Pada 30 April 2025, Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta kembali mencatatkan tonggak penting dalam sejarahnya dengan mengukuhkan tiga guru besar baru. Mereka adalah Prof. Dr. rer. nat. Herry Pribawanto Suryawan (Guru Besar Ilmu Analisis Stokastik), Prof. Dr. C.B. Mulyatno, Pr. (Guru Besar Filsafat Pendidikan), dan Prof. Paulus Sarwoto, Ph.D. (Guru Besar Sastra Perbandingan). Masing-masing membawa kisah perjuangan yang unik, menyentuh, dan menjadi bukti nyata bahwa ketekunan, keberanian, serta dedikasi bisa mengubah jalan hidup seseorang dan menginspirasi banyak orang.
Prof. Dr. rer. nat. Herry Pribawanto Suryawan: Mengubah Kesulitan Menjadi Peluang


Prof. Herry, sapaan akrab Prof. Dr. rer. nat. Herry Pribawanto Suryawan, adalah sosok yang meyakini bahwa kesulitan bukanlah musuh, melainkan sarana pembelajaran. Ia percaya bahwa tantangan hadir bukan untuk dihindari, tetapi untuk dihadapi dan ditaklukkan. Pria kelahiran 4 Maret 1982 ini telah menunjukkan bahwa dengan tekad dan kemauan belajar yang kuat, tidak ada hal yang mustahil.
Kecintaannya terhadap matematika tumbuh sejak duduk di bangku SMA. Ia mengenang bagaimana pada suatu ketika nilai matematikanya yang tinggi justru menjadi titik balik motivasinya.
“Saya mulai berpikir bahwa Matematika adalah ilmu yang menyenangkan pada saat saya kelas dua SMA, pada waktu itu saya melihat bahwa Matematika bisa diajarkan dengan santai. Setelahnya, saat caturwulan satu (semester satu) saya mendapatkan nilai bagus, disitulah saya mulai senang dan mendapatkan motivasi dalam mempelajari Matematika,” ucapnya.
Setelah lulus dari jurusan Matematika Universitas Gadjah Mada, Prof. Herry melanjutkan studi ke Institut Teknologi Bandung, lalu ke Universität Kaiserslautern, Jerman untuk menempuh studi doktoralnya. Tak berhenti di situ, ia juga menjalani program post doctoral di Institute of Mathematics, University of Zurich, Swiss. Di dua negara ini, ia bukan hanya belajar teori, tetapi juga hidup belajar tentang adaptasi, disiplin, dan kerja keras dalam kultur akademik internasional yang menuntut.


Kini, ia dikenal sebagai salah satu pakar dalam bidang Analisis Stokastik, dengan fokus riset pada Derau Putih. Tak kurang dari puluhan jurnal ilmiah telah ia tulis, selain beberapa buku ajar yang digunakan secara luas di lingkungan akademik, seperti Kalkulus Diferensial, Analisis Real, dan Pemecahan Masalah Matematis.
Selain aktif dalam pengajaran dan penelitian, Prof. Herry juga membagikan ilmunya kepada pelajar sekolah menengah melalui pendampingan Olimpiade Matematika Nasional. Bagi Prof. Herry, menjadi guru besar adalah bentuk penghargaan atas dedikasi bertahun-tahun, tetapi juga sekaligus awal dari tanggung jawab yang lebih besar.
“Kesulitan itu bukanlah sesuatu hal yang harus dihindari, banyak orang berfikir bahwa kesulitan adalah sebuah hal menakutkan sehingga kita harus lari secepat mungkin untuk meninggalkan hal tersebut. Padahal kesulitan itu ada sebagai sebuah tantangan dalam meningkatkan kemampuan,” ungkapnya.
***
Prof. Dr. C.B. Mulyatno, Pr.: Dari Koster ke Kursi Guru Besar


Tidak semua orang memulai perjalanan akademik dari ruang kelas. Bagi Prof. Dr. C.B. Mulyatno, Pr., atau yang lebih akrab disapa Romo Mul, perjalanan panjangnya justru dimulai dari bertani dan berdagang. Lahir dan besar di Wonogiri, ia tidak memiliki kesempatan melanjutkan pendidikan setelah SD. Ekonomi keluarga yang sederhana membuat ia harus membantu orang tua bertani dan berdagang.
Namun, benih keinginan untuk belajar tidak pernah benar-benar padam. Ketika tinggal sebagai koster di sebuah gereja di Solo, ia melihat anak-anak sebaya tekun belajar dan bersekolah. Bukan hanya menimbulkan rasa iri belajar dalam diri Romo Mul, namun juga rasa kagum pada cara hidup para Romo yang menimbulkan ketertarikannya masuk ke dunia imamat. Ia pun memutuskan untuk kembali ke bangku sekolah, menempuh pendidikan SMP dan SMA di Solo, dan kemudian masuk seminari.
Dari sanalah perjalanannya sebagai imam dan akademisi dimulai. Ia kemudian dikirim untuk menempuh pendidikan tinggi di bidang Filsafat, dan akhirnya meraih gelar magister dan doktor dari perguruan tinggi di luar negeri. Dalam perjalanannya, Romo Mul tidak hanya menghadapi tuntutan akademik, tetapi juga beban matrikulasi dan ujian penyetaraan karena latar belakang filsafatnya dinilai kurang oleh institusi tujuan.


