membayangkan lahirnya sebuah gerakan nasional bertema 'Pancasila dan Diriku'. Sebuah kampanye yang mengajak anak muda untuk berbagi cerita, peduli pada sekitar, dan aktif membantu sesama.
“Kita, anak muda, harus bergerak. Lewat media sosial, lingkungan sekitar, dan aksi nyata. Gerakan ini adalah tentang menjadikan Pancasila hidup dalam tindakan bukan sekadar hafalan,” tutupnya dengan penuh semangat.

Menutup suara mahasiswa, Stevanus Galang, mahasiswa pascasarjana Kajian Bahasa Inggris, menawarkan suara yang lebih kritis. Ia melihat adanya jarak yang nyata antara idealisme Pancasila dan realita keseharian yang dihadapinya. Nilai luhur seperti keadilan, kemanusiaan, dan demokrasi, menurutnya, terlalu sering gagal diwujudkan secara adil dan merata.
“Ini bukan tentang apakah Pancasila masih relevan atau tidak, tetapi tentang bagaimana nilai-nilai yang ada justru sering kali dimanipulasi, diputarbalikan dan dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu yang berkuasa,” ujarnya tegas.
Meski demikian, Galang tidak kehilangan harapan. Lewat komunitas baca dan forum diskusi yang ia inisiasi, ia berupaya menjadikan Pancasila sebagai alat refleksi kritis dan diskursus hidup, bukan sekadar doktrin kosong.
“Saya ingin mempromosikan Pancasila dengan menghidupkan nalar dengan bertanya, berdiskusi, dan menginterogasi nilai-nilainya dalam konteks kebijakan dan kehidupan nyata.”
Menjaga Pancasila Tetap Bernyawa dalam Ekosistem Kampus yang Hidup
Menanggapi respons ini, Dr. Hendra Kurniawan, dosen Pendidikan Sejarah FKIP USD dan pengajar Mata Kuliah Pendidikan Pancasila, menilai generasi muda saat ini memiliki peluang besar untuk memaknai Pancasila secara baru dan lebih reflektif. “Mereka lebih bebas dari trauma masa lalu. Karena itu, mereka bisa menempatkan Pancasila secara lebih jujur dan relevan dengan konteks zaman,” ungkapnya.
Menanggapi respons ini, Dr. Hendra Kurniawan, dosen Pendidikan Sejarah FKIP USD dan pengajar Mata Kuliah Pendidikan Pancasila, menilai generasi muda saat ini memiliki peluang besar untuk memaknai Pancasila secara baru dan lebih reflektif. “Mereka lebih bebas dari trauma masa lalu. Karena itu, mereka bisa menempatkan Pancasila secara lebih jujur dan relevan dengan konteks zaman,” ungkapnya.
Ia juga menegaskan bahwa tantangan terbesar dalam membumikan Pancasila bagi generasi ini adalah meyakinkan kepada mereka bahwa Pancasila masih relevan.
"Bagaimana anak muda sungguh bisa memaknai dan setia menghidupi Pancasila sebagai leitstar (bintang penuntun-red) dalam menyelesaikan beragam persoalan. Menemukan dan menyadari persoalan bangsa maupun dunia dapat menjadi titik awalnya. Krisis politik, ketidakstabilan ekonomi, kemunduran demokrasi, konflik kemanusiaan, masalah ekologi, dan sebagainya harus disikapi secara tepat dan bijak dengan menengok kembali nilai-nilai Pancasila," ujarnya melanjutkan.
Oleh sebab itu, pendekatan yang kontekstual, berbasis critical thinking dan digital literacy, menjadi sangat penting. Dari sana, mahasiswa dapat mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam bentuk aktivisme sosial yang nyata, mulai dari gerakan peduli lingkungan, dialog lintas iman, hingga keberpihakan pada kelompok rentan.
"Pancasila adalah aktualisasi, maka aplikasikan nilai-nilai Pancasila lewat langkah sederhana sebagai pembiasaan," tambahnya.

Di Universitas Sanata Dharma, ekosistem untuk menghidupi Pancasila sudah tumbuh dalam berbagai bentuk: program pengabdian kepada masyarakat, dialog lintas iman, gelar budaya, hingga forum-forum kritis yang digagas oleh berbagai organisasi kemahasiswaan (ormawa), mulai tingkat prodi hingga universitas. Berbagai kegiatan tersebut harapannya bukan sekadar formalitas, tetapi ruang konkret untuk membumikan nilai-nilai kemanusiaan, persatuan, dan keadilan sosial.
Refleksi mendalam terhadap pemaknaan Pancasila oleh generasi muda menghadirkan optimisme sekaligus tantangan. Optimisme muncul dari kesadaran baru bahwa Pancasila bukan warisan yang beku, melainkan dokumen hidup (living document) yang terus berevolusi. Namun tantangannya terletak pada kemampuan generasi ini untuk menjaga keseimbangan antara idealisme dan realitas, serta antara kritik dan kontribusi nyata.
USD, dengan semangat Ignatian yang mengutamakan cura personalis dan magis, memiliki peran penting dalam proses ini. Mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di USD diharapkan tidak berhenti pada transfer pengetahuan, tetapi diarahkan pula pada pembentukan karakter dan kesiapan untuk menjadi agen perubahan di tengah masyarakat.
Pancasila tetap relevan. Yang dibutuhkan sekarang adalah generasi yang mampu menerjemahkan nilai-nilainya dalam bahasa dan praktik zaman digital. Mahasiswa USD diajak tidak hanya menjadi penerima pasif, tetapi aktor aktif yang menyebarluaskan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan nyata baik di kelas, di media sosial, dan di masyarakat. Mahasiswa adalah influencer (pemengaruh) nilai luhur Pancasila di zaman digital.
Masa depan Pancasila ada di tangan generasi muda. Mari kita pastikan bahwa nilai-nilai luhur bangsa ini tidak hanya bertahan, tapi terus hidup dan berkembang secara autentik.
Selamat Hari Lahir Pancasila ke-80!
Penulis:
- Antonius Febri Harsanto
- Aura Pallomitha Rafiona