USD Akreditasi A English Version Alumni Email USD

110 Tahun Prof. Dr. N. Driyarkara S.J. (Rektor Pertama Sanata Dharma, Filsuf dan Ahli Pendidikan)



Hidupnya Penuh Bakti
Demi Martabat Insan
Cita-Cita Luruh Suci
Tak Luput Ditelan Zaman
Driyarkara Guru Penuh Kasih
Kan Kami Teruskan Citamu
Dengan Bimbingan Tuhan
Kubudayakan Bangsa
Dengan Kesederhanaan
Berkarya Bagi Sesama

Demikian sepenggal lagu Hymne Driyarkara yang diperdengarkan saat pembukaan Pameran Arsip Driyarkara. Bertepatan dengan peringatan 110 tahun hari lahir Prof. Dr. Nicolaus Driyarkara, S.J. tanggal 13 Juni 2023, di Campus Store dan Perpustakaan USD menyelenggarakan serangkaian kegiatan seperti  Diskon buku Bertajuk Driyarkara dan pameran arsip Driyarkara tanggal 13-19 Juni 2023. 

Pater N. Drityarkara, SJ (arsip Perpustakaan USD)

Prof. Dr. Nicolaus Driyarkara, S.J. (13 Juni 1913 – 11 Februari 1967) adalah sosok yang sangat berjasa bagi pendidikan di Indonesia. Prof. Dr. Nicolaus Driyarkara, S.J. yang dalam tulisan-tulisannya dikenal dengan nama samaran Pak Nala atau juga Puruhita, beliau sangat mengedepankan persoalan-persoalan aktual dan mendesak yang dihadapi manusia, yaitu rakyat Indonesia pada waktu itu. Salah satu gagasan besar beliau adalah “manusia adalah kawan bagi sesama”. Sejak tahun 1955, selain sebagai ahli pendidikan, beliau juga dikenal sebagai filsuf. Banyak karya yang sudah beliau goreskan baik melalui tulisan, pidato, ceramah, dan kuliah untuk memberikan pencerahan proses pencarian jati diri bangsa.

Merupakan suatu kehormatan bagi Universitas Sanata Dharma karena pernah merasakan kebersamaan bersama Prof. Dr. Nicolaus Driyarkara, S.J., sejak beliau menjadi Rektor pertama Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) di tahun 1955 hingga menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Sanata Dharma di tahun 1967.

Masa Kecil di Kedunggubah

Prof. Dr. N. Driyarkara, S.J. lahir di Kedunggubah, Purworejo pada 13 Juni 1913. Putra bungsu dari  pasangan Bapak Atmasenjaya dan Ibu Sinem ini lahir dengan nama Djentoe (dilafalkan ”Jenthu”). Nama Nicolaus didapat setelah ia dibaptis pada 22 Desember 1925. Pada tahun 1919 Driyarkara masuk Sekolah Rakyat (Volkschool) tetapi tidak melanjutkan ke Sekolah Tambahan (Vervolgschool). Kemudian di tahun 1922 ia pindah ke Holland Inlandsche School (H.I.S.) Purworejo.

Pergi ke Malang dan Menuju Yogyakarta

Saat naik ke kelas tujuh H.I.S., ia pindah ke Malang. Di sana, ia semakin terpanggil untuk menjadi imam Katolik. Pater van Driessche dan Pater Prennthaler adalah dua sosok yang menginspirasi Driyarkara untuk menjadi imam Katolik. Dua sosok itu membangkitkan semangat Driyarkara untuk mengikuti jejak yang sama. Kemudian, setelah selesai menamatkan sekolah di H.I.S. ia melanjutkan pendidikan ke Seminari Kecil Yogyakarta untuk menjadi calon rohaniwan Katolik.
Semangat berkarya seperti Serikat Jesus memenuhi hati Driyarkara saat berada di Seminari Kecil St. Petrus Kanisius Kotabaru, Yogyakarta.