“Tantangan selama studi itu saya diharapkan untuk studi tepat waktu karena kebutuhan dosen Filsafat secepatnya. Selain itu, saya juga harus matrikulasi dulu sebanyak 26 SKS selama satu semester ditambah ujian BA sebagai penyamaan, hal ini tentunya menambah bobot studi saya. Untungnya, saya berhasil lulus tepat waktu karena persiapan yang sudah saya lakukan sebelum berangkat,” pungkasnya.
Persiapan yang dimaksud oleh Romo Mul adalah membawa satu koper penuh berisi artikel dan buku dari John Dewey. Alasan membawa artikel dan buku tersebut dikarenakan biaya fotokopi yang mahal di luar negeri. Selain itu, Romo Mul ingin memiliki keleluasaan untuk menggunakan bacaan dimanapun dan kapanpun agar studinya bisa tepat waktu.
Kini, sebagai Guru Besar Filsafat Pendidikan, Romo Mul dikenal sebagai tokoh yang konsisten mengusung pemikiran pendidikan demokratis dan etika pelayanan. Ia juga aktif menjadi Ketua Yayasan Dinamika Edukasi Dasar dan anggota BAN PAUD dan Pendidikan Dasar-Menengah. Dalam pandangannya, gelar Guru Besar bukanlah pencapaian pribadi semata.
“Berbicara tentang capaian pasti bangga dan bersyukur bisa sampai tahap ini, lebih lanjut saya bangga karena boleh berkarya sampai tahap ini dan diberikan begitu banyak anugerah dan karunia bagi saya serta teman-teman lainnya untuk berkarya dan menjadi guru besar di bidangnya masing-masing,” tutupnya.
***
Prof. Paulus Sarwoto, Ph.D.: Menyulam Sastra, Menjalani Hidup dengan Kesederhanaan


Prof. Paulus Sarwoto, Ph.D. dikenal sebagai intelektual sastra yang rendah hati, namun memiliki ketajaman pemikiran dan konsistensi luar biasa. Lahir di Muntilan, 4 April 1969, ia menempuh pendidikan di SMA Seminari Mertoyudan sebelum melanjutkan kuliah Sastra Inggris di Universitas Gadjah Mada. Pada tahun 1996, ia mulai mengajar di USD dan sejak saat itu, hidupnya dipenuhi oleh dunia akademik dan penelitian sastra.
“Saya kira kita harus berpikir secara taktis, tidak boleh terbelenggu oleh peraturan pemerintah dalam artian kreatif dan berani berpikir out of the box,” ungkapnya.
Tahun 2002, Prof. Sarwoto mendapat beasiswa Fulbright untuk studi master di Louisiana State University, Amerika Serikat. Ia kemudian melanjutkan studi doktoralnya di Monash University, Australia, dan menjadi bagian dari angkatan pertama penerima beasiswa DIKTI untuk bidang Comparative Literature and Cultural Studies.


Pengalaman mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan di luar negeri merupakan pengalaman yang paling berkesan bagi beliau. Hal tersebut dikarenakan Prof. Sarwoto dapat mengalami hidup dalam budaya dan masyarakat yang sebelumnya hanya beliau kenal lewat karya sastra yang mereka hasilkan.
Di USD, Prof. Sarwoto telah menjabat berbagai posisi penting: Sekretaris Jurusan, Kepala Kantor Internasional, Kaprodi S2 Kajian Bahasa Inggris, hingga Direktur Pascasarjana. Ia juga aktif menulis dan menerbitkan artikel ilmiah serta buku, seperti "The Figuration of Caliban in The Constellation of Post colonial Theory" (2009) dan "Caliban dan Baron Sekeber dalam Tegangan Poskolonialitas" (2025).
Sebagai Guru Besar Sastra Perbandingan, ia bertekad menjadikan USD sebagai rumah bagi pemikiran interdisipliner dan kritis.
***
Tiga kisah, tiga wajah, satu semangat. Ketiganya menorehkan kisah perjuangan yang tak mudah, namun sarat makna. Dalam dunia pendidikan yang terus berubah, ketiga Guru Besar ini menghadirkan satu pesan yang tak lekang oleh waktu: bahwa pendidikan sejati bukan hanya tentang gelar, tetapi tentang kesetiaan, keberanian, dan semangat melayani tanpa pamrih.
Penulis:
Vincentius Seto Wicaksono
Pascalista Nariswari Dharmaningtyas Nugrahadianti
Eleonora Severin Pundyartha Pratiwi
Editor:
Aura Pallomitha Rafiona
Vincentius Seto Wicaksono
Pascalista Nariswari Dharmaningtyas Nugrahadianti
Eleonora Severin Pundyartha Pratiwi
Editor:
Aura Pallomitha Rafiona