Bergabung dengan Serikat Jesus

Ia masuk Serikat Jesus pada 7 September 1935 dengan memulai pendidikan askese di Novisiat St. Stanislaus, Girisonta, Ungaran. Di sini pribadi calon imam Jesuit dibentuk secara intensif dan memperdalam pengetahuan mengenai Serikat Jesus. Mulai saat ini ia mendapat nama panggilan Frater Driyarkara. Nama tersebut berasal dari ’driya’ yang berarti terlihat, ’arka’ yang berarti matahari, dan ’kara’ yang berarti bunyi atau senandung pujian. Ia mungkin memilih nama itu untuk menggambarkan dirinya sebagai ”matahari yang terbit sebagai puji-pujian”. Pada tahun 1938 masa belajar di Girisonta selesai.

Kembali ke Yogyakarta untuk Belajar Filsafat

Di Yogyakarta, Driyarkara bersama teman-temannya belajar filsafat di Kolese St. Ignasius Kotabaru. Calon imam Jesuit menempuh pembelajaran filsafat selama tiga tahun, dan berikutnya belajar teologi kembali selama empat tahun. Di sini mahasiswa filsafat juga memiliki tugas lapangan. Setiap hari Kamis mereka berkeliling desa dan bertemu umat-umat, mengajar, membantu memecahkan masalah, dan memberi penghiburan. Saat ia sedang melakukan perjalanan menuju Kalibening, ia makan siang di salah satu keluarga mantri guru. Di sana ia merasakan sakit kepala yang berat. Kemudian di masa akhir belajar filsafat ia mulai menulis catatan hariannya, dimulai pada 1 Januari 1941 hingga 2 April 1950.

Masa Praktik Kerja

Di bulan Juli 1941 ia mendapat tugas untuk bekerja selama setahun dengan melayani umat di sekitar Kolese St. Stanislaus Girisonta, Ungaran. Selama di Girisonta, Driyarkara mendapat tugas dengan mangajar di desa-desa, menemui umat, memahami dan mencarikan solusi masalah-masalah umat tersebut. Tugas kerasulannya ia jalani dengan jalan kaki atau naik sepeda. Kemudian kehidupannya di Kolese St. Stanislaus berubah setelah Jepang menyerbu tanah Jawa.

Masa Pendudukan Jepang dan Studi Teologi Setengah Mandiri

Para penghuni novisiat dan yuniorat harus mengungsi dan perlu dievakuasi ke Dukun, lereng Merapi karena kegiatan pembelajaran untuk para frater harus tetap berjalan meski sembunyi-sembunyi. Driyarkara seharusnya melanjutkan belajar teologi dengan nyaman, tetapi ia tidak ada pilihan lain selain belajar sendiri di bawah pohon atau di tepi kali. Pada Juli 1942 ia mendapat kabar bahwa akan ada pembelajaran teologi di Muntilan. Kemudian sejak 17 Juli 1942 ia tinggal di Muntilan dan mengikuti pembelajaran teologi bersama teman-teman frater dari Belanda.
Selain itu juga mengajar sebagai dosen filsafat darurat di Seminari Tinggi karena para rohaniawan banyak yang ditahan dan tugas pelayanan juga kekurangan tenaga. Pada 23 September 1943 ia pertama kali memberikan kuliah filsafat. Ia mengajar dengan sebaik-baiknya dan sebisanya.

Ditahbiskan Menjadi Imam Jesuit dan Pergi ke Belanda

Momen yang diimpikan akhirnya tiba. Pada hari Senin, 6 Januari 1947 ia ditahbiskan menjadi Jesuit. Ia ditahbiskan oleh Uskup Albertus Soegijapranata, S.J. di Gereja St. Josef, Gedangan.


Suatu hari ia dipanggil ke Jakarta oleh Pembesarnya. Ternyata ia mendapat tugas untuk belajar teologi tingkat lanjut di Maastricht, Belanda. Pikiran sangat gundah saat keberangkatannya ke Belanda sebab saat itu ia harus meninggalkan Indonesia yang berusaha untuk dikuasai kembali oleh Belanda pada Agresi Militer Belanda I.


24 Juli 1947 ia pergi ke Belanda dengan menaiki kapal Sloterdijk. Kuliah teologinya dimulai pada 17 September 1947. Selama berkuliah di Belanda, ia hampir tidak pernah menulis buku harian. Selama di Belanda ia juga mengikuti perkembangan politik dalam negeri Belanda. Kemudian setelah pendidikan teologinya selesai, ia pindah ke Dronge, Belgia pada 6 Juli 1949 untuk mengikuti pelatihan rohani secara khusus dan khas yang disebut masa tersiat selama setahun. Setelah dari Drongen, ia pergi ke Universitas Gregoriana, Roma untuk belajar filsafat dan lulus program Doktoral di sana.

Patung  N. Drityarkara, SJ di Gedung Pusat Universitas Sanata Dharma (arsip Perpustakaan USD)

Kegiatan Selama di Indonesia dan Perjalanan ke Luar Negeri

Setelah belajar di luar negeri, ia kembali ke Yogyakarta pada 1952. Selain sebagai pengajar, ia tetap menjalankan tugas pastoralnya dan melayani umat. Ia juga menyibukan dirinya dengan menjadi penulis lepas dan pemimpin redaksi Majalah Basis.


Ia juga tetap berkarya di dunia pendidikan dengan ditunjuk sebagai pimpinan pertama Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) Sanata Dharma hingga berubah menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Sanata Dharma. Selain menjadi pimpinan di PTPG Sanata Dharma, ia juga menjadi Guru Besar Luar Biasa filsafat di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan anggota MPRS.


Setelah melalui berbagai macam kegiatan tersebut, Driyarkara melakukan perjalanan terakhirnya ke luar negeri meliputi Amerika Serikat untuk memenuhi undangan mengajar di Universitas St. Louis, kemudian berkunjung ke Roma, Austria, Zurich, Bayern, Muenchen, Belgia, dan Belanda. Ia juga mampir ke daerah Timur Tengah seperti Beirut, Damaskus, Jerusalem, dan Betlehem.

Dirawat di R.S. Saint Carolus, Tanah Abang

Suatu hari ia mengunjungi temannya yang bekerja sebagai dokter di Rumah Sakit St. Carolus. Menurut temannya, Driyarkara waktu itu tampak pucat dan kurang sehat. Temannya kemudian memeriksa nadi Driyarkara, jantungnya berdenyut lemah, ia segera disarankan untuk dirawat. Selama itu ia masih rajin menulis dan bahkan sanggup mengikuti pra-seminar Pancasila pada November 1966.


Pada bulan Februari 1967 kesehatannya semakin memburuk. Ia sampai memohon untuk diberi Sakramen Terakhir, tetapi dokter yang mengetahui makna dari pemberian sakramen ini berkata bahwa belum saatnya. Di saat seperti ini para rekan dan kenalannya masih boleh menjenguk di rumah sakit. Pada 9 Februari 1967 ia menjadi lumpuh, dan hari itu ia menerima Sakramen Terakhir.


Teman-teman dan saudara masih menemani Driyarkara walaupun sudah tidak boleh menjenguk. Pada 10 Februari 1967 para perawat mulai melepas alat bantu. Suhu badannya semakin tinggi, ia tidak sadar lagi dan terus memburuk. Lalu pada 11 Februari 1967 ia meninggal dalam kenangan pengabdiannya. Ia dimakamkan di Kompleks Makam Jesuit di Girisonta, Ungaran.


Jejak pengabdiannya sebagai imam Katolik dan tokoh filsuf selalu diingat oleh masyarakat. Namanya besar dan karya-karyanya selalu dihargai hingga saat ini.



Penulis: Marcella Tiara A.J., S.S. (Student Staff Perpustakaan USD) dan Francisca Rahayuningsih (Pustakawan Perpustakaan USD) 
Sumber bacaan:
  • Arsip Foto USD
  • Arsip Foto Koleksi Dr. G. Budi Subanar, SJ.
  • Treurini, Frieda. 2013. Driyarkara Si Jenthu: Napak Tilas Filsuf Pendidik (1913-1967). Jakarta: Kompas.

  kembali